MOJOK.CO – Tokopedia bikin Megawati mengeluh, katanya banyak barang made non-Indonesia dijual di sana. Hah? barang made non-Indonesia? Bentaaar.
Platform belanja daring memang kerap meresahkan penggunanya.
Saya, contohnya, sering resah ketika mendapati ada banyak penawaran menarik pas lagi bokek berat. Anda, mungkin saja, suka galau ketika barang yang sudah dibeli tidak kunjung dikirim.
Tiba-tiba saja ada Megawati juga yang resah meski untuk alasan yang berbeda.
Keresahan itu muncul ketika Bu Megawati sedang menjelajahi Tokopedia. Sadar bahwa apa yang beliau resahkan adalah sesuatu yang genting sehingga pantas untuk dibagikan kepada khalayak, beliau lantas membuat vlog dan curhat panjang di situ.
“Saya boleh, lho, buat kritik sedikit, ya. Itu kritik membangun. Kenapa? Kalau saya browsing online di Tokopedia, kenapa, ya, yang disuguhkan selalu sekarang—sekarang, lho, berarti bisa nanti berubah—itu barang-barangnya made non-Indonesia?” keluh Bu Megawati dengan raut risau yang tak dibuat-buat pada akun Youtube Megawati Institute.
Satu hal yang perlu kita garis bawahi lebih dulu adalah Bu Megawati jarang mengeluh. Ini mungkin ada hubungannya dengan kisah hidup beliau yang sudah pelik sejak remaja.
Pas ortu saya belum menikah, Bu Mega sudah harus hidup mendampingi bapaknya yang menjadi tahanan politik. Pas saya baru belajar naik sepeda, beliau sudah mendapat cap musuh dari penguasa. Pelik, pokoknya.
Oleh sebab itu, perkara Tokopedia ini harus kita anggap penting karena mampu membuat Bu Megawati resah dan mengeluh. Malah, kita sebaiknya menganggapnya genting karena mampu memaksa sosok yang selama ini irit bicara berani memegang mikrofon.
Dan tulisan ini bukanlah sebentuk kritik atas pernyataan Bu Megawati tadi karena ada UU ITE, tapi, saya pikir ada beberapa hal yang perlu saya tanggapi agar Bu Megawati tidak resah lagi dengan Tokopedia.
Saya tidak tahu toko apa yang beliau ubek-ubek pas menjelajahi Tokopedia dan barang macam apa yang beliau kategorikan sebagai “made non-Indonesia”. Namun, setahu saya Tokopedia menerapkan kebijakan untuk hanya memfasilitasi penjual dari dalam negeri. Perkara barangnya dibuat di Kulon Progo atau Pyongyang, itu urusan lain.
Lalu masih ada masalah definisi. Apa yang Bu Megawati maksud dengan barang “made non-Indonesia”?
Tak ada penjelasan definitif yang beliau ajukan, meskipun hal itulah yang sebenarnya beliau resahkan. Sedihnya lagi, tak ada konjungsi pada istilah tersebut yang memunculkan ambiguitas.
Mungkin maksud beliau adalah barang-barang yang dibuat oleh perusahaan asing, tapi definisi ini jelas membuat semuanya semakin runyam. Kalau dipikir-pikir, sebagian besar produk yang kita dan Bu Megawati gunakan jelas dibikin oleh perusahaan asing meskipun pabriknya ada di dalam negeri.
Hape yang saya gunakan untuk menulis artikel ini, contohnya, adalah produk dari perusahaan Cina yang dirakit di Batam.
Hape Bu Megawati jelas lebih bagus; sulit membayangkan beliau memakai hape merek lokal kayak Polytron atau Advan. Tapi, andaipun memang sebesar itu kecintaan beliau pada produk dalam negeri, sebagian besar komponen hape pabrikan lokal mana pun tetap saja buatan luar negeri.
Oh, mungkin maksud beliau adalah barang-barang yang dibuat produsen asing dan dikerjakan di luar wilayah Indonesia.
Jumlah barang impor yang dijual di Tokopedia memang tidak sebanyak barang lokal, tapi tetap saja ada. Barangkali Bu Megawati kebetulan mengunjungi toko yang menjajakan produk impor model begini.
Namun, ada beberapa produk impor yang sejatinya tidak atau belum bisa digantikan oleh produk lokal. Sebagian produk konveksi, misalnya.
Jilbab murah yang saya jual di Tokopedia adalah produk yang dibuat di Cina, demikian pula dengan aneka pakaian dalam yang dibanderol sepuluh ribuan. Saya juga menjual beragam mainan murah, dan tidak ada satu pun yang dibuat di Indonesia.
Eh, jangan-jangan kemarin itu Bu Megawati mampir ke toko saya. Hiii….
Mungkin hal itu menjadikan saya tampak kurang patriotik, dan begitu pula dengan jutaan penjual sembako yang menyediakan kacang kedelai, kentang, dan tepung terigu.
Tapi, kalau diperlonggar lagi, maka seluruh rakyat Indonesia juga kurang patriotik; kita menganut sistem pemerintahan yang lahir di Prancis, menganut sistem hukum warisan Belanda, dan memeluk sistem teologi dari Timur Tengah, India, atau Cina.
Kalau urusan definisi sudah kelar, maka kita bisa beranjak ke pertanyaan lain: kenapa Bu Megawati mengeluarkan pernyataan begitu? Ini penting karena, ya itu tadi, sosok pendiam seperti Bu Mega hanya akan bersuara kalau ada sesuatu yang dirasanya genting. Seperti alarm yang bakal menjerit-jerit ketika mendeteksi bahaya.
Hipotesis pertama: Bu Megawati sebenarnya kepingin mendongkrak daya saing UMKM di tengah gempuran korporasi global.
Itu adalah cita-cita adiluhung yang harus didukung, dan kalau menyimak uraian beliau selanjutnya di vlog tersebut, sepertinya memang itulah yang beliau hendaki. Sektor UMKM kita seperti bocah berbakat yang rentan penyakit; ia mesti dilindungi oleh semua pihak, terutama oleh orang-orang yang punya kuasa seperti Bu Mega.
Tapi, seseorang yang bergelar profesor seperti Bu Megawati tentu mafhum kalau tidak ada relevansi antara keberhasilan pelaku UMKM dengan asal negara produk yang dijualnya. Terutama kalau sudah bersaing terbuka di lapak seperti Tokopedia.
Penjual batik tulis khas Pekalongan di Tokopedia punya peluang sukses dan bangkrut yang sama besarnya dengan penjaja beha made in China. Regulasi pemerintah yang berpihak kepada pelaku UMKM jauh lebih berguna ketimbang mereweli produk non-patriotik.
Hipotesis kedua: Bu Megawati sebenarnya lagi kepingin sesuatu.
Saya adalah wanita, begitu pula Bu Mega. Wanita kadang-kadang senang menyembunyikan maksud dan tujuannya dengan mengatakan kalimat berkode tertentu.
Saya, contohnya, sering berkata, “Google bilang suhu siang ini mencapai 31 derajat ya, Yah. Gokil, ya?” untuk meminta tolong Mas Bojo menyalakan kipas angin.
Bisa jadi Bu Mega menghendaki sesuatu yang lebih serius ketimbang kipas angin yang menyala, sesuatu yang berhubungan dengan jiwa patriotisme, dan tampaknya sesuatu yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak. Tapi, apa itu?
Ya ndak tahu, kok tanya saya.
BACA JUGA Bukan Narsis, Jurnal Megawati yang Teliti Diri Sendiri Adalah Oase bagi Mahasiswa Tingkat Akhir atau tulisan Mita Idhatul Khumaidah lainnya.