Kamar saya adalah saksi bisu sebuah cerita penuh misteri. Cerita itu soal dua ekor kucing yang hampir tiap malam terlibat pertempuran.
Si kucing satu, sebut saja inisialnya WJK, dan kucing dua berinisial BRP, sama-sama dikenal memiliki karakter pemarah, temperamental, juga arogan. Hal itulah yang membuat warga di Sunter, Jakarta Utara, tempat selama setahun ini saya tidur dan rebah, resah dan gelisah.
Bukan apa-apa, kalau saya sih tidak masalah karena masih hidup sendokir alias dibebastugaskan dari cengkeraman buah cinta (boro-boro buah cinta, ibu negaranya aja pergi sama si Rangga). Setidaknya, ketika kucing terlibat adu mulut, saya masih bisa cuek sambil melanjutkan kegiatan lain seperti baca buku terbaik versi Arman Dhani. Tapi persoalannya, BRP dan WJK ini kadang membuat kesal para tetangga yang kebanyakan punya anak 1, 2, bahkan sampai 5.
Ambil contoh Bapak Iding. Tiap malam, anak pertamanya mewek-mewek kayak habis diputusin cinta dalam acara reality show putus yang pakai dikata-katain segala itu. Saking kesalnya, terkadang Iding melempari dua kucing itu dengan apa saja yang penting haram. Entah botol minuman berisi cairan spritus, kaleng cat bekas berisi minyak tanah, bahkan pernah juga dilempar pakai sempak bekas yang warnanya pudar plus bolong-bolong. Namun, semua upaya itu rupanya selalu berakhir dengan kesia-sian. WJK dan BRP tak pernah merasa takut apalagi kapok. Mereka kembali beradu mulut ketika Iding masuk rumah.
Hingga suatu hari, di siang yang terik, wajah Iding terlihat seperti putus asa. Ia seperti sedang mikir keras caranya agar si kucing minggat. Tak berapa lama ide pun muncul. Iding menyiapkan karung dan meminta bantuan sobatnya untuk melakukan penangkapan. Rencana pun dibuat taktis. Yaitu dengan cara mengepung kucing lalu memasukannya ke dalam karung, setelah itu membuangnya ke kampung paling ujung.
Awalnya usaha mereka berjalan dengan mulus. Iding menangkap satu kucing hanya berbekal jaring. Sementara sobatnya menangkap dengan kedua tangan kosong. Demikian juga dengan proses pembuangan. Mereka berhasil menyingkirkan kucing ke kampung seberang. Usai dibuang, Iding pulang dengan mulut sedikit nyengir-nyengir. Sang anak tentu saja langsung diberi tahu jika kucing sudah dibuang. Ia memastikan besok hari takkan ada lagi kegaduhan kucing-kucing bedebah itu.
Namun, tak disangka tak dinyana seperti Rangga yang datang tepat saat purnama, beberapa hari kemudian kedua kucing itu kembali pulang. Dengan kepala tegak seperti tanpa dosa, mulutnya mengeong sembari saling menatap marah. Keduanya seperti memberi pesan agar pertikaian di antara keduanya tak dipisahkan.
Melihat hal itu, Iding tentu saja kaget sekaligus kesal bukan kepalang. Tanpa basa-basi kemudian dia mengambil ketapel berikut gundu milik anaknya yang kedua. Dengan kekeran mata jereng, kaki Iding memberi aba-aba untuk mulai melepaskan tembakan. Namun si kucing sadar, lantas mereka bersembunyi di balik dinding. Tapi wajahnya tak tampak tegang, mereka justru kelihatan santai.
Cetar … cantik … contreng …. Beberapa kali tembakan Iding mengenai bagian punggung dan kaki si kucing hingga mengeong keras. Tapi, tidak dengan tembakan berikutnya. Begitu tembak, meleset … tembak, meleset … tembak, meleset.
Dengan wajah yang tampak capek, kekesalan Iding tiba-tiba mereda. Sebab dia mulai kebingungan dan tak tahu harus berbuat apa lagi. Namun, di saat-saat kebingungan itulah sobatnya mengarahkan untuk pergi ke seorang pawang binatang. Tak berpikir lama, dia menganggukan kepala sambil berkata: “Iya, saya akan pergi.”
Esok harinya, ambisi melenyapkan kucing sudah dipikir bulat, kali ini Iding dan si pawang bertemu. Dia meminta agar si kucing ditangkap dan setelah itu dibunuh. Si pawang tentu saja bertanya.
“Kucing kok dibunuh?” pawang memulai percakapan.
“Iya, Pak, habis tiap hari binatang jalang itu berantem terus, bikin pusing, juga bikin anak saya nangis.”
“Kok bisa?”
“Bisa, lah. Anak saya kan masih kecil. Dia punya ketakutan sama suara kucing.”
“Emangnya kucing jenis apa?”
“Tidak tahu.”
“Loh?”
“Saya memang tidak tahu.”
“Kamu gimana sih, masa jenisnya saja tidak tahu.”
“Tinggal bunuh saja, ribet banget sih, Pak,” Iding mulai kesal.
“Ya gimana, saya kan harus memahami dulu karakter binatangnya!”
“Tapi, paling tidak Bapak kan pawang yang sudah tentu punya pengetahuan binatang.”
“Ya sudah, jelaskan ciri-cirinya.”
“Pokoknya badannya agak besar, yang satu warnanya kuning dan yang satunya lagi badannya hitam, tapi buntutnya putih. Matanya melotot, kumisnya rada panjang, kukunya tajam, dan bulunya tebal. Kalau malam mereka pasti berantem, kadang saya siram pakai air, kadang-kadang pake spritus, pernah suatu hari saya buang tapi mereka balik lagi dan berantem lagi. Saking kesalnya saya juga pernah tembak pakai ketapel sampai pincang. Anehnya setelah saya masuk rumah, binatang itu berantem lagi seperti tak ada kapoknya. Sekarang saya mau bapak tangkap lalu bunuh saja itu kucing, saya mohon, Pak.”
Mendengar penjelasan itu, si pawang langsung berpikir, ia terdiam seperti sedang menerawang sesuatu. Sementara Iding memperhatikannya secara serius.
Sekitar lima menit berlalu, si pawang membuka kembali pertanyaan.
“Ada sedikit borok di bagian punggung kucing yang warna kuning, ya?”
“Iya, Pak.”
“Yang hitam borok di bagian kuping?”
“Iya benar.”
“Yang satu buntutnya lurus dan yang satunya lagi melingkar?”
“Iya benar, Pak. Kalau begitu kapan mau ditangkap?”
Namun, betapa kagetnya Iding ketika si pawang memberi jawaban mengejutkan.
“Eh, bahlul, itu kucing gue yang sebulan lalu ilang, elu mau bunuh kucing gue berarti elu berantem sama gue. Muke gile madikipe lu pake dilempar spirtus segala. Itu kucing kesayangan anak gue. Sekarang pegi lu dari sini dan bawa tuh kucing kemari, kalau enggak elu yang gue bunuh!”
Mendengar jawaban itu, Iding kaget. Ia terus menerus menunduk tanpa berani menatap wajah si pawang. Perlahan dia pergi karena merasa takut oleh gagang golok yang terlihat menonjol di bagian pinggang.
Sejak itu ia menyadari, kucing adalah mahluk Tuhan yang paling disayang. Maka, hari-hari Iding berikutnya dipersembahkan untuk mengurus semua kucing dengan penuh kasih sayang.