ADVERTISEMENT
  • Cara Kirim Artikel
Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Persona
    • Seni
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Memori
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
    • Sosial
    • Tekno
    • Transportasi
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Persona
    • Seni
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Memori
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Politik
    • Sosial
    • Tekno
    • Transportasi
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
Logo Mojok
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-uneg
  • Movi
  • Terminal
  • Kanal Pemilu
Beranda Esai

Membela Kasus Pemotongan Nisan Salib Kotagede Tak Perlu Jadi Pluralis Fundamentalis

Kardono Setyorakhmadi oleh Kardono Setyorakhmadi
20 Desember 2018
0
A A
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Menghakimi masyarakat dalam kasus pemotongan nisan salib dengan local wisdom-nya sama seperti pandangan kolonial klasik memandang dunia yang ditaklukkannya.

Selama kuliah di filsafat dulu, saya mengenal bahwa kebenaran ternyata mempunyai banyak jenis. Tidak bersifat tunggal. Kebenaran lebih dari sekedar benar mana: bumi itu bulat atau bumi itu berbentuk donat.

Dalam kehidupan sebenarnya, ternyata ada beberapa jenis kebenaran. Bahkan, ada kebenaran sebuah preposisi yang jika disebutkan kebalikannya, tetap benar juga. Contohnya, jika saya mengucapkan hidup itu singkat. Jika disebutkan kebalikannya, hidup itu lama, maka itu juga benar.

Masalahnya, hal ini yang terjadi dengan kontroversi pemakaman Albertus Selamet Sugihardi di TPU Purbayan, Kotagede, Jogja. Gara-garanya sederhana, nisan makam almarhum yang berbentuk salib harus dipotong oleh warga.

Tema, yang sebenarnya sudah ditulis dan diulas oleh esais pilih tanding Iqbal Aji Daryono. Sampai jadi balas-membalas yang panas dengan Arman Dhani. Yang bangsatnya, membuat saya bingung harus masuk darimana. Lha yang menarik-menarik sudah dihabiskan oleh argumentasi dua orang itu.

Tapi, baiklah. Saya numpang argumentasinya Iqbal dulu. Pak Selamet meninggal dan dimakamkan di makam kampungnya di Purbayan. Pak Selamet beragama Nasrani, dan keluarga sempat hendak memakamkannya dengan simbol Nasrani pula. Tapi, mayoritas penduduk kampung di sana adalah muslim. Dan tidak setuju dengan adanya simbol Nasrani pada makam itu.

Baca Juga:

caleg islami mojok.co

Membangun Citra Islami Efektif Bantu Calon Mendulang Suara

4 Agustus 2023
Ziarah Makam Mustafa Kemal Ataturk, Misteri Jasad Ditolak Bumi dan Bau Busuk. MOJOK.CO

Ziarah Makam Mustafa Kemal Ataturk, Misteri Jasad Ditolak Bumi dan Bau Busuk 

27 Mei 2023

Maka, nisan kayu yang berbentuk salib dipotong bagian atasnya, dan hanya menjadi seperti huruf T. Kemudian, si keluarga hendak melakukan doa perkabungan di rumahnya, masyarakat menolaknya. Akhirnya, doa dipanjatkan di Gereja Santo Paulus Pringgolayan.

Lalu, entah bagaimana, kasus ini menjadi viral. Netizen mengecam. Intoleransi terjadi. Kemudian, muncul pula surat pernyataan yang ditandatangani tujuh orang. Termasuk Maria Sutris Winarni, istri pak Selamet. Isinya berupa pernyataan bahwa Maria tak mempermasalahkan adanya pemotongan nisan berbentuk salib tersebut. Bahwa hal itu dilakukan demi kebaikan bersama, dan keluarga tidak ada masalah sama sekali.

Apakah kasusnya selesai? Bagi Iqbal sih iya.

Dia punya landasan kuat untuk itu. Dia melakukan analisis bahwa Kotagede sebenarnya sama dengan komunitas adat. Sama seperti dengan dominannya kaum Nasrani di Pulau Mentawai, atau umat Hindu di Bali.

Sehingga, sah-sah saja jika ada konsensus dalam masyarakat tersebut, termasuk dalam pemakaman. Apalagi, keluarga pak Selamet pun tidak mempermasalahkan. Dibuktikan dengan surat pernyataan tersebut. Baginya, netizen yang mempermasalahkan tak lebih dari pluralis fundamentalis SJW yang tak paham konteks lokalitas.

Argumen ini benar. Dalam etika, argumentasi ini mirip dengan etika utilitarianisme. Aliran yang diperkenalkan oleh filsuf jenius eksentrik Jeremy Bentham ini berprinsip bahwa “kebahagiaan itu bisa dikuantifikasi”. Karena kebahagiaan ala Deontologis Immanuel Kant itu subjektif dan sulit diukur. Bentham memperkenalkan apa yang namanya “kalkulus kebahagiaan”.

Kebahagiaan adalah kebaikan komunal untuk jumlah yang lebih besar. Hitung sejauh mana satu keputusan itu mendatangkan kebaikan terbesar untuk lebih banyak orang. Maka keputusan warga Purbayan sangat bisa dipahami.

Lagipula, menghakimi sebuah masyarakat adat dengan local wisdom-nya sama seperti pandangan kolonial klasik memandang dunia yang ditaklukkannya. Barbar, tidak maju, dan sebaiknya diarahkan ke yang benar. Sama seperti Inggris, Prancis, Belanda melihat negara-negara dunia ketiga.

Namun, masalahnya, kebenaran dalam kehidupan tidak bekerja seperti itu. Ada satu hal yang bisa sekaligus benar dan salah. Termasuk halnya kasus pemakaman Pak Selamet ini.

Pertama adalah pengabaian terhadap perasaan keluarga Pak Selamet. Bayangkan Anda menjadi keluarga Pak Selamet. Menjadi kelompok minoritas dari masyarakat. Di mana Anda tak punya rumah lagi selain di sana. Tak punya pilihan untuk berganti lingkungan.

Jika lingkungan meminta Anda untuk menghilangkan simbol keagamaan Anda, dan kemudian menyodori surat pernyataan untuk ditandatangani, apakah Anda punya pilihan lain? Adakah pilihan lain untuk Maria Sutris? Menolak semua itu? Yang benar saja.

Siapa pun akan realistis untuk menerima. Menolak berarti sama dengan menyatakan perang dengan lingkungan. Setidaknya, temuan dari Komisi Keadilan Perdamaian dan Keutusan Ciptaan (KKPKC), komisi gabungan dari Kevikepan Jogjakarta dan Keuskupan Semarang menunjukkan adanya intimidasi dari sekelompok pendatang dengan dukungan dari luar terhadap keluarga Selamet.

Jelas, Maria dan keluarganya tak mempunyai pilihan lain untuk sukarela bertanda tangan. Mereka tentu lebih memilih untuk harmoni dengan lingkungan.

Yang kedua, peristiwa ini memberikan pesan yang buruk. Yakni, tidak ada perlindungan untuk minoritas. Sesuatu yang kini makin langka di Indonesia. Memang benar apa yang dikatakan Iqbal. Banyak dari netizen yang mengecam itu berlebihan. Argumentasi yang dibangun pun mirip-mirip fundamentalis. Tapi, pesan yang mereka terima benar juga. Yakni, tidak ada perlindungan untuk minoritas.

Situasi ini menimbulkan dilema yang menjengkelkan. Mengecam keputusan masyarakat Purbayan itu terasa seperti kolonial, namun membenarkan keputusan itu mengirim pesan buruk: pemakluman tirani mayoritas ke minoritas.

Beberapa saat usai polemik pemotongan nisan di Kotagede, Jogja ini, seorang kawan beragama Nasrani menulis di statusnya seperti ini:

“Ya ndak papa, ndak boleh pasang salib di makam, makam Yesus mula-mula juga nggak pake simbol salib. Simbol itu untuk yang hidup, mereka yang butuh yang meninggal lebih butuh belas kasihan Tuhan. Bukan belas kasihan manusia lagi.

Ya ndak papa, ndak boleh doa-doa di rumah. Kalau kemudian ada yang terganggu, tahu diri saja, doanya dalam hati. Bukankah akan lebih khusyuk? Suara hatimu yang akan didengar Tuhan. Cukup kau dan Tuhanmu yang tahu. Kalau kau peduli dan mendoakan benar-benar agar yang meninggal dimaafkan Tuhan, dan ada yang ditinggal benar-benar dimaafkan tetangga oleh jerit suara pilu dukamu.

Kalau doamu dianggap mengganggu, berarti memang ada yang terganggu. Sebagai minoritas, ya terima sajalah. Kau ini bisa apa.”

Begitu membaca itu saya jadi ingin berbalik bertanya ke sahabat-sahabat yang lain. Sebagai mayoritas, ya kita sih terima-terima saja. Justru kita yang malah nggak bisa apa-apa. Yang minoritas udah mencoba mengalah, masa yang mayoritas masih tetap tidak tergugah?

Terakhir diperbarui pada 20 Desember 2018 oleh

Tags: intoleransikotagedemakamMuslimnasraninisan salibYesus
Kardono Setyorakhmadi

Kardono Setyorakhmadi

Jurnalis spesialis aksi terorisme. Tinggal di Surabaya.

Artikel Terkait

caleg islami mojok.co
Kotak Suara

Membangun Citra Islami Efektif Bantu Calon Mendulang Suara

4 Agustus 2023
Ziarah Makam Mustafa Kemal Ataturk, Misteri Jasad Ditolak Bumi dan Bau Busuk. MOJOK.CO
Ziarah

Ziarah Makam Mustafa Kemal Ataturk, Misteri Jasad Ditolak Bumi dan Bau Busuk 

27 Mei 2023
Pengakuan Penjaga Makam Belanda Peneleh dan Jin Berambut Gimbal yang Bersayap. MOJOK.CO
Ziarah

Pengakuan Penjaga Makam Belanda Peneleh dan Jin Berambut Gimbal yang Bersayap

10 Mei 2023
Ilustrasi daerah di Indonesia yang tidak toleran. MOJOK.CO
Kilas

10 Kota Paling Tidak Toleran di Indonesia, Cilegon Nomor Pertama

14 April 2023
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Surat Terbuka untuk Mbak Grace Natalie dan PSI Soal Tolak Poligami

Mobil Ayla 1000cc, Si Anak Tiri yang Bensinnya Irit Kayak Sepeda Motor

Tinggalkan Komentar


Terpopuler Sepekan

Membaca Kembali Sejarah Kwitang Sebagai Kampung Jawara Silat dan Titik Penting Bagi Bung Karno di Jakarta Pusat

Membaca Kembali Sejarah Kwitang Sebagai Kampung Jawara Silat dan Titik Penting Bagi Bung Karno di Jakarta Pusat

27 September 2023
Skenario Terkait Dua Poros dalam Pilpres 2024, Pengamat: Anies-Imin Bisa Bubar MOJOK.CO

Skenario Terkait Dua Poros dalam Pilpres 2024, Pengamat: Anies-Imin Bisa Bubar

22 September 2023
Kaesang Pangarep, Masuk Partai Langsung Jadi Ketua Umum PSI MOJOK.CO

Menelusuri Jejak Kaesang Pangarep, Baru Dua Hari Masuk Partai Langsung Jadi Ketua Umum PSI

26 September 2023
Sepatu sekolah.MOJOK.CO

7 Merek Sepatu Sekolah Terbaik, Tetap Trendi untuk Perempuan dan Laki-laki

21 September 2023
Jurusan IPS SMA.MOJOK.CO

Jurusan IPS SMA Bisa Jadi Apa? Berikut Jurusan Kuliah hingga Prospek Kerjanya

27 September 2023
Kampung Sayidan, Kampung Arab dalam Lagu Shaggydog MOJOK.CO

Menelusuri Kampung Sayidan, Kampung Arab dalam Lagu Andalan Shaggydog

26 September 2023
Universitas PGRI Terbaik di Indonesia Terletak di Madiun MOJOK

11 Universitas PGRI Terbaik di Indonesia, Nomor Satu Berada di Madiun

22 September 2023

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
DMCA.com Protection Status

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Kanal Pemilu 2024
  • Esai
  • Liputan
    • Bertamu Seru
    • Geliat Warga
    • Goyang Lidah
    • Jogja Bawah Tanah
    • Persona
    • Seni
    • Ziarah
  • Kilas
    • Ekonomi
    • Hiburan
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Luar Negeri
    • Memori
    • Olah Raga
    • Pendidikan
    • Sosial
    • Tekno
    • Transportasi
  • Konter
  • Otomojok
  • Malam Jumat
  • Uneg-Uneg
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2023 MOJOK.CO - All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In