MOJOK.CO – Keluarga habib atau orang Arab sering dianggap “crazy rich” di kampungnya. Kenapa ya? Memang warisan Nabi banyak sekali apa?
Di kampung saya, di Bondowoso, Jawa Timur, ada diktum di kalangan non-Arab di sana tentang para orang Arab keturunan Nabi Muhammad yang bunyinya (dalam bahasa Madura swasta) seperti ini: “Mon reng Arab, makeh tak tarekat, panggun beih berkat.”
Artinya kira-kira, “Kalau orang Arab (maksudnya para habib), meski tak bertarekat (beribadah sunnah dengan rajin), tetap saja berkah.”
Diktum ini lahir dari tradisi penghormatan yang sangat tinggi pada Nabi Saw, sehingga keturunannya pun ikut-ikutan dihormati. Sekaligus juga sebagai tuntunan moral agar tak iri pada para habib karena menjadi habib itu bukan permintaan yang bersangkutan melainkan anugerah dari Allah.
Namun, yang juga menarik, kalau itu diktum ukhrawi, ada pula diktum duniawinya, yakni: “Mon reng Arab, makeh tak alakoh, panggun beih ngakan.”
Kira-kira artinya, “Kalau orang Arab (maksudnya para habib), meski tak bekerja, tetap saja makan (maksudnya berkecukupan secara ekonomi atau bahkan kaya).”
Ini diktum lama yang hingga kini telanjur populer. Tak selamanya mengasyikkan tentunya, apalagi bagi para habib yang tak kaya. Soalnya diktum itu bisa berbalik menjadi semacam (minimal) tekanan, atau (maksimal) ejekan, “Habib kok miskin?”
Saya pertama kali mendengar diktum itu saat kecil dari seorang tukang becak yang saya tumpangi dan sering mendengarnya lagi belakangan ini.
Dan memang dulu, di kampung saya, mayoritas para habib itu kaya-kaya, meski tentu ada yang tidak (di antaranya Ayah saya yang tak di bawah garis kemiskinan memang, tapi tepat di garis kemiskinan). Apalagi saat ini, sudah tak sedikit dari mereka yang tak benar-benar kaya lagi.
Kakek saya wafat dalam usia relatif muda, belum berkepala empat, tapi telah mewariskan dua rumah untuk salah satu anaknya, yakni ayah saya. Belum lagi pada anak-anaknya yang lain berupa beberapa rumah juga dan toko-toko di dalam dan luar kota. Bandingkan dengan saya misalnya yang sama-sama belum berkepala empat, tapi satu rumah pun tak punya.
Begitu juga habaib zaman dahulu yang lain, mewariskan rumah yang sangat besar dan megah dengan pilar-pilar besar yang tak mampu dipeluk oleh anak di bawah 17 tahun lantaran begitu besar diameter pilarnya. Semua mebelnya jati berkualitas tinggi. Gaya arsitekturnya juga mentereng. Itu bisa Anda lihat sampai sekarang di kampung saya atau kampung Arab lain di berbagai kota.
Gambaran semacam ini yang lantas menjadi stigma untuk orang-orang seperti saya di era sekarang, bahwa habib di kampung Arab, selalu dianggap crazy rich. Paling tajir di antara tokoh-tokoh lain di kampungnya.
Pertanyaannya, mengapa bisa kaya? Mengapa bisa label crazy rich itu melekat ke leluhur-leluhur kami? Tentu bukan karena sisa-sisa harta Nabi. Beliau tak mewariskan harta melainkan iman, Islam, ilmu, dan akhlak.
Kalau untuk generasi ayah saya, mudah dijelaskan, yakni tak lain karena warisan yang berlimpah, sehingga meski tak kerja ngotot atau sekadar investasi tak serius saja sudah cukup.
Toh pada kenyataannya, ayah saya juga akhirnya tak mampu mempertahankan “kekayaan” itu dengan baik karena selama hampir 40 tahun tak bekerja sama sekali. Roda nasib membuat Ayah harus rela mengurus lembaga pendidikan, dakwah, dan sosial di kampung tanpa gaji sepeser pun. Iya, selama 40 tahun tanpa gaji.
Namun, sebagian yang lain mampu mempertahankan hingga mengembangkannya dengan modal warisan yang ada untuk menjadi modal usaha. Faktor selain itu, ada juga faktor karena anak-anaknya di kota bekerja dan sukses, serta sangat berbakti pada orang tuanya. Anak-anak itu lah yang jadi mesin ATM orang tuanya di kampung.
Bahkan, kami punya tradisi, uang hasil kerja semuanya ditransfer ke orang tua untuk orang tua kemudian transfer balik sebagian (sebagai uang saku). Pokoknya, di tradisi keluarga habaib seperti di kampung saya, orang tua itu “jimat” lah.
Namun, bagaimana dengan generasi di atas Ayah saya dan seterusnya ke atas, termasuk generasi pertama ke Nusantara dulu yang bisa dibilang sebagai awal mula stigma “orang Arab di Nusantara selalu crazy rich itu?
Saya kira karena kami memang seorang pedagang yang ulung karena jam terbang lintas generasi. Naluri kecakapan berdagang mengalir dalam aliran darah kami dari generasi ke generasi.
Apalagi dengan dukungan modal berupa warisan yang cukup. Meski dagangannya tak jauh-jauh dari dagangan khas para habib, seperti minyak wangi, herbal, jamu, oleh-oleh haji, dan lain-lain. Kami memilih berdagang dan mewariskan itu hingga menjadi naluri dengan beberapa alasan yang sangat kuat.
Pertama, mengikuti datuk kami, yakni Nabi Saw. Nabi Saw pedagang dan kami menjadi pedagang karena sangat yakin ada keberkahan berlimpah dalam pilihan bisnis Nabi Saw.
Kedua, menjadikan dagang bukan utamanya sebagai bisnis tapi medium dakwah: bukan dagang sambil dakwah, tapi dakwah sambil dagang.
Itu sebagaimana memang generasi pertama habib ke Nusantara begitu, yang itu juga mengikuti Imam Ahmad Al-Muhajir (datuk para habib yang pertama hijrah dari Bashrah (Irak) ke Hadhramaut, Yaman) yang membawa harta begitu melimpah untuk kepentingan membangun perekonomian di Hadhramaut karena sangat sadar bahwa dakwah butuh uang, yang itu juga mengikuti Nabi Saw yang didukung dana Sayyidah Khadijah (crazy rich sebenar-benarnya pada eranya) dalam dakwahnya.
Rata-rata toko para habib memiliki kursi nongkrong di depannya untuk jadi tempat ngobrol-ngobrol soal keislaman. Kebiasaan kami juga ketika bertemu konsumen, lamanya justru untuk ngobrolin keislaman dan urusan tawar-menawar dagangan bukan lagi nomor wahid.
Lalu kenapa para habib yang miskin tak tampak di mata para pencetus dan peyakin diktum di awal tulisan ini tadi?
Karena memang para habib yang miskin itu takkan sampai menjadi urusan orang lain yang non-habib. Bahkan kabarnya pun takkan sampai ke telinga non-habib. Kami berupaya membangun solidaritas antar-kami untuk saling membantu agar urusan “rumah tangga” kami ini tak sampai merepotkan orang lain.
Lantaran pertama, pesan dari Nabi Saw dalam sabda riwayat Imam Muslim, Imam Ahmad, dan lain-lain, kerabat adalah yang paling berhak atas sedekah kita. Begitu juga fikih mengatur agar yang pertama disedekahi itu kerabat.
Kedua, karena secara fikih, kami memegang teguh doktrin bahwa habib dilarang menerima zakat. Maka kami harus saling membantu dengan solidaritas di antara kami masing-masing.
Ketiga, kami merasa di antara para habib harus saling mengayomi sebagai satu kesatuan “rumah tangga” dan upaya menjaga “marwah” atau kehormatan habib.
Meski begitu, kunci dari segala kunci sebenarnya adalah “kaya hati”, baik dalam pengertian spiritual atau pun mental.
Kalau Anda kaya hati, Anda takkan terlihat miskin. Karena secara spiritual, Allah takkan biarkan Anda terlihat miskin, meski nyatanya miskin. Dalam artian, memang tetap miskin, tapi berkah.
Saat butuh sesuatu, ada saja jalan dari-Nya untuk mendapatkan sesuatu itu dari tempat tak terduga-duga (min khaitsu la yahtasib). Atau, meski punya hanya sedikit, entah kenapa bisa cukup-cukup saja.
Adapun secara mental, perasaan terhormat akan menggiring Anda pada kreativitas tanpa batas untuk berdikari secara ekonomi. Seperti Mojok, yang dengan perasaan terhormatnya (meski tak kaya-kaya amat sebagai sebuah media) tetap merasa cukup, berdikari, dan masih mampu menjaga idealismenya. Setidaknya sampai usianya yang mencapai tahun ke-7 beberapa hari lagi.
Selamat ulang tahun Mojok. Semoga tetap menjadi majelis ghibah yang bisa terus menampung keluh kesah umat dengan cara yang menyenangkan dan esok nanti bisa menjadi crazy rich selanjutnya.
BACA JUGA Habib Kok Gitu? Udah Nggak Pakai Jubah, Malah Aktif YouTube-an Lagi dan tulisan Husein Ja’far Al-Hadar lainnya.