[MOJOK.CO] “Bayar pajak! Potong zakat! Pemerintah zalim!”
Ilmu, ilmu apa yang paling sadis? Kalau ada jenis tebak-tebakan seperti itu, biasanya kita akan tangkas merujuk ke ilmu yang lebih dekat dengan mitos, “ilmu hitam!” Benak kita hampir tidak menyisakan ruang untuk memberikan jawaban bahwa yang disebut ilmu hitam kekinian itu sebenarnya bukan lagi pelet, ngepet, maupun santet.
Ya, beberapa ilmu yang masuk rumpun ilmu hitam itu kalau merujuk di cerita-cerita horor memang brutal. Tetapi, dilihat dari dampak, cakupan, juga tingkat keberhasilannya yang nisbi rendah, ilmu tersebut tidak dapat kita golongkan kejam dan membahayakan. Hanya sedikit mengganggu pikiran.
Duh, maaf… saya terlalu larut menjiwai topik ini. Sementara Mojok belum berubah tagline menjadi “Sedikit brutal dan banyak nakal.”
Ilmu ekonomi sejauh ini tetaplah yang paling sadis. Ilmu tersebut mengajarkan ke manusia, saya salah satunya, untuk melihat alam dan manusia tidak saja sebagai potensi, tapi lebih jauh lagi: mengonversinya menjadi objek yang dapat dieksploitasi.
Mulai kebayang kan sadisnya?
Serius. Satu contoh: ketika sarjana geografi atau geologi membaca sebuah citra satelit untuk memetakan apakah eksplorasi tambang mungkin dilakukan di satu kawasan; sarjana kehutanan atau ilmu lingkungan gelisah begitu mengetahui bahwa area tersebut berada di kawasan hutan lindung dan tidak membenarkan adanya pemanfaatan lain selain konservasi; maka sarjana ekonomi akan meresponsnya dengan agresif dan tentu saja buas, “Wuaaah, logam mulia nich. Kelak kalau dieksploitasi, hasilnya nggak bakal habis dimakan tujuh turunan!”
Jalan ceritanya kemudian seperti yang sudah-sudah. Sangat mudah ditebak. Nilai manfaat ekonomi akan selalu lebih berkilau dan ditonjolkan daripada kerugian lingkungannya. Kalau perbedaan yang ada “dirapatkan”, semua sarjana dari multidisiplin ilmu di atas mendadak menjadi “sarjana ekonomi”.
Bagaimana dengan manusia? Nah, ini sebenarnya yang mau disampaikan terkait perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara sepekan terakhir.
Sarjana psikologi melihat bahwa setiap manusia memiliki potensi untuk dikembangkan. Mengingat tidak semua orang mengenali potensi yang ada di dirinya. Lalu bagaimana pandangan “sarjana ekonomi”? Manusia tak lebih dari faktor produksi. Mereka juga merupakan objek pajak yang harus dikenai kewajiban “upeti” untuk mengongkosi kebutuhan negara.
Mau manusia tersebut miskin, lebih-lebih kaya, tidak dapat menghindari pajak. Ilmu ekonomi tidak mempunyai pretensi sekadar menanyakan apakah mereka ikhlas atau tidak, bersedia atau tidak saat mengeluarkan pajak. Aturan tersebut mengikat dan menjanjikan sanksi bagi pelanggarnya.
Nah… berbeda dengan zakat.
Kita membahas pajak dulu sebelum zakat karena bagi sebagian orang, ada kesan kalau sudah membayar zakat, pajak boleh diabaikan. Demikian juga sebaliknya. Tapi, kalau ada yang minta dalil, ya cukup kasih unjuk sejarah bahwa di zaman Rasullulah pun, selain bayar zakat, juga ada kewajiban pajak yang melekat: pajak atas tanah dan pajak kepala atau upeti.
Pajak merupakan pungutan wajib tanpa memandang SARA dan status sosial. Ada seperangkat aturan petunjuk dan pelaksanaanya, termasuk sanksi. Kalau menilik sejarahnya, pajak hanyalah perkembangan dari upeti. Bedanya tidak banyak. Pajak Anda hari ini dapat dilihat dari layar monitor petugas pajak. Kalau zaman Majapahit, disiapkan pasukan sekompi untuk mendatangi rumah Anda. Ngaku nggak berharta? Tempeleng!
Kemudian agama datang dengan konsep zakat. Selain besarannya jauh di bawah pajak atau upeti, aturannya pun “sedikit lunak”. Dalam salah satu rukun Islam, ada kewajiban bagi penganutnya untuk turut menyejahterakan umat dengan membayar zakat.
Tidak ada sanksi yang melekat saat melanggarnya walau hukumnya wajib. Wajib menurut pandangan agama hanyalah berdosa kalau tidak menjalankannya dan mendapat pahala kalau menjalankannya. Enak kan? Ya biasa saja. Zakat tidak berarti kita jadi terbebas dari membayar pajak. Ini hanya soal ada bagian untuk Tuhan dan ada bagian untuk negara.
Pernah mendengar cerita PNS Saudi dihukum cambuk karena tidak membayar zakat? Tidak pernah!
Mengapa agama perlu dilibatkan dalam hal ini?
Beberapa hari lalu publik saling berebut benar soal perlu tidaknya PNS dipotong gajinya sebesar 2,5% yang akan dituangkan dalam peraturan presiden. Inisiatif tersebut datang dari Kementerian Agama yang hendak menata mekanisme pemotongan gaji bagi aparatur sipil negara (ASN) atau PNS yang beragama Islam.
Celakanya, perdebatan soal perlu tidaknya, sah tidaknya, dan benar salahnya zakat dipotong langsung dari PNS yang telah memenuhi nisab tidak menyentuh substansinya. Oke, Mahfud MD tidak setuju karena latar belakang keilmuannya. Tapi yang lain? Tidak setuju karena berpikir bahwa mereka dizalimi pemerintah Jokowi.
Dilihat dengan kacamata ekonomi, di luar pajak, jumlah penduduk muslim yang begitu besar merupakan potensi untuk menghimpun dana dalam bingkai ibadah. Negara melihat, melalui Badan Amil Zakat Nasional (Bazarnas), potensi zakat nasional ada di angka Rp217 triliun. Sementara serapannya masih sangat rendah, baru 1% dari potensi yang ada.
Sebagai “sarjana ekonomi” (kalau sudah terkait prinsip, tindakan, dan motif ekonomi, semua orang adalah sarjana ekonomi dalam tanda kutip), Menteri Agama melihat ada potensi 10 triliun per tahun yang dapat dipotong langsung dari PNS muslim. Memang jumlah yang besar. Bayangkan saja, anggaran Kartu Jakarta Pintar (KJP) saja tidak lebih dari 4 triliun, dan itu sudah membuat Jakarta lebih maju dari daerah lain.
Masalahnya, zakat tidak dapat dilihat sebagai potensi ekonomi belaka. Tidak beda dengan tempo hari tebersit keinginan pemerintah untuk nyebrak, pinjam dana haji sementara waktu untuk menyokong pembangunan infrastruktur. Zakat bagaimanapun juga dimensi ibadahnya kental. Unsur paling menonjol dari ibadah tentu saja keikhlasan atau kerelaan.
Zakat terkait erat dengan aturan baku soal nisab dan haul. Dari berbagai sumber dikatakan bahwa nisab (disetarakan dengan nilai 85 gram emas untuk saat ini) sebesar Rp42 juta sulit dipenuhi oleh para PNS. Gaji satu tahun mungkin 200 juta atau lebih, tetapi belum tentu di tahun tersebut seorang PNS dapat menabung sebesar 42 juta. Bisa jadi hidupnya masih ditopang riba. Astaghfirullah.
Ilmu ekonomi sebenarnya juga tidak sadis-sadis amat, ia mampu menjelaskan bahwa secara teori, “Semakin besar pendapatan, semakin besar bagian dari pendapatan itu yang dikonsumsi.” Secara sistem IT, memotong gaji PNS tinggal “klik”. Tetapi, PNS yang hobinya nyicil, nggesek, dan habis bulan tidak berani keluar rumah bahkan untuk sekadar beli mie ayam, apa juga terbaca oleh sistem?
Sebenarnya ada cara yang lebih elegan tapi wagu daripada memotong gaji untuk zakat. Kalau pemerintah menargetkan 10 triliun per tahun, katakanlah untuk mengentaskan kemiskinan, mengapa tidak memainkan politik anggaran? Tinggal menetapkan kebijakan apa yang hendak diprioritaskan, bagaimana alokasinya, atau tunda kenaikan gaji pegawai. Kalau perlu, naiknya tiga tahun sekali. Hahaha, sungguh usulan yang rentan memanen bullying masal.
Tentu saja saya tidak hendak mengatakan ide pemotongan gaji PNS sebesar 2,5% tersebut tidak baik atau, lebih jauh lagi: zalim. Sebagai ide, zakat yang dikumpulkan dari umat Islam kan hasilnya untuk umat Islam juga. Lain sekali dengan pajak yang pemanfaatannya tidak memandang untuk siapa. Masak sih tidak rela? Tapi, bisa juga ada yang keberatan langsung nyolot, “Oh, kalau begitu PNS yang beragama Kristen potong 10% untuk persepuluh!”
27 tahun setelah lulus SMA, mata Dilan nanar membaca media online. Ia berucap, “Pajak digabung zakat memang berat, Lia….”
Milea menatap mesra seraya berkata, “Biar kamu yang membayarnya?”
“Bayar sendiri-sendiri ya. SPT kita kan terpisah.” Sama sekali nggak mesra, mengingat beberapa cicilan yang jatuh temponya sahut-menyahut.