MOJOK.CO – Rasa khawatir memang muncul kalau sebelum merayakan Jumat Agung dan Paskah nanti, ada aja peristiwa teror-teror begini.
Jelang peringatan Jumat Agung dan Paskah 2021, suasana khawatir sempat ada di benak saya ketika muncul peristiwa aksi pemboman di Gereja Katedral Makassar dan disusul serangan teror ke Mabes Polri.
Dua peristiwa tersebut mau tak mau mengingatkan saya kembali, bahwa menjalani hidup sebagai umat Kristen di negara ini memang penuh tantangan. Terutama kalau jelang hari raya begini. Mau itu merayakan Jumat Agung, Paskah, sampai Natal di akhir tahun.
Tapi tolong jangan salah sangka, saya tidak mengeneralisir kalau semua penganut agama yang sama dengan agama para pembom (setidaknya sesuai yang tertera di KTP-nya) pasti juga berniat mencelakakan kami, umat Kristen. Tidak, tidak seperti itu.
Secara jumlah, orang-orang nekat kayak gini saya yakini hanya segelintir. Soalnya kalau mereka banyak ya mana mungkin mereka ngebom dan bikin aksi bunuh diri gitu. Pasti udah bikin perang terbuka lah.
Menyadari itu, saya kadang terheran-heran, bahwa kepercayaan yang dianut seseorang ternyata bisa sekuat itu, meski dia adalah seorang minoritas.
Bagaimana mungkin seorang manusia mau mengantar nyawanya sendiri dan menjemput maut demi keyakinannya? Sudah begitu, rela membunuh orang lain sampai rela membunuh rasa kemanusiaannya sendiri lagi?
Benar-benar hal yang tak bisa mashoook ke nalar logika manusia pada umumnya.
Meski begitu, umat Kristen dan Katolik, dalam menghidupi iman kayak di Jumat Agung begini atau merayakan Paskah besok, tak luput dari hal-hal yang sulit diterima akal dan logika manusia pada umumnya juga.
Misalnya saja, ada Tuhan yang mau menjadi sama (setara) dengan manusia, lalu mau untuk disalib dan menjadi korban penebus bagi dosa seluruh umat manusia. Lalu, bagi mereka yang percaya kepada-Nya, akan diberi jaminan keselamatan dan hidup kekal.
Nggak masuk-akal-masuk-akal-banget kan?
Bagaimana mungkin Yesus (yang sudah hidup enak di surga) mau turun ke dunia, mengantar nyawa dengan cara yang sangat memalukan dan memilukan, yaitu disalip, eh, disalib?
Kalau kita bisa percaya pada pribadi seperti itu, maka sebenarnya kita juga harus bisa memahami (bukan berarti menyetujui lho ya) bahwa para pengantin pembawa bom itu sebenarnya juga sedang melakukan perbuatan yang diyakininya.
Lah, kok malah ngedukung teroris sih, Ngab?
Bukan, bukan gitu, soal keimanan ke hal irasional ini kan keduanya hampir mirip. Toh, keimanan itu kan sama-sama abstrak, dan ekpresinya lah yang nanti bakal menentukan garis batas bedanya.
Ekspresi keimanan itulah yang mewujud pada relasi kita sebagai manusia. Misalnya, kayak ketika Yesus berfirman, “kasihilah sesama(mu) manusia seperti dirimu sendiri.”
Percaya sama firman Yesus itu keimanan, mengasihi sesama manusia, lah itu ekspresinya.
Oleh sebab itu, jika ekspresi keimanan sampai menghilangkan rasa kemanusiaan, ya bakalan wajar kalau orang berangsur-angsur bakal jadi ekstrem.
Boro-boro kayak pelaku bom di Gereja Katedral Makassar dan teror di Mabes Polri kemarin, ratusan tahun lalu ada ratusan ribu korban yang berjatuhan akibat perang salib yang dikobarkan oleh orang Kristen.
Gara-garanya ya sama, ekspresi keimanan disalurkan dalam wujud yang mencelakakan.
Memang nyatanya, kecenderungan untuk menjadi fanatik secara membabi buta ada di ajaran agama apapun. Selalu ada golongan/mazhab garis keras di dalam suatu agama.
Mereka yang lebih memilih memberi makan egonya tapi pakai bungkus agama dikasih karet dobel. Lantas kepikiran untuk menghabisi orang yang berseberangan, karena kelompok yang berbeda dianggap sebagai ragi yang hanya akan mengkhamirkan suatu adonan.
Itulah kenapa, kalau Yesus mengajar para murid, Dia selalu menekankan pentingnya hubungan yang harmonis dan damai dengan sesama umat manusia. Bahkan pada satu momen Dia memberi perintah, “Kasihilah musuh-Mu dan berdoalah bagi siapa yang menganiaya kamu!”
Bahkan firman ini pun berkebalikan dengan pepatah Indonesia, bukannya air susu dibalas air tuba, ini malah air comberan dibalas air Aqua.
Dan ketika kita sudah sampai pada tahap begitu, hidup di tempat paling buruk sekalipun bakal terasa menyenangkan. Sebab pilihan bahagia, merasa enak, merasa asyik atau tidak bukan ditentukan kejadian-antar-kejadian, tapi benar-benar dari pilihan.
Kayak yang Mahatma Gandhi pernah bilang juga, “Nobody can hurt me without my permission.”
Dan untungnya, di Indonesia, hal-hal menyenangkan soal perbedaan agama selalu muncul di tengah-tengah situasi mencekam kayak kasus teror.
Kayak seorang teman saya yang muslim, Mas Nanda Fauzan namanya, tiba-tiba ngirimin saya gambar lewat Whatsapp kapan hari sebelum Jumat Agung.
Gambar itu menggambarkan suasana siswa-siswa yang sedang mengerjakan ujian di kelas. Tiap siswa berada dalam kursinya masing-masing, dengan menghadap meja yang sudah disekat-sekat, untuk menghindari tindakan saling berbagi jawaban antarsiswa.
Satu hal yang menarik perhatian, di tiap sekat tersebut ditempel gambar Yesus Kristus.
Niat para guru sekolah itu sungguh mulia, yaitu agar para siswa merasa takut atau setidaknya tidak enak hati ketika ingin berbuat curang, wong dilihatin sama Tuhannya.
Lalu, Mas Nanda komen begini, “Enak ya, Mas, jadi orang Kristen, Tuhannya bisa di-print bebas.”
Saya tertawa dan membalas, “Iya Mas, di-fotocopy trus disebar-sebar juga nggak masalah, hahaha.”
Mas Nanda melanjutkan lagi, “Tuhan saya boro-boro, Mas, nabinya dilukis aja nggak boleh,” dengan emot menahan air mata, tapi tetep ada ketawanya.
Benar-benar kehidupan yang wang sinawang.
Di satu sisi Mas Nanda melihat agama saya lebih santuy daripada agama dia kita anut, sementara saya kadang juga melihat agama Mas Nanda terlihat santai. Apalagi banyak pemuka agamanya yang lucu banget kalau ngisi ceramah.
Itulah kenapa, saya selalu ingat dengan pemimpin umat yang dhawuh kalau ada peristiwa yang ngeri-ngeri sedap kayak kasus teror jelang Jumat Agung begini, “Jangan terpancing, ampunilah mereka, berdoalah bagi mereka,” dan berbagai nasihat lainnya.
Sebab saya yakin, orang kayak Mas Nanda, ada jauh lebih banyak di dunia ini ketimbang orang yang memang cuma kepengin ada perang, bom, dan kekacauan.
Toh, di peristiwa Jumat Agung pun ada hikmah yang demikian pula. Saat Yesus berada di salib, apa yang Dia ucapkan?
Yesus berfirman, “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.” (Lukas 23:34)
Maka, tak heran Mahatma Gandhi sampai sangat tertarik dengan pribadi dan ajaran Yesus Kristus, khususnya perihal “Khotbah di Bukit” yang legendaris itu.
Gandhi pun pernah mencoba datang ke gereja untuk mengikuti ibadah umat Kristen. Namun apa yang terjadi? Gandhi ditolak mentah-mentah oleh sang penerima jemaat di depan gereja. Gandhi dianggap berbeda dan tidak layak masuk ke dalam gereja karena pakaiannya.
Menyikapi hal tersebut, keluarlah kata-kata Gandhi yang terkenal itu, ketika diwawancarai wartawan yang kebetulan Kristen juga.
“Saya tidak pernah menolak Kristus. Saya suka Kristus Anda. Tapi saya tidak suka dengan orang Kristen Anda.”
Dan Gandhi melanjutkan, “Jika orang Kristen benar-benar hidup menurut ajaran Kristus, seperti yang ditemukan di dalam Alkitab, seluruh India sudah jadi Kristen hari ini.”
Ternyata, sesama orang Kristen pun, kadang-kadang kita juga nggak asyik. Hehe.
Meski begitu, selamat memperingati Jumat Agung, teman-teman. Semoga seluruh tubuh, pikiran, dan hati kita benar-benar sudah jadi Kristen juga hari ini.
BACA JUGA Panduan Memahami Agama Kristen untuk Orang Islam dan tulisan Yesaya Sihombing lainnya.