Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Mau Nonton “Hanum & Rangga” atau “A Man Called Ahok” Aja Ada Cap Cebong dan Kampret

Herawati Aisha Rara oleh Herawati Aisha Rara
12 November 2018
A A
Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Polarisasi belakangan ini bisa bikin orang yang ingin nonton “Hanum & Rangga” atau “A Man Called Ahok” jadi ragu. Khawatir kena cap kampret atau cebong di jidat.

Media sosial kembali menghangat. Bukan hanya karena Politik Genderuwo yang dipopulerkan oleh Jokowi dan membuat gelombang pem-bully-an semakin menggelora antara kedua kubu, melainkan juga ulah para sineas perfilman Indonesia.

Kamis, 08 November 2018, telah launching dua buah film Indonesia yang tokoh utamanya masing-masing punya pendukung garis keras yang hobi berantem di sosmed. Ahok dan Hanum Rais bertanding tinju, eh, kepopuleran lewat kisah-kasih kehidupan mereka yang diduga bisa menginspirasi banyak orang.

Meme, skrinsyut, dan komentar pun saling bersahutan. Yang paling viral namun blunder fatal adalah seseorang yang membandingkan jumlah penonton film A Man Called Ahok dengan Faith And The City lewat tampilan gambar “pilihan kursi” yang biasa kita lihat ketika mau milih tempat duduk di bioskop.

Maksud hati mau ngetawain film Ahok yang kursinya banyak bertanda merah dan dia pikir banyak kursi kosongnya alias gak laku, alias nggak ada yang nonton dibandingkan dengan film Hanum yang jauh lebih banyak ditandai hijau. Eh, ternyata kebalik euy. Tanda merah artinya sold out, hijau malah masih available. Duh, nggak kebayang deh malunya.

Mungkin sama dengan malu yang saya rasakan saat dulu ikut-ikutan refleks bela-belain Ratna Sarumpaet, padahal zonk. Berasa pengen ngumpet, tapi tugas dakwah masih banyak (sok pledoi, hehe).

Tapi begini, Gaes, mau dilihat lewat kacamata apapun. Popularitas Ahok itu jauh melebihi Hanum—dalam dunia politik apalagi. Hanum belum ada apa-apanya jika dibandingkan dengan Ahok. Lain halnya kalau yang tanding bapaknya Hanum—you know who lah. Tapi entah kenapa kok orang malah lebih tertarik bikin film kisah anaknya dibanding ayahandanya? Plis, yang tahu tolong inbox saya ya? Haha.

Jadi menurut saya sebagai orang awam dunia perfilman, sorry to say, film A Man Called Ahok kayaknya bakal lebih ramai daripada film Faith And The City-nya Hanum. Lagian kalau mau dilihat polarisasi dukungan, saya pikir pendukung Ahok merupakan orang-orang yang lebih akrab dan nggak takut-takut gitu untuk pergi ke bioskop dibanding para pendukung kubu sebelahnya. Ini asli nggak bohong.

Di kubu saya (tarbiyah) pergi ke bioskop terus nonton film sambil gelap-gelapan itu masih aja jadi ajang perdebatan panjang. Meski yang ditonton adalah film-film religi karya orang tarbiyah sendiri.

Permasalahan yang diangkat bisa mulai dari ikhtilat (bercampurnya laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan) yang bisa mengundang maksiat. Lalu anggapan bahwa menonton film di bioskop sama saja dengan melakukan hal mubazir bin sia-sia. Khawatir dianggap ikut-ikutan style kaum kuffar, sampai munculnya ceramah klasik “betapa banyak janda-janda, fakir miskin, dan anak yatim yang masih perlu santunan”. Wadooow, ribet deh.

Jadi meski kamu punya 30 tiket gratis nonton filmnya Asma Nadia, mending nggak usah posting ajakan nonton bareng di grup tarbiyah. Karuan ajak temen sekolah aja. Aman nggak banyak perkara. Hehe.

Lagian kalau mau perbandingan banyak-banyakan penonton, film Ahok lebih tepat disandingkan dengan film 212: The Power of Love yang sudah duluan tayang bulan Mei lalu. Garis demakarsi dukung mendukung lebih jelas dan tegas.

Jarang ada yang bakal lompat, jajalin nonton film kubu lawan meski penasaran. Pas sudah tuh kalau mau diadu. Nggak kebayang kalau kedua film ini yang head to head waktunya bersamaan launching­-nya. Mungkin bisa rusuh XXI dan semua penonton disuruh pulang. Suruh nunggu selama 3 bulan nanti film akan diputar di layar kaca kepunyaan masing-masing.

Lagian saya juga heran, sekarang nonton film aja pakai dikait-kaitan sama sikap politik aja. Orang mah nonton film buat hiburan, melepas stres di akhir pekan sehabis kerja keras bagai quda di lima hari ke belakang. Menikmati hasil jerih payah sambil haha-hihi bareng teman, pacar, gebetan, kandidat ta’arufan (eh ini nggak boleh) atau keluarga.

Iklan

Pilih film yang disuka. Masuk bioskop dengan senang dan keluar dengan bahagia (kecuali kalo filmnya emang jelek bin somplak, ya deritamu dah). Bukan malah masuk dengan dendam, pas keluar semakin kuat tekad mencari keributan. Haiyah.

Ini malahan nonton film bukan karena penasaran ceritanya kayak apa, tapi buat sekedar legitimasi:

“Noh pilihan lu salah. Buktinya yang nonton sepi. Pilihan gue yg bener!”

Coba pikirkan deh Bang, Kak, Mbak, Akhi, Ukhti, yang begini bisa membuat orang lain yang beneran pengen nonton jadi ragu-ragu. Takut dan khawatir dikira dukung ini-itu. Atau tiba-tiba ada cap kampret atau cebong di jidat kalau salah-salah posting tiket nonton di Facebook.

Padahal bisa jadi itu orang asli beneran pengen nonton karena tertarik dengan ceritanya secara keseluruhan waktu nonton trailer. Bisa jadi dia orang disleksia yang kesulitan baca buku dan lebih senang nonton film karena tertarik dengan tokoh-tokohterkenal asli produk dalam negeri.

Atau bisa jadi, orang-orang ini adalah pencinta die hard film Indonesia. Yang nggak peduli apapun jenis filmnya, siapa saja pemerannya, produser atau sutradara, bakalan terus mendukung film-film Indonesia agar tumbuh, berkembang, dan bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri. Bukankah ini cita-cita yang mulia?

Harapan nyata yang patut didukung daripada sekedar ribut copras-capres yang janji-janjinya kebanyakan fiksi dan utopis.

Saya ingat dulu beberapa kawan ada yang mengeluhkan, kok yang nonton film Avenger jauh lebih banyak daripada yang nonton film Guru Bangsa? Kok orang lebih tertarik tokoh pahlawan fiksi daripada tokoh pahlawan yang benar-benar ada di negeri ini?

Lah pegimana kagak, wong soal pilihan nonton bioskop aja di sini kerjaan pada saling mencela. Coba kalau begini siapa yang omdo ngeluh bin sontoloyo?

Terakhir diperbarui pada 12 November 2018 oleh

Tags: 212 the power of lovea man called ahokahokAsma NadiabioskopcebongFilmHanum & RanggaHanum Raiskampret
Herawati Aisha Rara

Herawati Aisha Rara

Artikel Terkait

Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO
Catatan

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Film Tukar Takdir Nggak Sekadar Adegan Mesra Nicholas Saputra dan Adhisty Zara dalam Mobil! Mojok.co
Pojokan

Film Tukar Takdir Nggak Sekadar Adegan Mesra Nicholas Saputra dan Adhisty Zara!

8 Oktober 2025
film tema perselingkuhan.MOJOK.CO
Mendalam

Main Serong di Sinema Indonesia: Mengapa Kamu Menyukai Film Bertema Perselingkuhan?

22 September 2025
Video Prabowo Tayang di Bioskop Itu Bikin Rakyat Muak! MOJOK.CO
Aktual

Tak Asyiknya Bioskop Belakangan Ini, Ruang Hiburan Jadi Alat Personal Branding Prabowo

16 September 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bencana Alam Dibuat Negara, Rakyat yang Disuruh Jadi Munafik MOJOK.CO

Bencana Alam Disebabkan Negara, Rakyat yang Diminta Menanam Kemunafikan

3 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.