MOJOK.CO – Seperti apa PSIM zaman dahulu dikelola? Apakah saat ini sudah ada perbaikan dari sisi manajemen? Akun @mafiawasit mencoba memberi petunjuk.
Dua hari yang lalu, tepatnya 14 Juli 2019, saya menulis “surat semi terbukan” kepada @mafiawasit. Isi dari tulisan saya, pada intinya adalah ingin mencari tahu kebenaran manajerial dari klub yang saya dukung sejak kanak: PSIM Yogyakarta.
Sebagai suporter, bentuk dukungan memang bisa beragam. Ada yang begitu setia datang di stadion, di setiap laga. Ada yang rajin membeli jersey asli di toko resmi untuk membantu keuangan klub. Saya, yang tidak selalu bisa melakukan keduanya, berusaha menunjukkan dukungan dengan “mendoakan” manajemen PSIM selalu sehat dan jernih.
Selain pemain dan suporter, tentu dengan atribut pelatih/staf di dalamnya, manajemen adalah ruh. Seperti mur yang mengikat sebuah roda gerigi. Manajemen menentukan arah jalan sebuah klub, dalam hal ini PSIM. Ketika manajemen tidak dikelola dengan baik, ada dua kemungkinan yang terjadi: klub berjalan di tempat atau punah pada waktunya nanti.
Kok ya ndilalah kebetulan @mafiawasit ngetwit memberi sedikit gambaran bagaimana PSIM dahulu dikelola. Pak Wasit menyebut PSIM sebagai “klub dari zaman purba”–merujuk kepada sejarah sepak bola Indonesia saya kira–dikelola oleh “orang-orang” kolot. Twit itu muncul ketika suporter ramai melakukan protes kepada pelatih, Vlado, yang saat ini sudah resmi mundur.
Saya bertanya secara langsung lewat sebuah tulisan tentang situasi PSIM zaman dulu. Bukan untuk memojokkan atau merugikan salah satu pihak. Saya berpendapat bahwa keterbukaan dan transparansi kerja manajemen patut diketahui suporter. Mirip seperti suporter Arsenal yang membuat surat terbuka kepada manajemen, terutama kepada Stan Kronke supaya mau terbuka terkait manajemen keuangan dan target yang ingin dikejar.
Ikatan itu yang membuat hubungan suporter dan klub bukan seperti produsen dan konsumen. Ini dua entitas yang saling berkelindan. Saling menjamin masa depan. Suporter akan semakin militan ketika ia tahu keberadaannya sangat penting. Klub akan lebih nyaman ketika suporter tetap setia dan berpikiran terbuka.
Nah, berikut jawaban dari @mafiawasit perihal manajemen PSIM masa lalu. Saya dan @mafiawasit punya pandangan sama, yaitu semoga tulisan ini bisa menjadi tolok ukur bagi suporter untuk melihat keseriusan manajemen. Monggo, jadikan ini sebagai bahan diskusi sehat di timeline.
____________________________________________________________________________________
@mafiawasit menjawab:
Sebelum “hak nyinyir” sebagai hak jawab atas tulisan di MOJOK dengan judul “Menyelidiki @mafiwasit, Melepas Vlado, Mendukung PSIM” izinkan gua mewakili para admin untuk membalas tulisan Yamadipati Seno tersebut.
Pertama-tama, sebelum membahas mengenai seperti apa sih “zaman kolot” ijinkan gua menjelaskan apa yang saat ini sedang dikejar oleh para klub-klub jaman now terutama untuk mengejar jaman sepak bola industri 4.0.
Seperti kita ketahui bahwa sejak tahun 2008, AFC SUDah memaksa klub-klub Indonesia untuk mereformasi cara pengelolaan persepakbolaannya. Bahkan pada tahun 2010, AFC telah memberlakukan pedoman untuk klub dan anggota asosiasinya agar memenuhi persyaratan berkompetisi. Pedoman ini disebut Club Licensing Regulations (CLR). Singkatnya, klub kekinian itu harus mampu memenuhi CLR.
Sekarang, untuk menjawab pertanyaan Yamadipati Seno tentang gimana sih kepengelolaan PSIM. Cermati poin-poin berikut:
1. Sporting:
– Program pengembangan pemain MUda (Grad A):
Apakah PSIM memiliki program pengembangan pemain muda? Klub harus punya modul yang jelas, pelatih akademi, dan akademi yang berlisensi. Saat ini, muncul sosok Indra Sjafri sebagai pengawal program pengembangan pemain muda itu.
– Tim kuda/kelompok uMUr:
Apakah ada PSIM U8, U12, U15, U17 dan U19?
– Kontrak tertulis dengan pemain:
Apakah PSIM ada kontrak di atas materai dengan pemain usia MUda?
– Workshop Laws of The Game:
Ini dilakukan untuk semua, mulai dari pemain, pelatih, manager, bahkan admin akun sosmed.
2. Infrastruktur
– Apakah SUDah memiliki kontrak stadion untuk minimal satu tahun?
– Apakah SUDah melampirkan sertifikasi stadion ke operator?
– Apakah SUDah mendaftarkan pusat latihan resmi klub?
3. Personel dan Administrasi PSIM
– Apakah SUDah mendaftarkan alamat kantor klub dengan melampirkan kontrak atau sertifikat kepemilikan kantor tentunya.
– Apakah SUDah mengirimkan struktur kepenguruan klub?
– Apakah ada kontrak dengan CEO?
– Apakah ada kontrak dengan Licensing Officer?
– Apakah ada kontrak dengan Finance Officer?
– Apakah ada kontrak dengan Media Officer?
– Apakah ada kontrak dengan Dokter Klub?
– Apakah ada kontrak dengan Fisioterapi?
– Apakah ada kontrak dengan tim pelatih utama dan usia MUda?
– Apakah ada kontrak dengan Tim Pengembangan Usia MUDa?
– Apakah ada kontrak dengan keamanan atau Security Officer?
– Apakah ada kontrak dengan Marketing Officer?
4. Legal
– Apakah SUDah mendaftarkan dokumen legalitas perusahaan?
– Sudah ada kontrak dengan Legal Officer?
5. Finansial
– Apakah SUDah melampirkan hasil audit eksternal?
– Apakah SUDah melampirkan RABK?
– Apakah SUDah melampirkan bukti tidak adanya tunggakan ke pihak pemain, pelatih, karyawan, dan pihak ke-3?
– Apakah SUDah melampirkan bukti pajak?
Sekarang ambil salah satu poin saja mengenai Kantor atau Kesekretariatan. Saat ini, membedakan antara Wisma PSSI, Kantor PSIM, maupun Kantor Asprov saja sangat susah. Belum lagi fasilitas di dalamnya. Oh iya, mengenai korelasi antara MUndurnya Vlado dengan kegerahan manajemen silakan beropini sendiri.
Selebihnya mari kita buka untuk kawan-kawan berdiskusi di timeline.
_____________________________________________________________________________________
Begitulah jawaban dari @mafiawasit. Sebuah rentetan jawaban yang memang khas beliau. Menjawab dengan melempar kembali pertanyaan. Biar kamu-kamu semua juga mau dan berani memikirkan PSIM secara lebih luas. Benar begitu, Sat, eh Sit?
Silakan dibuka diskusinya di kolom komentar atau lewat Twitter dengan menyebut @mafiawasit. Terima kasih.