Masih ingat teori ekonomi tentang supply dan demand? Intinya teori ini mengungkapkan bahwa semakin tinggi demand (permintaan) akan suatu barang, maka semakin tinggi pula nilai atau harganya. Sebaliknya, semakin tinggi supply (persediaan) suatu barang, maka semakin rendah harganya.
Begitu pula dalam dunia kerja. Di era digital saat ini, di mana setiap lini kehidupan sudah serba go digital, menyebabkan kebutuhan atas keahlian di bidang teknologi digital semakin tinggi.
Artinya, demand terhadap tenaga kerja di bidang teknologi (programmer, engineer, apa saja sebutannya) semakin tinggi. Sedangkan ketersediaan mereka di dunia kerja masih sangat kurang. Maka, terciptalah kondisi di mana demand tinggi tetapi supply rendah, yang mana secara otomatis akan meningkatkan nilai (gaji) para programmer di dunia kerja.
Alasan lain, pekerja di bidang IT dituntut memiliki skill yang harus selalu up to date seiring perkembangan teknologi yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Selain itu, bidang pekerjaan ini disebut-sebut cukup sulit, rumit, dan bisa membuat rambut gampang beruban, jadi wajar jika gajinya pun besar.
Namun yang mungkin menimbulkan tatapan iri pekerja lain, para netizen yang pro terhadap pernyataan gaji programmer terlalu besar, adalah fakta bahwa pekerjaan di bidang IT ini terlihat begitu santuy.
Buktinya mereka bebas bisa bekerja di mana saja dan kapan saja. Ibaratnya mereka bekerja sambil koloran dari rumah aja, kok bisa gajinya tinggi?
Sepertinya “kontroversi” masalah gaji ini juga tidak pernah terjadi kepada para pekerja di bidang pertambangan yang gajinya sudah fantastis dari dulu. Apakah orang harus berkeringat di lapangan dulu baru bisa dikatakan layak mendapat gaji yang besar?
Ternyata gaji programmer juga pernah ngenes
Sebelum melirik sirik kepada para programmer, ada baiknya flashback antara 2000 hingga 2010. Saat itu, para programmer ini mengalami masa-masa ngenes saat digaji rendah oleh perusahaan.
Orang terdekat saya, yang juga seorang programmer, mengaku bahwa saat itu dia digaji sedikit di bawah UMR di mana profesi lain bisa digaji lebih tinggi. Hal tersebut mungkin terjadi karena pada saat itu pekerjaan para programmer, dengan keahlian mereka di bidang IT, belum terlalu dianggap strategis oleh perusahaan.
Sifat pekerjaan di bidang IT yang susah namun digaji rendah pada saat itu, membuat sebagian anak muda ogah masuk kuliah jurusan IT karena dianggap kurang bagus perspektifnya di masa depan. Nah, bisa jadi para programmer masa kini yang dulunya tetap setia bekerja di bidangnya meski pekerjaannya sulit dan digaji rendah. Hingga sampailah mereka pada masa di mana skill teknologi informasi begitu dihargai, yaitu saat ini.
Kabar baik dari fenomena ini
Mari kita lihat sisi positifnya dari fenomena ini. Kabar baiknya, nyatanya pekerjaan sebagai programmer memberikan peluang kerja yang luas bagi siapa saja, tanpa terlalu memperhatikan kriteria yang umumnya dijadikan pertimbangan di posisi pekerjaan lain. Misal harus lulusan kampus ternama, maksimal usia, hingga penampilan yang menarik.
Bahkan berdasarkan akun IG @loker_it, ada sebuah postingan lowongan pekerjaan sebagai programmer, yang salah satu kualifikasi pendidikannya minimal hanya lulusan SMA/sederajat. Dalam lowongan-lowongan yang di-posting di akun tersebut juga jarang yang menyebutkan kriteria maksimal usia. Melainkan lebih mengedepankan pada skill tertentu.
Saya sampai pada suatu kesimpulan bahwa benar adanya isi tweet seorang profesional yang saya baca tempo hari bahwa pekerjaan sebagai programmer bisa menjadi jalan pintas bagi siapa saja yang ingin mengubah nasibnya. Asal mau berusaha, sabar, dan mau berpusing-pusing-ria mempelajari skill yang dibutuhkan, niscaya profesi ini akan selalu terbuka lebar untuk mereka.
BACA JUGA Data Scientist: Pekerjaan dengan Gaji Tinggi dan Tanggung Jawab Moral Ekstra dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Fitri Apriyani
Editor: Yamadipati Seno