Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Sisi Gelap Kuliah di Luar Negeri: Ketika Mahasiswa Indonesia Menjadi “Sapi Perah” di Inggris dan Australia

Suryagama Harinthabima oleh Suryagama Harinthabima
5 Oktober 2023
A A
Mahasiswa Indonesia Menjadi “Sapi Perah” di Inggris dan Australia MOJOK.CO

Ilustrasi Mahasiswa Indonesia Menjadi “Sapi Perah” di Inggris dan Australia. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Ketika mahasiswa internasional menjadi “sapi perah”

Sah-sah saja sebenarnya jika misalnya memegang anggapan ada uang, ada barang. Saya menikmati sistem pendidikan dengan fasilitas mentereng yang meng-upgrade pola pikir saya ketika menghadapi masalah. Tapi sayangnya, sebagai mahasiswa Indonesia, kemampuan berbahasa Inggris dan bergaul saya di tingkat global jadi mentok akibat komposisi mahasiswa seperti di atas.

Jangan salah, setelah saya tanya-tanya beberapa dari teman sekelas saya itu, mereka juga sama kagetnya, kok. Melihat komposisi seperti itu, mereka juga jadi sulit berkembang.

Beberapa waktu kemudian, saya mendapati sebuah video tentang situasi serupa yang juga terjadi di Australia. Sejumlah kampus di sana memiliki proporsi mahasiswa internasional dominan dari negara tertentu seperti Cina dan India. Lebih parah lagi, video itu juga menyinggung beberapa kampus yang “menurunkan” standar demi menerima mahasiswa internasional sebanyak-banyaknya.

Contoh maraknya adalah memberikan “kelonggaran” untuk menerima mahasiswa asing yang kemampuan bahasa Inggrisnya di bawah standar. Ini vital, ya. Demi bisa menyampaikan gagasan dan argumen dengan baik sebagai hasil dari berpola pikir kritis (critical thinking) dan berdasar yang diharapkan di sana, kemampuan berbahasa Inggris calon mahasiswa harus memadai.


Silakan membaca judulnya. Mahasiswa Indonesia dan internasional mendapatkan cap sebagai cash cows atau “sapi perah”. Mereka memeras kocek mahasiswa internasional.

Turut menggerakkan perekonomian setempat

Saya harap kamu menonton video di atas dan bisa menangkap emosi di sana. Kamu bisa melihat bahwa tidak hanya mahasiswa internasional, tapi juga mahasiswa lokal yang kecewa atas kurangnya keragaman di kelas. Bahkan, ada mahasiswa dan dosen yang memilih drop out.

Berbicara lebih luas lagi, atas keberadaan mahasiswa internasional ini, tidak hanya kampus yang menikmatinya. Sebagai mahasiswa Indonesia, Selama masa studi di sana, saya dan mereka pasti menghabiskan uang untuk biaya akomodasi, makan, belanja baju, wisata, dan seterusnya. Artinya, kami sudah turut menggerakkan perekonomian setempat.

Setelah masa studi selesai, apakah mahasiswa internasional berpeluang besar mendapatkan pekerjaan di sana? Ya nggak juga. Secara umum, ketika di sebuah negara maju itu masih ada warganya yang menganggur, mengapa mereka mau repot-repot merekrut mahasiswa internasional untuk kerja yang prosesnya bisa lebih rumit?

Ya bisa saja, sih. Apalagi kalau kamu mau menerima bayaran jauh di bawah standar. Kondisi ini bisa melahirkan banyak konsekuensi mana dan belum tentu bagus. Jadi, melihat kondisi yang ada, negara-negara seperti Inggris dan Australia yang akan merasakan untung atas keberadaan mahasiswa Indonesia dan mahasiswa internasional lainnya.

Hubungan antara mahasiswa Indonesia dengan kampus = bisnis

Kamu perlu mencatat bahwa mahasiswa Indonesia harus membayar mahal untuk kuliah dan tinggal di Inggris atau Australia. Setelah lulus, cari kerjanya sulit. Untuk tugas akhir, tak jarang mereka melakukan riset yang berkaitan dengan negara asalnya. Kampus-kampus itu jadi bisa mengakumulasi wawasan tentang negara kita. Hasilnya, kampus-kampus itu tetap lebih unggul.

Jadinya, hubungan antara pihak universitas dengan mahasiswanya sudah semakin seperti antara korporasi besar masa kini dengan pelanggannya. Ini sudah menyerupai hubungan bisnis.

Sebaliknya, pemerintah negara seperti Jerman, Prancis, dan sejumlah negara maju banyak mensubsidi kampus, khususnya kampus publik (negeri). Selain biaya kuliah menjadi jauh lebih murah, mereka jadi tidak terdorong menurunkan standar dan kualitas saat menerima mahasiswa baru. 

Sebagai ilustrasi, biaya kuliah per tahun di UoL Inggris untuk program master full-time tahun akademik 2023/2024 adalah (mulai/berkisar) GBP 25.000 per tahun (Rp472 juta). Di Jerman, contohnya di Heidelberg University, Mahasiswa Indonesia dan mahasiswa internasional harus merogoh dompet hingga EUR 1.500 per semester atau EUR 3.000 per tahun (Rp49 juta). Jauh banget, kan?

Tapi, perlu diketahui bahwa program master di Inggris biasanya hanya berlangsung 1 tahun. Sementara itu, di Jerman, umumnya berlangsung 2 tahun.

Iklan

Dari sekian penjabaran ini, saya tidak mengatakan kalau universitas di Inggris, Australia, dan lainnya yang mahal itu mutunya pasti/patut diragukan. Yang mau saya katakan adalah, seandainya skema di atas itu benar terjadi, kalian sebagai mahasiswa Indonesia yang akan rugi. 

Berarti, kalau diterima di banyak kampus di negara seperti Inggris atau Australia, gimana, tuh?

Kalau program studinya sesuai dengan yang diminati, ya nggak ada salahnya memantapkan diri menempuh salah satunya. Tapi, manfaatkan waktumu di sana yang terbatas itu seoptimal mungkin, baik di dalam maupun luar kampus. Kamu, sebagai mahasiswa Indonesia, wajib memiliki pola pikir ini  sebelum berangkat. 

Pergi kuliah ke LN itu tidak hanya tentang akademis, tapi jauh lebih luas. Selain itu, bagi saya, S2 saya di LN dulu itu ibarat solo traveling di negeri antah berantah dan dalam periode lama. Pengalaman dan keahlian yang saya peroleh dari solo traveling sebelumnya ternyata sangat berguna sekali di sana.

Dari awal, adalah kamu yang menyusun pilihan dan rencana sendiri. Seandainya realitanya jauh dari harapan dan kamu kecewa, ya kamu juga yang harus menyusun plan B, plan C-nya sendiri, on the spot. Pokoknya, gimana caranya rasa kecewa itu terobati. Studi ke LN itu keputusan besar dengan biaya investasi (dan mungkin juga pengorbanan) yang besar pula. Sekalinya kecewa, bisa kecewa berat itu.

Sekali lagi, ini adalah hubungan bisnis

Kalau pergaulan di kampusmu itu mentok, artinya kamu harus cari komunitas lain selain komunitas mahasiswa Indonesia. Kamu juga harus mencoba segala cara halal agar bisa berhasil secara akademis. Yang ingin kerja part-time, silakan. Di luar itu, coba eksplorasi berbagai hal. Ada banyak pengalaman baru di luar sana yang bisa kamu lihat dan rasakan, yang berbeda jauh dengan di tanah air. Kapan lagi?

Ingat, hubunganmu dengan kampus dan negara tujuanmu itu tadi adalah hubungan bisnis. Jadi, sebagai mahasiswa Indonesia, harus mengambil banyak nilai tambah dan manfaat dari transaksi dengan mereka. Ini supaya paling tidak, secara psikologis, transaksi itu impas.

Dulu saya menemukan tipikal mahasiswa internasional yang cenderung hanya berorientasi akademis. Ketika kegiatan studi tidak sesuai harapan, mereka stuck, lalu seperti tidak bersemangat. Mereka jadi nggak betah selama. Mau dia ke sana atas beasiswa atau biaya sendiri, bagi saya, itu transaksi yang merugikan. It’s a bad deal.

UoL, sejak beberapa tahun terakhir, sudah membuka kampus cabang di Cina. Mereka membangun kerja sama dengan salah satu universitas setempat. Jadi, mudah-mudahan, mahasiswa Indonesia yang lebih baru dari saya, yang berkampus langsung di Liverpool, sudah bisa mendapatkan pengalaman studi yang lebih lengkap dari saya dulu, ya.

Penulis: Suryagama Harinthabima

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Aturan No. 1 Kuliah di Luar Negeri: Jangan ke Australia kalo Bajet Ngepas dan pengalaman menarik lainnya di rubrik ESAI.

Halaman 2 dari 2
Prev12

Terakhir diperbarui pada 5 Oktober 2023 oleh

Tags: biaya kuliah di australiajangan kuliah di australiakuliah di luar negerimahasiswa indonesias2 di australiastudi s2 di inggris
Suryagama Harinthabima

Suryagama Harinthabima

Pekerja lepas.

Artikel Terkait

Mulanya, pemuda asal Aceh ini merasa tidak percaya diri kuliah di luar negeri karena tak bisa Bahasa Inggris, kini ia bisa kuliah sampai S3 dengan beasiswa LPDP. MOJOK.CO
Kampus

Pengalaman Trauma Pasca Tsunami Aceh Antarkan Pemuda Ini Kuliah ke London Jurusan Manajemen Bencana dengan Beasiswa

9 September 2025
Kerja sama Pemprov Jawa Tengah dan Korea Selatan di bidang pendidikan yakni beasiswa kuliah. MOJOK.CO
Kilas

Pemprov Jawa Tengah Bakal Kasih Beasiswa Kuliah ke Korea Selatan untuk 100 Siswa, Hasil Kerja Sama dengan Universitas Seowon

27 Agustus 2025
penerima beasiswa LPDP menderita. MOJOK.CO
Kampus

Sulitnya Jadi Mahasiswa Penerima Beasiswa LPDP, Dituntut Banyak Ekspektasi padahal Nggak Bahagia di Luar Negeri

25 Agustus 2025
Ragam

Kuliah S2 Astronomi hingga ke Jerman, Tetap Ingin Pulang demi Majukan Indonesia

15 November 2024
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
Kirim anak "mondok" ke Dagestan Rusia ketimbang kuliah UGM-UI, biar jadi petarung MMA di UFC MOJOK.CO

Tren Rencana Kirim Anak ke Dagestan ketimbang Kuliah UGM-UI, Daerah Paling Islam di Rusia tempat Lahir “Para Monster” MMA

1 Desember 2025
Lulus S2 dari UI, resign jadi dosen di Jakarta. MOJOK.CO

Lulusan S2 UI Tinggalkan Karier Jadi Dosen di Jakarta, Pilih Jualan Online karena Gajinya Lebih Besar

5 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.