[MOJOK.CO] “Bandung terbuat dari Braga, Peuyeum, dan Ridwan Kamil.”
Berawal dari akun twitter Partai Keadilan Sejahtera yang mengumumkan bahwa Dilan adalah nama maskotnya, Surayah Pidi Baiq sampai membuat klarifikasi. Penulis novel Dilan tersebut menyatakan bahwa dirinya sama sekali tidak pernah ada kesepakatan atau kontrak apapun dengan partai yang bersangkutan. Semoga hal ini tidak membuat film Dilan 1990 bernasib sama seperti Sari Roti.
Seandainya tidak ada yang bertanya pada Surayah tentang hubungan antara Dilan maskot partai dan Dilan maskot geng motor, sebenarnya hal ini tidak perlu dijelaskan lagi. Sama seperti Ariel Peterpan yang tidak perlu menjelaskan bahwa bandnya dulu tidak ada kerja sama politik dengan PAN. Bagus Netral pun tidak harus menunjukkan bahwa dirinya benar-benar netral.
Ini murni kesamaan nama saja. PKS menamai maskotnya Dilan sebab ada nama Dilan dalam Partai Keadilan Sejahtera. Hal yang sama yang dilakukan sebuah minimarket waralaba dengan maskot bernama si Domar yang diambil dari brand Indomaret.
Jika mau dihubungkan dengan politik, kenapa film Dilan 1990 tidak dikaitkan dengan Ridwan Kamil saja?
Karena jelas, Kang Emil jadi cameo di sana. Setiap penonton film Dilan 1990 akan melihat Kang Emil berperan sebagai guru yang menempel pengumuman di mading. Tentunya manuver ini bisa menambah elektabilitas Ridwan Kamil di percaturan pilgub Jawa Barat. Bisa saja jumlah penonton film Dilan di Jawa Barat nanti berbanding lurus dengan jumlah pemilih Kang Emil.
Bahkan, ada penonton yang memutuskan nonton film Dilan karena ingin melihat akting Kang Emil semata. Hasilnya? Dia review, filmnya bikin ngantuk. Hal ini berujung dia dirisak oleh penggemar Dilan. Padahal yang terpenting, tujuan penonton tersebut telah tercapai, yaitu menyaksikan Ridwan Kamil. Sayangnya, sang wali kota Bandung tersebut hanya kebagian jatah adegan sekelebat dengan dialog singkat. Namun, dialog Kang Emil dalam Bahasa Sunda ini cukup bombastis, yang kira-kira artinya begini:
“Ngapain ke Jakarta? Mending di Bandung aja. Bandung kan adem, kalau Jakarta bikin gerah.”
Dialog tersebut bisa dipotong dari film, lalu dijadikan senjata oleh lawan politik. Potongan film itu akan digunakan apabila di masa depan Ridwan Kamil mencalonkan diri menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Namun, jika dilihat dari namanya, Ridwan Kamil tidak cocok menjadi Wali Kota Bandung atau Gubernur Jawa Barat. Beliau lebih cocok menjadi wakil presiden. Maaf nih, Cak Imin.
Siapa saja yang jadi RI 1 di periode mendatang, Ridwan Kamil pantas jadi RI 2, tapi dengan ditambah huruf ‘N’ di belakangnya. Sehingga RI 2 N dibaca ‘RI dua N’. Alias Riduan, atawa Ridwan. Gimana? Cocok, kan? Wow! Wow! Wow!
Jika pilpres kemarin ada slogan “Jokowi Adalah Kita”, maka Ridwan Kamil bisa membuat slogan tandingan, “Ridwan Adalah Kami & L”.
“Apaan tuh Kami & L?”
“Kami dan lo. Alias kita-kita juga.”
Demikian hasil dari jalan ninja yang dipilih Ridwan Kamil: konsisten menjadi cameo. Rata-rata film dengan latar tempat Kota Bandung selalu menyertakan beliau sebagai karakter numpang lewat. Di film Hijabers in Love, beliau menjadi supir bus yang disorot sepintas. Di sinetron serial Preman Pensiun, beliau tampil. Begitu juga di film The Wedding & Bebek Betutu. Sebelum Dilan 1990, beliau berperan sebagai seorang ayah galak di film Total Chaos. Sedikit lagi daftar film yang dibintanginya bisa menyaingi deretan filmnya Reza Rahadian dan Vino G. Bastian. Kalau ada istilah Babe Cabita wajib ada di film komedi, Ridwan Kamil fardhu ain jadi cameo di film bersetting Bandung.
Jadi, jika sudah letih menjadi pejabat daerah, bisalah Ridwan Kamil terjun sepenuhnya ke dunia film. Seperti Denny Sumargo, dari pebasket ke pemeran. Nah, nanti jika Ridwan Kamil menulis buku tentang kisah hidupnya seperti yang dilakukan oleh Pak Habibie, lalu diangkat menjadi film, Ridwan Kamil bisa memerankan dirinya sendiri. Memangnya hanya Raditya Dika saja yang bisa begitu?
Menjadi cameo saja sudah bisa membuat nama Ridwan Kamil diperbincangkan. Ridwan Kamil tidak perlu seperti pesaingnya di pilkada Jabar, yakni Deddy Mizwar yang selalu muncul di televisi setiap bulan Ramadhan: dari sinetron religi sampai iklan pasta gigi. Sampai-sampai nama Deddy Mizwar kerap disandingkan dengan sirup Marjan sebagai penanda memasuki bulan puasa dimana Deddy Mizwar lebih sering muncul di TV ketimbang Deddy Corbuzier.
Yang perlu digaris-bawahi, kemunculan Ridwan Kamil di film bersetting Bandung bukanlah akrobat politik semata. Melainkan suatu bentuk dukungan beliau terhadap perfilman dan industri kreatif di Bandung. Beruntunglah Bandung punya Kang Emil.
Tentu, tokoh politik yang peduli dengan perfilman Indonesia tidak hanya Ridwan Kamil dan Deddy Mizwar. Satu hal yang tidak kita sadari, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno juga mendukung pembuatan film Keluarga Cemara Reborn yang dikenal sebagai sinetron berkualitas pada zamannya. Oleh sebab itu Anies-Sandi mengizinkan becak beroperasi kembali di DKI Jakarta. Supaya nanti cerita di film tetap relevan dengan realitas. Ingat, profesi Abah di sinetron Keluarga Cemara itu bukan driver ojol apalagi taksol, melainkan penarik becak.