Mempertanyakan agama pelaku terorisme di masa sekarang ini bukan lagi menjadi hal yang sepele dan mudah.
Ia menjadi pertanyaan sensitif yang kadang menjadikan si penanya bisa diberondong dengan serangkaian argumen dan nasihat edgy-indie-sophisticated-estetique tentang tidak adanya relevansi agama dengan terorisme.
“Terrorism has no religion,” begitu argumen nginggris yang paling banyak dilontarkan.
Bahwa ada pengamat terorisme atau bahkan mantan teroris yang dengan jelas-jelas mengatakan ada banyak teroris beragama yang melakukan aksi terornya berangkat dari tafsir beragama atas ayat-ayat dalam agama mereka, itu mah bodo amat. Pokoknya teroris nggak punya agama. Titik. Jadi kalau ada yang mempertanyakan agama si teroris, maka itu harus dilawan sampai benar-benar diam.
Hal tersebut sempat membuat Budi, 29 tahun, seorang pedagang angkringan yang membuka lapaknya di sekitaran Jalan Kaliurang agak trauma.
“Saya niatnya iseng, ada dua orang nongkrong lagi di angkringan saya, mereka ngobrol soal bom bunuh diri di Makassar itu, trus saya ikut nyaut, ya biar akrab gitu sebagai pedagang, saya nanya ‘Memangnya itu teroris agamanya apa, Mas?’, eh si Mas yang lagi ngobrol itu malah bentak saya, kayak yang nyolot-nyolot gitu,” kata Budi.
Ia tentu tak menyangka bahwa pertanyaan iseng tersebut bakal mendapatkan tanggapan yang tak mengenakkan.
“Ngapain kamu nanya agama si teroris? Ini nggak ada urusannya sama agama, ini murni kriminal! Nggak semua-mua harus dikaitkan dengan agama. Ini sate usus sama baceman brutu di depan ini kamu juga nggak perlu tahu ayamnya agamanya apa, kan?” kata Budi menirukan tanggapan Mas-mas yang nyolotin pertanyaan dia.
“Saya sempet mau jawab, ‘Ayamnya Islam, saya sendiri yang bimbing dia baca syahadat’, buat mencairkan suasana, tapi kemudian saya urungkan, takutnya dia nggak nangkep guyonan saya. Malah tambah ribet.”
Fenomena tersebut sejatinya memang bukan hal yang aneh dan mengherankan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, seiring dengan makin masifnya kultur bermedia sosial di masyarakat, sensitivitas terhadap berbagai pertanyaan memang semakin menguat.
Jangankan hal serius macam agama teroris, bahkan pertanyaan-pertanyaan receh seperti kapan nikah, kapan punya anak, kuliah di mana, atau kerjanya apa, bagi banyak orang kini dianggap bisa bermasalah.
Banyak orang yang kini mulai takut untuk sekadar basa-basi dengan mengajukan pertanyaan. Banyak pula yang memilih diam saja kalau bertemu dengan orang asing entah di bus, kereta, atau tempat-tempat umum lainnya.
Basman Bubat, 34 tahun, lelaki tanggung yang kini bekerja di tempat pelelangan ikan memilih jalan diam ini.
“Ya gimana, saya pernah punya pengalaman pahit soal ini. Saya ketemu sama anak muda di kereta, kebetulan dia duduknya sebelah saya, saya nanya ‘Kerja di mana, Mas?’ eh sama dia dijawab ‘Saya ini masih kuliah, Mas. Masih semester satu. Pertanyaan Mas tentang saya bekerja di mana itu menyakiti saya, seolah-olah wajah saya sudah sangat tua dan tidak pantas masih jadi mahasiswa. Ini age-shaming namanya!’ Bayangkan. Siapa yang nggak mangkel dibegitukan?”
Sejak insiden di kereta itu, Basman memutusan untuk diam saja tiap kali ketemu sama orang asing di tempat umum.
Sensitivitas orang-orang khususnya netizen yang dianggap terlalu peka terhadap aneka jenis pertanyaan bahkan membuat Kikis Rakasiwi, 26 tahun, guru TK di salah satu TK swasta di Condet, Jakarta Timur, kebingungan. Pasalnya, ia kini tidak bisa lagi menanyakan banyak hal kepada anak-anak didiknya.
“Anak-anak didik saya kelihatannya banyak yang terbawa dengan kultur netizen yang sekarang mulai antipati terhadap berbagai pertanyaan. Nggak boleh nanya umur lah, nggak boleh nanya agama lah, nggak boleh nanya kapan nikah lah, nggak boleh nanya jenis kelamin saat jenguk kerabat yang lagi lahiran lah, dan nggak boleh nanya pertanyaan-pertanyaan lainnya,” terang Kikis saat ditemui di kediamannya.
Kikis mengatakan hal tersebut sangat berpengaruh terhadap ekosistem belajar-mengajar di tempatnya bekerja.
“Saya tanya apa warna apel kepada murid saya, eh, dijawab ‘Ibu harus tahu, tidak semua orang punya privilege untuk bisa melihat spektrum warna, jadi pertanyaan ibu sangat tidak sopan’, Bayangkan, Mas, gimana saya nggak bingung?” ujarnya sambil menangis.
“Itu masih belum seberapa, Mas,” kata Kikis, “Yang paling bikin saya sakit hati itu seminggu yang lalu, saya kasih lihat gambar burung ke murid-murid saya trus saya tanya, ‘Anak-anak, ini gambar ayam atau burung?’ Eh ternyata ada yang jawab, ‘Ayam atau burung itu kan hanya masalah perspektif, Bu, lagian apa pentingnya kita tahu itu ayam atau burung, kenapa kita selalu mengkotak-kotakkan makhluk hidup.’ Jujur, mendengar jawaban tersebut, saya sedih sekali.”
Kikis mengatakan jika kondisi tersebut tidak berubah, maka kemungkinan dirinya akan memilih untuk berhenti saja menjadi guru TK. Ketika ditanya apa pekerjaan yang akan ia tekuni jika ia benar-benar berhenti dari pekerjaannya sebagai guru TK, ia menjawab lugas, “Mungkin usaha ternak cupang, atau jual kerupuk rambak.”
BACA JUGA Mengapresiasi Kericuhan yang Terjadi pada Kongres HMI dan tulisan SOTARSATIR lainnya.