[MOJOK.CO] “Persembahan untuk Bondan Winarno yang mengajari kita cara menikmati hidup.”
Bondan Haryo Winarno meninggal dunia pada Rabu, 29 November, pukul 09.05 pagi di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta pada usia 67 tahun. Publik lebih mengenalnya sebagai Pak Bondan “Mak Nyus” berkat penampilannya sebagai presenter di acara kuliner di sebuah stasiun televisi swasta beberapa tahun lalu.
Dengan konsep jalan-jalan dan makan-makan, Pak Bondan berhasil mengajak orang untuk tak ragu menyusuri gang sempit demi sepiring nasi tim terbaik se-Indonesia yang ada di gang Gloria, Glodok, Jakarta. Atau blusukan mencari hidangan otentik tongseng kepala kambing yang tersembunyi di pelosok Desa Menayu, Muntilan, Jawa Tengah.
Dengan pemilihan kata nan efektif tanpa banyak pelengkap tak penting, kemampuan persuasi Pak Bondan memang selalu membuat liur berlelehan. Saya kutipkan salah satunya dari nukilan buku 100 Mak Nyus Joglosemar:
“Gagrak mi jawa dimasak dengan telur bebek berbumbu dasar kemiri dan bawang putih. Ketiga elemen inilah yang ‘bertanggung jawab’ atas aroma surgawi dan cita rasa yang menggetarkan kalbu. Masuk angin dan flu pun wesewesewes terbirit-birit menyingkir dihalau kuah hangat mi jawa.”
Kejelian Pak Bondan sedikit banyak merupakan warisan dari profesi terdahulunya sebagai jurnalis. Bukunya, Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi masih menjadi rujukan karya investigasi terbaik di Indonesia. Juga Neraka di Laut Jawa: Tampomas II yang meletakkan dasar-dasar jurnalisme investigasi. Di buku cetakan 1981 tersebut, Pak Bondan menjadi penulis yang merangkum reportase dari jurnalis-jurnalis Sinar Harapan dan Mutiara.
Pak Bondan juga piawai sebagai kolumnis. Tulisan-tulisannya tersebar mulai dari Kompas, Tempo, Suara Pembaruan, sampai Detik. Temanya beragam: mulai dari kiat-kiat manajemen (dibukukan dalam Seratus KIAT), periklanan dalam Rumah Iklan, sampai ke topik yang membuatnya berada di puncak popularitas: kuliner.
Lewat buku Jalansutra, serial 100 Mak Nyus yang merangkum berbagai tempat makan terpujikan di Jakarta, Jogja-Solo-Semarang, dan Bali, hingga Kecap Manis: Indonesia’s National Condiments, Pak Bondan memberikan sumbangan berharga untuk dunia kuliner Indonesia. Belum ada sosok yang setekun dan sekonsisten dirinya mencari dan mendokumentasikan kekayaan kuliner rakyat Indonesia.
Memang terasa miris ketika sosok-sosok juru masak yang rajin mengeksplorasi kekayaan resep masakan Indonesia seperti Sisca Soewitomo, William Wongso, hingga Rahung Nasution melimpah, nyaris hanya Bondan Winarno saja yang menjadi representasi ranah penulisan kuliner.
Harus diakui, setelah kemunculan Pak Bondan di televisi, media lalu latah membuat acara berkonsep serupa. Juga muncul penulis-penulis yang dengan jemawa menyebut dirinya sebagai pencinta atau pemburu kuliner. Tentu saja dengan kelas kualitas yang jauh berbeda.
Jika Pak Bondan mampu mendedah dengan tajam dan cermat, para impersonator tadi wawasannya terbatas hanya bisa menilai “enak” atau “kerasa banget (masukkan nama bumbu dasar)-nya”. Bagaimana jika Bondan Winarno dikritik bahwa makanan rekomendasinya tidak enak? Ia menyatakan, “Kalau tidak enak, akan saya ganti uang jajan Anda!”
Sedikit banyak Pak Bondan sebagai penulis kuliner mengingatkan saya pada sosoksesama penulis dan host acara kuliner, Anthony Bourdain. Bourdain terkenal dengan gaya gonzo di tulisan-tulisannya. Salah satu yang sudah dibukukan adalah Kitchen Confidential: Adventures in the Culinary Underbelly yang masuk dalam jajaran The New York Times Best Seller.
Bourdain mendapat julukan culinary bad boy lewat reputasi mulut setajam silet. Acara No Reservations yang dipandunya bahkan harus menerapkan kebijakan viewer discretion advisories gara-gara mulut Bourdain kadang kelewat sompral. Ia pernah menyebut makan durian, yang jadi pemuncak klasemen buah bagi orang Melayu, rasanya mirip mencium nenek-nenek yang baru bangun tidur.
Jika Bourdain seperti bocah tua nakal, Pak Bondan layaknya paman yang kehadirannya selalu ditunggu saat momen makan bersama keluarga besar. Pak Bondan mampu menguliti suatu hidangan dengan cekatan, teliti, namun tetap dalam suasana penuh kehangatan khas keluarga seperti saat ia mengingat momen makan sup bakmoy bersama ayahnya.
“Sejak malam sebelum berangkat ke Kopeng, saya sudah membayangkan akan menyantap nasi bakmoy hangat di dataran tinggi yang sejuk itu. Nasi bakmoy ayam disajikan dengan tahu goreng dan daging ayam yang dipotong kubus kecil dalam kaldu ayam encer yang mirip sop, tetapi dengan note kecap manis lembut yang merupakan nada dasar dari hidangan ini. Di atas nada dasar itu hadir lamat-lamat aroma dan cita rasa bawang putih,” tulisnya.
Meski perangainya berbeda, Bourdain dan Pak Bondan berhasil menunjukkan, menulis makanan bukan perkara enak atau tidak enak. Bourdain dalam satu bab di A Cook’s Tour: In Search of the Perfect Meal berhasil menelusup ke memori tentang Perang Vietnam dalam kunjungannya ke sebuah kedai kopi kecil di Hanoi. Sedangkan Bondan, ia bisa lincah menjelaskan mengapa kerang simping (scallop) di restoran-restoran seafood di Semarang tidak ada yang berukuran besar sampai alasan kenapa soto kudus memakai daging kerbau alih-alih sapi.
Saat ibunya meninggal, Pak Bondan membuat suatu obituari menyentuh berjudul “Gang Pinggir” yang ada di buku Jalasutra. Nuran Wibisono berbaik hati mengetik ulang tulisan tersebut yang dapat diakses melalui tautan ini.
“Minggu kemarin, Ibu tercinta telah meninggalkan kami semua—anak-anak dan cucu-cucu yang menyayanginya. Saya punya banyak alasan untuk bersedih. Tetapi, saya memutuskan untuk tidak larut dalam duka. Terlalu banyak hal-hal tentang ibu yang dapat saya kenang dengan manis. Ibu adalah orang yang memperkenalkan saya kepada dapur. Dari Ibu, saya menaruh apresiasi yang tinggi terhadap makanan.” Demikian salah satu petikannya.
Kali ini, giliran para penerusnya yang (seharusnya) membuat obituari sekaligus melanjutkan kiprahnya. Selamat jalan, Pak Bondan. Selamat icip-icip hidangan surga yang mak nyus.