MOJOK.CO – Pariyem dan Nyai Ontosoroh sama-sama orang desa miskin yang dibawa masuk ke rumah keluarga kaya raya. Tapi, jalan nasib mereka berbeda. Nyai Ontosoroh menjadi perempuan digdaya yang berusaha mencerahkan anak-anaknya, sementara Pariyem jadi babu dan hanya bisa membuat pengakuan.
Saudara-saudari, Kakak-adik, Tuan-puan, saya akan kenalkan (atau jika Anda sudah kenal, saya akan kenangkan) seorang perempuan yang kondang di awal 1980-an. Namanya Pariyem. Panggilannya Iyem. Ia kondang karena cantik sintalnya, karena lugunya, karena nrimo–nya, karena kepasrahannya, dan karena-karena yang lain.
Ketika namanya diperkenalkan kali pertama pada 1981, usianya 25 tahun. Jadi, kalau dia masih hidup sekarang, usianya sudah 61 tahun, sudah jadi simbah-simbah. Seperti yang ditunjukkan namanya, ia datang dari sebuah desa di Gunungkidul. Bapaknya Kartosuwito, dulu pemain ketoprak yang ulung; ibunya Parjinah, ledhek ternama. Namun, ketika pecah peristiwa G 30 S, bapaknya kena wajib lapor dan sejak itu keduanya tak pernah lagi berkesenian dan memilih hidup jadi petani.
Pariyem cuma mengenyam pendidikan SD, itu pun tak tamat. Ia kemudian menjadi babu di rumah Ndoro Kanjeng Cokro Sentono. Ya babu, istilah lama untuk asisten rumah tangga sekarang ini. Siang malam ia bekerja melayani keluarga priayi ini, termasuk melayani Raden Bagus Aryo Atmojo, putra sulung ndoronya, mahasiswa filsafat UGM, pembaca buku yang hebat, dan perokok kretek kelas berat. Pariyem mengaku, dialah yang memerawani anak sulung ndoronya itu. Pariyem sendiri diperawani oleh Sukidi Kliwon, temannya nonton ketoprak saat masa remaja.
Pariyem adalah sosok legendaris dalam jagat sastra Indonesia. Namanya (sebenarnya) setara dengan Nyai Ontosoroh-nya Pramoedya Ananta Toer dan Srinthil-nya Ahmad Tohari. Penyair kencana Linus Suryadi Ag (1951-1999) memperkenalkan Pariyem melalui Pengakuan Pariyem: Dunia Batin Seorang Wanita Jawa (1981), sebuah prosa liris yang sangat panjang dan menarik.
Sebagaimana judulnya, prosa liris ini mengungkapkan biografi Pariyem, seorang perempuan Jawa abangan dari desa yang miskin. Hidupnya dijalani dengan segala kepasrahan. Ia memandang keperempuanannya, kedesaannya, kemiskinannya, dan segala sesuatu yang melekat pada dirinya sebagai garis hidup yang harus diterima. Tuhan telah mengatur segalanya.
Melalui gaya bertutur “aku”, dengan bahasa yang campur aduk Indonesia-Jawa, Pariyem memberikan kesaksian yang blak-blakan, dingin, dengan selipan humor satire yang pahit dan getir tentang riwayat keluarganya, riwayat warga kampungnya, dan akhirnya, riwayat dirinya. Ia juga paparkan pandangan hidupnya sebagai orang Jawa abangan, termasuk tentang agama, dan dalam hal inilah ia ingin saya kenalkan dan kenangkan.
Dan agama, apakah agama?
Pertanyaan itu bergaung dalam sanubari saya.
Suka menggelitik dan merongrong jiwa pula
Bikin kusut pikiran, kemelut perasaan
Sembab mata dan boyak telinga
Bila dialamatkan ke dalam
Tapi bila dialamatkan ke luar:
Orang bertentangan tak ada habisnya
Atas nama Tuhan lewat agama
Apa pun bisa berubah Neraka
Agama dan Tuhan menjadi sandaran
Buat kasak-kusuk protokol bambu
Napsu, emosi, dan sentiman pribadi
Menjadi halal bila atas nama Tuhan
Peperangan adalah buahnya
buahnya adalah peperangan
Orang-orang bertengkar cakar-cakaran
cakar-cakaran orang-orang bertengkar
Untuk sesuatu yang tidak senonoh
orang-orang menyabung nyawa
O, manakah iman, manakah wewaler Tuhan
bila nyawa tak lagi punya tempat aman?
Bagaimanakan kawanan anjing ganas
berebut tulang belulang tanpa isi
Tulang belulang saring diperebutkan
dan luka kadhung arang kranjang
…
Agama ageming ati
Dan tiap bangsa punya tata, punya cara
Yang percuma diganggu-gugat siapa pun
Dia bakal hidup dari tahun ke tahun
Tak ada perintangan tak ada penghalang
Sangup merombak dan megacak-acakkan
Dia tumbuh bersama gerak naluri alam
yang menyertai bayi yang dilahirkan
….
Tapi biarkan sajalah
Saya eling pesan bapak, kok
Paugeraning urip iku Sang Murbeng Jagad
Biarkan saya dikata-katai murtad
biarkan saya dikata-katai kapir
Biarkan saya dikata-katai malas beribadat
biarkan sajalah
Saya tidak apa-apa
Saya lego-lila, kok
Gusti Allah tidak sare
Pariyem menggugat makna agama. Jika diolah di dalam jiwa, agama mencerahkan batin. Ketika dibawa keluar, agama menjadi sumber pertentangan. Nyawa orang jadi murah atas nama agama dan Tuhan. Orang-orang yang bertengkar atas nama agama itu, kata Pariyem, laksana “kawanan anjing yang berebut tulang belulang.” Sungguh ejekan yang pahit. Seolah duduk di kursi jaksa, Pariyem mendakwa langsung ke jantung para pemeluk agama. Dan kita jadi malu dan menutup wajah dibuatnya.
Membaca pandangannya ini, kita pasti bertanya-tanya: Bagaimana Pariyem, perempuan desa yang miskin dan tidak tamat SD itu, bisa memiliki pandangan demikian mendalam dan tajam mengenai agama? Sudah barang tentu pertanyaan seperti ini mengandung bias yang akut, seakan-akan hanya orang terpelajar, dalam arti bersekolah tinggi, yang bisa sampai pada pandangan seperti ini. Anggapan demikian seketika mengartikan pula mereka yang tak bersekolah tak akan sampai pada pandangan seperti ini.
Akan tetapi, jika kita mengembalikannya pada realitas sekarang, tentu pertanyaan ini tidak perlu dilontarkan. Fakta-fakta banyak menunjukkan, banyak orang yang makin tinggi sekolah dan pendidikannya justru makin tertutup dan dangkal pandangan keagamaannya. Sebaliknya, orang-orang desa yang tak pernah mengenyam pendidikan tinggi justru memiliki sikap terbuka dan mendalam. Ini menunjukkan ilmu olah batin, pencerahan jiwa, dan kearifan, tidak akan (mudah) didapatkan di sekolah formal. Ia harus direngkuh dalam sekolah kehidupan. Ia harus ditempa dalam latihan-latihan jiwa yang menuntut kerendahhatian dan pengorbanan.
Memang sekarang kita bisa jadi merasa aneh membaca pandangan Pariyem tentang agama ini dan beranggapan bahwa pengarangnya telah membuatnya menjadi perempuan cerdas melebihi kapasitasnya sebagai perempuan desa yang miskin dan tak sekolah.
Akan tetapi, jika kita menengok sejarah dan pandangan dunia orang Jawa tempo dulu, pandangan seperti ini sebenarnya sangat umum dan populer. Orang Jawa terkenal dengan pandangan hidupnya yang menekankan keharmonisan dan keselarasan pada setiap dimensi kehidupan. Di dalam konteks pemahaman seperti itulah kedudukan agama diletakkan. Agama dipandang seperti pakaian.
Bukankah agama, begitu kata orang-orang tua kita
yang arif dan bijaksana, adalah ibarat pakaian
Bila seorang wanita telanjang
Dia butuh jarit, kebaya, dan kemben
Itu pakaian pembungkus badan
Bila seorang pria telanjang
Dia butuh sarung, surjan, dan blangkon
Itu sama fungsi dan faedahnya
Demikianpun agama
Setelah bertahun-tahun berlalu, kita barangkali telah kehilangan “Pariyem”. Ia kini sudah tua, 61 tahun. Mungkin sudah meninggal. Jika masih hidup, pasti lebih matang dan dewasa. Kini saatnya kita bikin pengumuman: “Dicari: ‘Pariyem’”.
Baca edisi sebelumnya: Hati yang Damai, Kembalilah kepada Tuhan dan tulisan di kolom Iqra lainnya.