Natal sebentar lagi tiba. Semaraknya sudah mulai terasa. Berbagai macam dekorasi khas Natal menghiasi pusat perbelanjaan. Lagu-lagu Natal berkumandang di angkot hingga bistro mewah. Meskipun saya pribadi sedih fenomena budaya ini tidak terjadi media sosial.
Bagi komunitas Kristen sendiri, terutama jemaah Protestaniyah, khususnya ladi di komunitas Batak, Natal sebenarnya sudah dirayakan jauh sebelum 25 Desember. Biasanya mulai heppot sekitar awal Desember. Dan perayaan Natal ini dilakukan di berbagai komunitas yang diikuti. Terhitung mulai tanggal 1–25 Desember, kalender akan dipenuhi dengan jadwal perayaan Natal yang mesti dihadiri. Mulai dari Natal gereja, Natal kampus, Natal punguan marga, Natal punguan marga suami, Natal organisasi, Natal alumni, Natal RT/RW, Natal oikumene, Natal gereja lain yang alirannya berbeda namun mendatangkan artis ibu kota favorit (ini biasanya kebiasaan mahasiswa), Natal gereja yang alirannya cukup asing di telinga namun menyediakan makanan enak (kebiasaan mahasiswa juga), dan masih panjang lagi daftarnya.
Selalu menarik melihat kehebohan demi kehebohan dalam setiap perayaan hari besar agama. Saya sendiri cukup sering mengikuti perayaan Natal meski bukan berasal dari komunitas Kristen. Menyenangkan sekali. Saya terinspirasi melihat militansi mamak-mamak Batak yang rela menyasak rambut setiap harinya untuk mengikuti berbagai perayaan Natal. Berat kali lah kepala itu, Namboru. Juga terharu melihat anak-anak kecil yang semangatnya tinggi sekali mengikuti latihan kor dan drama natal bahkan sejak bulan September.
Yang menarik lagi adalah mengikuti tradisi martina di setiap perayaan natal. Martina merupakan singkatan dari marhallet tikki natal (memadu asmara ketika Natal). Jomblowan dan jomblowati Batak Kristen yang kerap frustrasi karena sering baper dengan lawan jenis yang ternyata beda agama, menemukan martina sebagai solusi mutakhir persoalan purba ini. Di gerejalah mereka punya peluang besar untuk menemukan tambatan hati yang seiman, cantik/ ganteng, dan (untungnya) sesama orang Batak lagi. Meski tak jarang tragedi SMP (Selesai Marnatal Putus) juga dialami kaum jomblo yang kerap sial ini.
Beberapa acara perayaan Natal ini memiliki konsep yang mirip dengan halalbihalal orang Islam saja sebenarnya. Ia lebih merupakan momen silaturahmi dan tidak melulu hanya ibadah. Jika mesti memilih, saya toh bisa menepi sejenak jika sesi ibadah sedang berjalan. Lalu ikut nimbrung lagi setelahnya. Merasakan sukacitanya, menikmati penganannya. Soal polemik penganan halal-haram, saya yakin teman saya tidak akan menjerumuskan saya untuk memakan makanan yang haram. Saya cukup menanyakan saja. Makanan orang Kristen toh tak melulu haram. Dan saya juga tidak lah ge er-ge er amat akan “dijebak” atau “dikristenisasi” dengan suguhan babi. Babi itu enak, teman saya juga akan enggan berbagi, hehehe….
Terkhusus di wilayah pedesaan, makna Natal memiliki khas tersendiri. Ia lebih dari sekedar pesta besar yang mewah dengan penganan enak dan hiburan artis ibu kota. Solidaritas dan kekeluargaan sangat terasa melampaui sekat-sekat iman dan agama. Di Bungabondar, salah satu desa yang berjarak 10 jam perjalanan darat dari Medan, Natal (dan Lebaran) menjadi momen penuh sukacita bagi setiap warga. Warga Bungabondar punya tradisi berusia ratusan tahun yang disebut marjambar. Dalam tradisi itu, tanpa dikomando, saat perayaan Natal warga kristiani mengetuk rumah tetangganya yang beragama Islam untuk membagikan penganan khas Natal. Begitu pun sebaliknya di hari Lebaran. Asyik sekali.
Perayaan Natal di Bungabondar tidak hanya dihadiri warga kristiani. Warga muslim juga turut serta dan bahkan menjadi panitia pelaksana Natal. Ikut dalam kehebohan memasak di dapur untuk menyediakan penganan yang akan disajikan dalam acara Natal tersebut. Dan tradisi ini juga masih banyak dipraktikkan dalam masyarakat puak Batak lainnya. Di wilayah Karo, seluruh warga desa, baik Islam maupun Kristen, serentak berkumpul di jambur (balai desa) untuk merayakan Natal. Anda juga akan takjub melihat kakek-kakek di wilayah Toba dengan bangga menggunakan peci, yang sering disalahkaprahkan orang sebagai atribut Islam, ketika hendak merayakan Natal di gereja.
Toleransi sangat kuat terasa. Tak ada polemik haram atau tidaknya mengucapkan selamat Natal. Tidak ada yang takut imannya akan luntur hanya karena memakan kue Natal dan bersama mendengarkan hiburan musik tradisional Batak. Ia merupakan milik bersama. Oleh karena itu perayaan puncak untuk seluruh warga biasanya bukan diadakan di gereja, melainkan di balai desa. Dan bagi mereka, tidak ada yang terlalu prinsipil dalam konsep merayakan sesuatu dengan sukacita bersama tetangga. Karena leluhur mereka telah bersama dan bersaudara jauh sebelum agama Islam dan Kristen hadir menjadi identitas “pembeda”.
Mereka mempraktikkan kebinekaan yang sebenarnya tanpa mesti melakukan pawai artifisial memakai pakaian tradisional dan “identitas kebangsaan” yang banal lalu lanjut twitwar dan saling menjelekkan setelahnya. Hm.
Saya juga belum kenal satu orang pun yang lantas “murtad” karena mengikuti acara-acara seperti ini. Seperti ustaz di Bungabondar yang ikut duduk dalam setiap perayaan natal, lalu esoknya tetap mengajari anak-anak membaca Al-Quran dengan sepenuh jiwa dan raga. Memberi ceramah di mesjid bahkan hingga ke rumah-rumah warga. Tanpa memungut bayaran apa pun. Tanpa berteriak “Allahu Akbar” di mana-mana, apa lagi menangis di layar kaca untuk mendapat atensi semata.
Tulisan ini bukan untuk menulari Anda sipilis (sekularisme, pluralisme, dan liberalisme) seperti yang banyak dituduhkan jamaah yang nganu loh ya. Saya hanya berbagi pengalaman-pengalaman saya sebagai antitesis atas pikiran kita yang telah dikotori dengan prasangka selama ini. Sentimen serba-anti yang disebarkan semakin parah dari tahun ke tahun. Seakan-akan pemeluk agama yang berbeda dengan kita tidak punya kerjaan lain selain hendak mengafirkan kita.
Seakan Natal adalah agenda kristenisasi mahabesar yang di dalamnya orang-orang Kristen bersumpah akan mengkristenkan orang yang belum menjadi pengikut Kristus. Perayaan Natal itu sama saja dengan perayaan hari besar lainnya. Anak-anak bersukacita, orang tua pusing membelikan baju hari raya. Ada makan-makan besar dan keharuan bertemu keluarga setelah sekian lama. Familier, bukan?
Faktanya, perayaan hari besar agama apa pun notabene memang bukan lagi milik hegemoni komunitas penganut agama tertentu. Ia lebih daripada itu. Ia bahkan mampu menjelma menjadi pesta budaya yang melibatkan dan memberi kebahagiaan bagi semua pihak. Kolak nan menggoda yang dijual menjelang buka puasa tak pelak akan membuat ngiler seorang ateis sekalipun, bukan? Sesederhana itu.
Dan terus terang, saya banyak belajar soal toleransi dari “orang-orang kampung” yang merayakan Natal dan juga Lebaran tadi. Di sinilah saya menemukan praktik toleransi yang sebenarnya. Ketika mereka memandang perayaan hari besar agama sebagai perekat dan bukan pemisah. Sebagai momen silaturahmi: hiburan pelepas penat setelah setahun terus-terusan bekerja.
Dari mereka saya belajar, bahwa toleransi tidak akan bisa muncul tanpa adanya rasa solidaritas. Rasa kebersamaan. Toleransi yang artifisial tidak akan menghasilkan apa pun. Ia tidak akan muncul hanya karena telah khatam teori-teori toleransi atau menjadi peserta dalam konferensi-konferensi pluralisme. Teman saya yang sudah pernah ikut pelatihan pluralisme toh kemudian masih enggan meminum air yang diberikan oleh orang yang berbeda agama. Menyedihkan. Ketiadaan solidaritas dalam model toleransi seperti itu layaknya bom waktu yang tentu akan semakin memisahkan kita sebagai bangsa Indonesia. Sebagai sesama manusia.
Oleh karena itu, mari singkirkan perbedaan dan bersenang-senang sajalah. Tunggu apa lagi, jangan sia-siakan kue Natal yang berhamburan di perayaan Natal itu. Atau habiskan liburan akhir tahun Anda untuk mengunjungi kampung-kampung yang toleransinya masih terasa ketika Natal tiba. Saya percaya, masih banyak orang-orang yang mempraktikkan toleransi yang luhur di tengah fenomena penanaman masif prasangka-prasangka irasional tadi. Dan saya percaya, banyak dari kita yang merindukan dan mendambakan keceriaan merayakan Natal dan hari besar agama lainnya, bersama dengan saudara-saudara kita yang berbeda agama.
Selamat merayakan Natal, Jamaah Mojokiyah! Selamat kembali menonton Home Alone edisi Natal!