Lomba perahu bidar: Pesta rakyat yang berlayar di atas catatan sejarah
Masyarakat Palembang sangat mengenal lomba perahu bidar. Klaim “si paling” untuk pesta rakyat ini bukan tanpa alasan. Sebab wajar kalau paling populer, perlombaannya diadakan di aliran Sungai Musi, tepat di jantung Kota Palembang, Jembatan Ampera.
Jadi wajar kalau lomba perahu bidar yang paling tradisional. Perlombaan perahu ramping ini sudah ada sejak 1898. Awalnya, lomba perahu bidar diadakan untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina (Ratu Belanda). Dan wajar saja kalau jadi yang paling dinantikan. Acara akbar ini hanya diselenggarakan sekali dalam setahun, tepatnya setiap 17 Agustus.
Selain adu kecepatan, juga terdapat perlombaan menghias perahu dan kemeriahan lainnya yang melibatkan banyak pihak. Beda dengan organ tunggal yang bisa ditemukan setiap akhir pekan. Dan dengan pengisi acara yang itu-itu lagi.
Kisah pilu di balik lomba perahu bidar
Baru-baru ini saya tahu kalau nama “bidar” merupakan singkatan dari ‘biduk lancar’. Mulanya bidar digunakan untuk mengangkut barang. Kalau dulu bidar hanya muat untuk satu orang, kini desainnya dibuat lebih besar, sehingga bisa menampung 57 orang.
Meskipun tahun 1898 menjadi catatan awal penyelenggaraannya di Palembang, lomba perahu bidar sudah lebih dulu berkembang sebagai cerita rakyat di kota pempek itu.
Konon, ratusan tahun silam, terjadilah pertandingan bidar. Dipicu oleh pangeran Palembang dengan seorang pemuda dari uluan untuk memperebutkan gadis yang mereka cintai, Dayang Merindu.
Adu ketangkasan itu keluar tanpa seorang pemenang. Sebab, 2 penantang itu berakhir tenggelam di Sungai Musi dan tak pernah muncul lagi.
Menyaksikan hal itu, Dayang Merindu terpukul hingga akhirnya dia ikut menenggelamkan diri ke dalam sungai. Plot yang umumnya kita temukan pada cerita rakyat yang tersebar. Dramatis.
Walaupun dibayangi kisah pilu, rakyat Palembang menyambut meriah acara ini. Bahkan dirayakan sejadi-jadinya oleh rakyat. Setiap tanggal 17 Agustus, wajib hukumnya bagi masyarakat berjejal dan berpanas-panas di tepian Sungai Musi. Kawasan Jembatan Ampera dan Benteng Kuto Besak itu akan padat oleh manusia yang ingin menyaksikan lomba perahu bidar.
Tradisi yang dirawat sejak zaman penjajahan
Bagi saya pribadi, yang menjadi kehebatan lomba perahu bidar adalah karena ia tidak hanya menjadi pelengkap catatan sejarah.
Walau sempat hiatus selama 3 tahun karena pandemi, ditambah berbagai perubahan konsep seiring perjalanannya, lomba perahu bidar mampu bertahan. Ia terus berlayar meski diterpa gelombang modernitas budaya bodoh seperti sound horeg dan organ tunggal.
Perahu dengan panjang rata-rata 30 meter ini memang bukan jadi transportasi harian. Teman saya, Amin, tinggal di Kecamatan Tangga Buntung di bantaran Sungai Musi. Dia mengaku lebih sering mengoperasikan perahu ketek untuk mendukung berbagai aktivitas. Hal ini karena perahu ketek sudah menggunakan mesin dan punya ukuran yang bervariasi.
Tapi, tetap saja perahu bidar punya tempat tersendiri bagi masyarakat Palembang, terutama keluarga Amin. Selain keluarganya tinggal di sentra pembuatan perahu bidar, bapak Amin juga seorang pembuat perahu bidar. Dia sudah menekuni keahlian ini selama 15 tahun terakhir. Ilmu ini diwariskan turun-temurun hingga menjadi keterikatan.
Untuk membuat satu perahu bidar, bapak Amin membutuhkan waktu selama 40 hari. Satu perahu bisa dibandrol hingga Rp70 juta rupiah. Selain memerlukan keterampilan khusus, harga tinggi perahu ini juga karena membutuhkan 6 kubik kayu merawan yang terkenal tahan air, ringan, dan awet. Nominal yang pantas untuk sebuah perahu yang mampu menampung hingga 57 orang.
Amin memang belum mewarisi keterampilan membuat perahu bidar. Namun, saat ini dia tergabung dalam tim pendayung untuk lomba perahu bidar. Satu tim terdiri dari 55 orang Pendayung, 1 juragan, dan 1 juru mudi.
Mereka memang cuma butuh 1 hari penuh untuk berlatih. Tapi, jauh hari sebelum itu, anggota tim sudah menjaga kondisi fisik, menyiapkan kostum, hingga memastikan perahu yang digunakan tanpa cacat. Biasanya, dalam sekali penyelenggaraan, terdapat 4 sampai 10 tim yang ikut serta. Mereka mewakili berbagai daerah di Sumatera Selatan.
Lomba perahu bidar dan potensinya untuk Palembang
Cukup ironis saat kita melihat warisan budaya yang potensial ini tidak mendapatkan banyak ruang dari pemerintah daerah. Rupanya masih banyak juga keluhan dari masyarakat yang menilai penyelenggaraan lomba perahu bidar belum digarap dengan sungguh.
Sungai Musi, tempat diadakannya perlombaan tidak pernah benar-benar steril dari kapal tongkang dan perahu ketek yang melintas. Melihat antusiasme yang sudah berlangsung ratusan tahun itu, potensi lomba perahu bidar mestinya dikaji ulang oleh Palembang. Sudah semestinya semua pihak mendukung pesta rakyat yang produktif ini.
Batin saya bertanya, mungkin nggak sih kalau lomba perahu bidar jadi agenda bulanan dan dibuatkan kompetisi resmi sebagai olahraga daerah? Kalau mau dipikir lebih keras lagi, bukankah perlombaan perahu tradisional ini akan mendayung perekonomian serta pariwisata daerah?
Ketimbang cuma jadi lalu lintas kapal tongkang yang mengangkut batubara, nafas Sungai Musi justru lebih hidup kalau dipenuhi perahu bidar yang minim polusi.
Ketika ia mampu menjangkau potensi-potensi itu, maka lomba perahu bidar bukan lagi urusan selera. Pertanyaan “Apakah lomba perahu bidar benar-benar menghibur?” sudah tidak penting lagi dibicarakan.
Muak melihat budaya bodoh
Tapi ya ini kan cuma harapan dan pemikiran saya. Yang muak melihat budaya bodoh seperti sound horeg dan organ tunggal mendapat taburan embel-embel pesta rakyat.
Saya masih percaya kalau menghibur diri itu wajib, apalagi kalau kamu hidup di negara yang setiap hari membawa kabar buruk. Tapi tetap saja, menjadi tolol adalah pilihan yang paling mudah.
Kalau warga Palembang diminta voting dan memilih salah satu di antara lomba perahu bidar dan organ tunggal, saya yakin nama terakhir yang akan mendapat suara lebih banyak.
Tapi ya bodo amat, hal itu tidak membuat surut kekaguman saya pada keluarga Amin dan orang-orang yang tetap bergairah merawat tradisi positif. Dari mereka, sebuah budaya akan diwariskan hingga melintas generasi.
Kalau bagi sebagian orang potensi lomba perahu bidar masih belum cukup dan tidak menghibur, tidak apa-apa juga. Sebab tanpa gegap gempita, perahu bidar masih dan akan terus mengarungi sejarah Palembang, meskipun di aliran yang paling sunyi.
Penulis: Razi Andika
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Pengalaman Nonton Langsung Sound Horeg: Bikin Pusing, Mual, dan Telinga Berdengung Berhari-Hari dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












