Tulisan ini merupakan sambungan dari curahan hati Abang Arienal (busyet dah, nama kok susah dieja bingits ya, ane takut salah ngomong jadi Arsenal) kepada seluruh insan Ngapaker(s) agar bersatu melawan penutur bahasa Jawa lain yang nyinyir, tertawa, bahkan membuli dialek ‘Ngapak’. Disadari atau tidak, dialek seseorang terkadang menimbulkan gelak tawa karena keunikannya. Misal keunikan British English, yang bagi ane lebih cute ketimbang American English. Juga keunikan lain dari Indian English yang membuat ane kadang merasa kayak lagi digelitikin.
Ane pernah mengisi sebuah pelatihan yang pesertanya berasal dari pelbagai penjuru Indonesia. Kebetulan salah seorang pesertanya ada yang keturunan Tiongkok dan berasal dari Surabaya. Dan waktu itu pula, Cak Lontong sedang ngetop-topnya (Eh, sekarang masih ngetop enggak, sih?). Sontak dengan keadaan demikian, sewaktu dia berbicara dengan dialek khas ‘Jawa Surabaya’-nya teman-teman yang lain membuli: ”Tuh, Cak Lontong lagi ngomong, dengerin!” Satu ruangan pun tertawa.
Sebagai orang yang penuh tenggang rasa lagi berbudi luhur, ane tentu nahan ketawa demi menjaga kewibawaan peserta tersebut, terlebih saat itu merupakan sesi mengungkapkan buah pikiran. Namun, celaka, ane enggak bisa nahan, kotak ketawa ane jebol, hingga akhirnya ane ikut ketawa ngakak juga sampai ditegur peserta yang lain: “Tuh, Bapak juga ketawa!”. Lha gimana enggak ketawa, di mana lagi coba bisa lihat orang berwajah oriental dan berpita suara mirip Cak Lontong? Tapi mungkin di Surabaya banyak kali, ya.
Berkaca dari kejadian tersebut, jadi menurut ane potensi menertawakan atau ditertawakan terhadap dan atas suatu dialek merupakan hal wajar. Namun, terlepas dari itu semua, seruan Bung Arienal kepada kaum ‘Ngapak’ murni merupakan hak prerogratifnya sebagai insan ‘Ngapak’ (dan juga insan Mojok).
Keluhuran Dialek Ngapak
Terkait dan tertarik dengan tulisannya, ane mencoba Googling di Yahoo (maklum laman muka awal ane diset Yahoo) tentang asal-usul bahasa/dialek ‘Ngapak’, yang oleh beberapa sumber disebut sebagai ‘Jawa Banyumasan’ atau bahasa ‘Jawa dengan dialek Banyumas’. Salah satu ciri yang menonjol dari bahasa ‘Jawa dialek Banyumas’ adalah akhiran ‘o’, yang mana dalam bahasa ‘Jawa standar’ (dialek Jogjakarta dan Surakarta) dibaca dengan ‘a.’ Seperti kata sakit/lara/ yang dibaca ‘lara,’ bukan ‘loro’ seperti dalam bahasa ‘Jawa standar’.
Selain itu, bahasa ‘Ngapak’ memiliki beragam kosakata unik tersendiri yang merupakan buah asimilasi dan akulturasi dari kontak budaya antarbahasa: bahasa Jawa Kuno, bahasa Jawa pertengahan, bahasa Sunda kuno, dan bahasa Sunda.
Konon, dialek ‘Ngapak’ memiliki identitas kebahasaan yang kuat karena tidak terkontaminasi dengan pengaruh bahasa Jawa baku yang mengenal strata sosial seiring dengan pengaruh kerajaan Mataram. Dapat dikatakan, dialek ‘Ngapak’ merupakan wujud eksistensi historis bahasa Jawa pertengahan yang tidak mengenal stratifikasi bahasa. Fenomena menghilangnya stratifikasi bahasa sendiri umumnya terjadi pada (penutur) bahasa Jawa pinggiran: luar keraton/kedhaton, seperti pada bahasa ‘Jawa dialek Surabaya’ yang kentara ketika janturan sedang dimainkan.
Menghilangnya stratifikasi bahasa dalam dialek ‘Ngapak’ diistilahkan (oleh penutur Ngapak) sebagai ‘blakasuta’. ‘Blaka’ berasal dari bahasa Jawa kuno ‘balaka’ dan bahasa Sansekerta ‘walaka’ yang berarti terus terang, jujur, dan tanpa ditutup-tutupi. Sebagai informasi, kata ini sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘blak-blakan’ yang berarti tidak ada yang ditutupi atau disembunyikan. Sementara itu, kata ‘suta’ berarti ‘anak’. Jadi lebih kurang, ‘blakasuta’ dapat dimaknai sebagai sikap berbicara terus terang, apa adanya, seperti anak yang masih murni atau lugu. Selain itu, ‘blakasuta’ juga diasosiasikan sebagai simbol egalitarianisme karena semua orang dianggap sama sederajat sewaktu berkomunikasi.
Seruan Aa’ Anies Baswedan
Lalu apa hubungannya Aa’ Anies dengan dialek Ngapak? HTS (Hubungan Tanpa Status)? Friendzone? Atau malah LGBT?
Pertama, Pak Anies dipanggil Aa’ karena beliau lahir di Kuningan, Jawa Barat. Secara asas ius soli (kewilayahan), maka ia berhak dipanggil Aa’, Namun, secara de facto, beliau menghabiskan hidupnya sebagai orang Jawa di Jogja yang lancar berbahasa Jawa, tapi bukan dialek ‘Ngapak’. Sementara itu, berdasarkan asas ius sanguinis (keturunan), beliau berparas Arab dan namanya pun mencerminkan ke-Arab-annya.
Inilah cermin manusia Indonesia: berbineka. Aa’ Anies, eh, maksudnya Mas Anies, disadari atau tidak, telah menjejaki dirinya sendiri sebagai manusia yang bineka.
Sama halnya dengan bahasa-bahasa yang eksis di Indonesia, dialek ‘Ngapak’ sebagai salah satu sub-dialek bahasa Jawa merupakan salah satu aset kebinekaan Indonesia. Sedangkan kebinekaan bahasa Indonesia sendiri tercermin dari aneka kosakatanya yang diserap dari berbagai bahasa. Mas Anies berpesan kepada para penutur bahasa Indonesia agar lebih banyak menyerap kosakata bahasa lokal ke dalam bahasa Indonesia agar mampu menjadi bahasa global/internasional. Ia mencontohkan jumlah kosakata bahasa Inggris sebanyak satu juta lema dengan pertumbuhannya mencapai 8.500 kata per tahun. Kontras sekali dengan jumlah kosakata bahasa Indonesia yang hanya 91.000 ribu.
Lebih utama, beliau juga menyarankan agar jangan hanya bahasa Inggris yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, namun juga bahasa-bahasa daerah lokal. Mas Anies bahkan mendorong penggunaan kata-kata alay agar tetap dipertahankan karena mencerminkan identitas kebangsaan. “Chemungudh eaaa,” misalnya. Coba bayangkan betapa jenaka bangsa ini kalau sampai ada pejabat yang mengatakan kalimat ini dalam pidatonya:
“Chemungudh Pancasila tidak boleh luntur dalam kehidupan berpolitik di negeri ini!”
Ane sendiri juga punya gagasan untuk memasukkan kata ‘blakasuta’ yang berasal dari dialek ‘Ngapak’ menjadi salah satu lema baku KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) sebagai padanan kata ‘transparansi.’ Dan jika usulan kata ‘blakasuta’ tadi disepakati untuk dipadankan dengan ‘transparansi’–yang merupakan serapan dari kata asing–bukan tidak mungkin Komisi Transparansi Indonesia akan diubah namanya menjadi Komisi Blakasuta Indonesia. Eyang Jokowi (cucunya udah lahir belum, sih?) pun kelak bakal bilang: “Negara harus bisa mewujudkan tata kelola kepemerintahan yang akuntabel dan blakasuta.”
Ane haqqul yakin, setelah berbicara seperti itu, beliau pasti akan ditertawakan oleh orang-orang Malaysia. Iya, ditertawakan, sebagaimana kita yang juga kerap menertawakan bahasa mereka karena keanehannya.