Tadi siang ia keluar dari rumah dengan komputer lipat dan beberapa buku dalam tas punggungnya. Ia telah melewati waktu yang dijanjikannya sendiri kepada penerbit bakal novel barunya, dan itu membuat kepalanya berat oleh rasa tidak enak—hanya beberapa ribu kata terakhir yang harus dibacanya ulang, tapi mereka seperti terus menghindar ketika hendak ia sentuh. Ia bertekad akan memanfaatkan waktu sekecil apa pun nanti—di luar—untuk mencicilnya. Tapi, rupanya, sedikit waktu itu tak ada untuknya. Atau, jika pun ada, ia membiarkannya lewat, tak menyapanya.
Siang itu, dengan tas berisi komputer dan penuh buku, juga dengan celana panjang dan sepatu (sesuatu yang jarang dipakainya secara bersamaan), ada dua janji yang disepakatinya. Seorang teman yang dihormatinya mengajak mengisi podcast yang belum lama diluncurkan, dan itu membutuhkan waktu taping tak lebih dari satu jam saja. (Pada kenyataannya bahkan tak sampai 45 menit.) Masalahnya, selalu ada kopi sebelum dan sesudahnya. Kopi telah menemaninya menulis selama ribuan jam, tapi kopi juga yang membuatnya menyia-nyiakan puluhan ribu jam yang lain. Dan kopi jenis terakhirlah yang pada akhirnya menguasainya.
“Tak apalah. Toh sore juga ada janji. Tak baik juga bekerja sambil menunggu seseorang,” katanya kepada diri sendiri, dengan kalimat yang sudah diulang-ulang untuk yang kesekian. “Lagi pula,” ia menambahi lagi, tentu saja kembali untuk dirinya sendiri, “setelah janji kedua tunai, nanti bisa segera pulang dan bekerja.”
Orang kedua yang punya janji dengannya telah datang dan bergabung, demikian juga beberapa orang lain, dan tiba-tiba saja bermunculan hal yang bisa menjadi obrolan. Kopi telah habis, tapi ia bisa diganti teh panas atau es teh atau bahkan air putih hangat; camilan yang dipesan untuk kedua kalinya juga telah habis, dan camilan ketiga sedang ditunggu. Beberapa saat kemudian seseorang memesan Indomie telur rebus, dan itu mengingatkannya bahwa ini memang sudah waktunya makan malam. Maka, ia pun ikut memesan. Demikian juga beberapa orang lain. Sembari menunggu Indomie telur matang, tentu saja obrolan disambung, minuman jenis baru dipesan lagi, dan ada orang baru lagi yang bergabung.
Ketika seseorang mengemasi barangnya, bangkit dari kursinya, kemudian bilang bahwa ia harus duluan, maka semua orang bersepakat sebaiknya obrolan disudahi. Ia lega, apalagi setelah melirik jam di layar ponselnya. Masih sore, pikirnya. Oke, begitu sampai rumah, komputer akan langsung menyala, dan bab-bab terakhir yang mesti dibaca ulang itu akan ia selesaikan, demikian tekadnya.
Dan di sinilah ia, kembali berada di rumahnya. “Langsung bekerja” masih di kepalanya. Tapi, ketika ia menurunkan tas dari punggung, tanpa sengaja ditengoknya jam dinding yang ia senderkan begitu saja di rak buku. Ia terkejut: hampir jam sepuluh malam. Perjalanan dari tempat nongkrong ke rumah tak sampai setengah jam, tapi rasa-rasanya jam yang tadi dilihatnya saat bubaran dengan saat ia tiba di rumah berselisih sangat jauh. Sudah begitu, penat di badan yang tadi tak terasakan tiba-tiba menyerangnya; punggung dan pundaknya kaku, sementara uapan kecil mulai muncul satu-satu. Mengganti kaos, mencopot celana panjang untuk celana pendek, melirik meja dan kursi kerjanya, ia akhirnya memilih untuk mengempaskan punggung ke kasurnya yang kempes dan cekung. Enak sekali.
“Sudahlah, besok saja,” katanya sambil menatap malas ke arah meja kerjanya, “toh, sudah nyaris setengah 11 malam. Bangun pagi-pagi, bikin kopi, langsung menulis.” Lagi-lagi, dan tentu saja, itu bukan untuk pertama kalinya ia ucapkan.
Ya, punggungnya memang butuh direbahkan. Duduk dari jam 2 siang hingga jam 9 malam bukan waktu yang pendek, meskipun itu bukan duduk untuk bekerja, duduk untuk hal produktif. Tapi, seperti semua duduk-duduk di Jogja, seperti semua jenis nongkrong-nongkrong dan omong-omong di kota ini, ia tak akan pernah sia-sia—apa kalian tak pernah mendengar semboyan itu? Ia tak pernah benar-benar yakin sih, tapi itulah yang selama ini ia pegangi.
Eh, apa kabar media sosial?
Selama nyaris delapan jam obrolan, ia memang sempat sekilas-sekilas mengintip perkembangan yang terjadi media sosial. Tadi pagi ia bikin status di dinding FB-nya, menyandingkan tim sepak bola yang didukungnya (yang kalah besar di akhir pekan lalu) dengan negara yang memotong 15 persen royalti menulisnya sebagai pajak: dua-duanya bobrok, dua-duanya sedang diobok-obok, kebobolan banyak, tepat ketika dini hari. Kira-kira berapa yang menanggapi? Berapa yang mengomentari? Apa saja komentarnya? Siapa yang berkomentar? Ah ya, hampir lupa, ia sekarang punya Instagram juga. Ia baru dua minggu punya Instagram dan masih berusaha mengakrabinya, dan dua hari lalu seorang pemilik toko buku di Jakarta mengajaknya melakukan siaran langsung. Katanya, video wawancara itu bisa ditonton ulang di sana. Ia ingin tahu, setelah lewat 24 jam, berapa yang sudah menonton video itu.
Status terakhirnya di FB banyak mendapat reaksi tertawa, seperti yang diduganya. Dan sedikit komentar—itu pun karena salah paham. Keculasan wakil rakyat dan pimpinan partai menjadi topik dan objek amarah banyak orang. Tagar dan semboyan berlawanan bermunculan, baik di status maupun di foto profil. Tapi, seperti biasa, orang-orang masih menahan diri untuk menyerang Presiden—mungkin tidak enak dengan teman yang memilihnya; mungkin tidak enak karena telah memilihnya. Tapi secara umum suhu politik di dinding banyak orang terasa menghangat. Dan ini lumayan menyenangkannya. Kira-kira ada demo tidak? Mestinya ada. “Nanggung” seperti tahun lalu tidak? Seharusnya tidak. Toh eksekutif dan legislatif dan yudikatif sudah solid berkonsolidasi untuk dimusuhi. Tapi kenapa ia memikirkan itu?
Instagram masih terus berusaha dipahaminya. Ia memakai media ini dengan intensi yang bertentangan dengan karakter azalinya: ini media untuk foto, dan ia fotografer terburuk di dunia; ini media untuk pamer pemiliknya sedang di mana dan makan apa, dan ia tak ke mana-mana, lebih-lebih di masa seperti ini, lagi pula ia suka makan seadanya; ini media yang menempatkan tulisan semata sebagai kepsyen atas gambar, dan ia ingin menulis review pendek untuk film dan buku (yang itu segera terbukti masih saja terlalu panjang). Tapi ada hal-hal menarik yang sekarang menjadi sasaran pengamatannya. Ia senang mengamati tambahan jumlah pengikutnya dengan saat terakhir ia melihatnya. Tak ada penambahan yang signifikan, dan lucunya itu tampak natural baginya. Ia menemukan nama-nama dan foto profil yang asing, yang sepertinya tak ditemukannya di FB. Ini memberi kegirangan kecil untuknya.
Tapi, menonton ulang video siaran langsungnya dan melihat angka jumlah penontonnya membuatnya terpana: sudah lewat 1500-an. Ajaib juga media sosial satu ini. Itu siaran langsung yang penuh kekikukan dan diwarnai sinyal putus-putus dan gambar yang kabur—itu bukan hanya live IG pertamanya, tapi juga wawancara video virtual pertamanya. Tiba-tiba ia ingin bermain-main dengan pertanyaan-pertanyaan: Apa memang cukup banyak orang tertarik dengan buku barunya? Apa pembaca novel-novelnya memang cukup banyak di luar sana? Atau itu semua karena semata toko buku yang mewawancarainya punya basis pemirsa yang besar? Atau jangan-jangan selama ini ia menilai dirinya terlalu kecil?
Eh, apa perkembangan terakhir pertengkaran antara para penulis itu? Ia terlonjak oleh pertanyaan itu, meski ia kini sedang tengkurap dengan layar ponsel menyorot ke mukanya. Ia sudah berjanji tak akan menyentuh Twitter: sepuluh tahun lalu ia membuat akun (seperti semua orang), tapi jangankan menulis, membaca saja sulit; jadi, ia sudah menetapkan hati untuk tak memakainya. Tapi, sejak sepekan belakangan, selagi ia ingat, ia akan membuka media sosial berlambang piyik biru itu lewat mesin pencari. Ia tahu, atau baru tahu lebih tepatnya, setelah mencoba beberapa kali, bahwa mengetik nama dan/atau kata kunci bisa mengantarkan ke topik-topik yang dicarinya di sana. Ia pun mengetik nama-nama yang terlibat, atau yang diperkirakannya terlibat, atau kata kunci lain yang mungkin mengantarkannya ke sana. Tapi, alangkah kecewanya, tak ditemukannya perkembangan berarti dari yang terakhir ia ketahui. Aih, beginilah kalau penulis cerita pendek ribut: tidak kuat panjang.
Lho, sudah lewat jam 12 to? Padahal ia ingin tidur cepat, bangun pagi-pagi, dan menebus pekerjaan yang hari ini tak dikerjakannya. Dan kini ia merasa sama sekali tak mengantuk. Jadi, apakah ini waktu yang tepat untuk mulai bekerja? Tidak, ia tegaskan tidak. Ia sebaiknya tidur, setidaknya agar alasan yang beberapa jam sebelumnya ia pakai terasa benar dan berdasar.
Dengan malas ia bangun dan mematikan lampu.
***
Dan dengan malas ia akhirnya memutuskan bangun.
Sudah lewat setengah 10 pagi. Jadi, jelas sudah, tak ada bangun pagi untuknya hari ini. Tapi mana mungkin juga? Ia baru benar-benar tidur setelah lewat jam 3 pagi. Itu pun setelah ia mengganti deretan video-video memasak pinggir kali di FB, yang membuatnya melek lebih dari dua jam di tengah lampu kamar yang dipadamkan, ke video audio pengajian Gus Baha’ di YouTube. Gus Baha’ telah menjadi pengantar tidur paling ampuh menggantikan lagu-lagu sendu Soneta selama bulan-bulan pandemi ini untuknya. Tafsir Jawi-nya, meskipun sudah tak terlalu Jawi (karena kosakata Indonesia dipakai di banyak bagian), mengingatkannya dengan pengajian-pengajian Bulughul Maram bakda Subuh bersama Kyai Munawar di masa Ibtidaiyahnya dulu, dan itulah yang dengan segera bisa mengundang kantuknya—meskipun, jika kantuk itu tak datang, ia akan dengan senang hati menghabiskan dua video yang masing-masing lebih dari satu jam. Ironisnya, jika pengajian Gus Baha’ berhasil membuatnya tertidur, hampir bisa dipastikan ia akan bangun di luar waktu Subuh—atau, yang lebih sering, terlalu jauh melewati waktu Subuh. Seperti pagi yang sudah setengah siang kali ini.
Seperti yang sering terjadi, ketika dengan malas ia bangkit dan menuju kamar mandi, ia mesti memutuskan: apakah akan salat Subuh meskipun sangat terlambat atau sekalian sama sekali tidak. Ia putuskan untuk tidak karena hari sudah terlalu siang dan ia malu dengan dirinya sendiri. Tapi, rupanya tubuh santrinya tak mengikuti instruksi otak: setelah buang air kecil yang sedikit panjang dan beristinja’, secara refleks tangannya membuat gerakan wudu. Dan di antara raupan ke wajahnya, pikirannya pun berubah: “Ah, sudahlah. Wong hati masih ingin salat kok dihadang”—lagi-lagi bukan untuk yang pertama kali.
Ia salat Subuh dengan canggung. Dan, seperti yang sering dialaminya, ketika ia mengucap salam ke kiri-kanan, ia tak yakin benar, apakah ia tadi telah menunaikan dua rakaat atau cuma satu. Sudah begitu, selama salat, ia dikuasai tekad yang kuat untuk langsung membuka komputer dan bekerja.
Dan ia akhirnya menyalakan komputernya—setelah nyaris 24 jam menundanya. “Tapi harus ada kopi dan sedikit kudapan, ya, kan?” Tangannya memetik udara. Maka ia tinggalkan komputernya yang baru menyala untuk pergi ke dapur. Sebelum menyalakan kompor untuk masak air, ia membuka kulkas. Ia tak menemukan apa pun di sana. Roti tawar kedaluwarsanya sudah habis. Butiran cokelatnya juga. Di kotak sayur sudah tak tersisa apa-apa. Ia harus keluar belanja. Mumpung belum benar-benar siang. Jadi, bagaimana lagi, kopi ditunda dulu. Komputer yang menyala bisa menunggu.
Sekitar 20 menit ia kembali dengan isi kulkas untuk seminggu ke depan. Ia tentu saja beli roti, butiran cokelat, juga selai kacang baru—yang lama sudah terlalu keras. Juga beberapa jenis gorengan. Dan dengan gorengan di hadapan, ia berubah pikiran: kopi tidak pas untuk dadar gulung dan tahu bakso, maka ia putuskan untuk membuat teh saja.
Saat teh jadi, ia baru ingat bahwa kemarin seorang teman memberi tahu telah mengirim bukti transfer untuk memesan buku barunya. Hanya satu orang hari ini, tapi berapa pun tentu saja buku harus segera dikirimkan. Maka, teh panas dan gorengan yang akan dibawanya ke meja kerja dibelokkan ke ruang tengah, tempat ia membungkus buku-buku yang dipesan langsung darinya.
Membungkus satu paket buku paling cuma butuh lima menit. Meski demikian, akan lebih baik kalau sarapan dulu. Maka ia menggigit gorengan pertamanya pagi itu, sembari meniupi teh panasnya. Dan karena ia tak boleh mengotori buku yang hendak dikirim, ia pikir sebaiknya gorengan dihabiskan dulu sebelum membungkus paket.
Ah ya, semalam ia dapat bingkisan beberapa buku dari pemilik podcast. Kalau tak salah, dua di antaranya adalah buku kumpulan cerpen milik teman-temannya yang belum sempat ia beli. Oke, sepertinya lumayan, nantilah dibaca. Oh ya lagi, bukankah kemarin ada paket pesanan bukunya yang datang dan belum dibuka? Coba dilihat dulu. Ah, buku-buku bagus yang murah meriah. Sebuah buku Julian Barnes bahkan masih dalam plastik shrink-nya. Belum sempat ketemu novel Trainspotting (yang jadi film menghebohkan 25 tahun lalu dan melontarkan karier Ewan McGregor dan Robert Carlyle), ia akhirnya berjumpa Irvine Welsh justru dengan sekuelnya, Porno. Dan lihat, ada bekas orang belajar bahasa Inggris dengan Malgudi Days-nya Narayan. Baik-baik, semuanya tampak menggoda, pikirnya. Ketika pada akhirnya ia membungkus buku untuk dipaketkan, hanya butuh lima menit kemudian untuk selesai, dan azan Dzuhur terdengar.
Ia sepertinya harus ke dapur untuk memasak. Tidak, tidak, ini bukan waktu yang pas untuk menulis atau bahkan sekadar membaca ulang. Harus masak. Makan gorengan dengan teh panas memang mengganjal lambung, tapi ia tak bisa menggantikan makan pagi. Bagaimana kalau jam dua siang nanti ia lapar? Tak bagus masak dalam keadaan lapar. Ya, tentu saja bisa pesan lewat aplikasi antar makanan, tapi bukankah ia tadi baru saja belanja? Makan terakhirnya semalam adalah mi instan rebus, jadi jangan sampai siang ini ia makan mi instan lagi. Ya, ia harus masak.
Butuh hampir satu jam untuk menanak nasi, menggoreng tempe, membuat sayur dengan bumbu instan, tentu setelah sebelumnya mencuci piring-gelas-periuk-wajan kotor yang selama dua hari ditimbun. Dan itu membuatnya lumayan lelah. Menjelang jam 13 siang adalah waktu yang tepat untuk mandi. Setelah itu baru makan.
Tadinya ia berencana, setelah makan ia akan membuat kopi, dan kembali ke komputernya yang menyala. Dan bekerja. Betul-betul bekerja. Tapi ia tak menduga masakannya lumayan enak, dan itu membuatnya makan sedikit agak banyak. Akibatnya, ia sedikit kekenyangan. Maka, ia membutuhkan sedikit waktu untuk menunggu nasi turun dulu, leha-leha dulu. Dan tak ada yang lebih cocok pada siang sehabis makan selain lagu India ’90-an. Alih-alih ke dapur menyalakan kompor untuk membuat kopi, ia membuka daftar lagu di ponselnya, memutarnya secara acak. Kumar Sanu, Udit Narayan, pun menyanyi bergantian.
Ia sangat tahu akibat dari mendengar lagu-lagu itu dalam keadaan kekenyangan. Tapi ia mengabaikannya. Sayangnya, lagu India tak pernah gagal melakukan tugasnya: ia pun terlena.
***
Ia baru membuat kopi berjam-jam kemudian, ketika hari telah menjadi sore dan ia baru bangun dari tidur siang yang tak direncanakan.
Jika sebelumnya kopi direncanakan untuk dipakainya mendampingi bekerja, kali ini ia mesti memakainya untuk meredakan pusing di kepala. Begitulah, ia telat minum kopi, dan ia bangun dengan kepala pusing. Tak perlu obat pereda sakit kepala. Ia hanya perlu menunggu sebentar agar cairan kopi memasuki tenggorokannya dan biarkan kafein bekerja mengendorkan saraf-saraf di leher dan pelipisnya. Sedikit masalah untuknya: ia kini sama sekali tak ingin bekerja.
Setelah pusingnya reda, ia butuh melakukan sesuatu untuk membangkitkan gairah menulisnya. Maka, ia membuka kembali buku milik teman yang didapatnya kemarin. Ia membaca kata pengantar penulis, dan membacai sekilas cerpen-cerpen sang teman yang pernah dibacanya di masa lalu. Dan, voila! Ketemu! Keinginan menulis segera mendesak-desaknya: sebuah status FB tentang buku itu; tentang si teman yang selalu ogah menerbitkan buku-bukunya, yang berkali-kali mengancam dirinya sendiri akan berhenti menulis, yang—setahunya—belum lagi menyelesaikan novel yang dulu, dulu sekali, diceritakan secara menggebu kepadanya.
Dengan disela mandi (lagi) dan salat Magrib, ia membutuhkan tak kurang dari satu jam untuk menulis status yang tak lebih panjang dari tujuh paragraf itu. Rupanya, status itu mengundang banyak orang berkomentar dan segera menjadi ramai. Dan itu membuatnya sedikit sibuk. Lalu waktu dengan cepat bergerak ke jam 9 malam.
Ia telat makan malam. Tapi makan malam agak menakutkannya kali ini. Ia merasa telah terlalu lama menunda pekerjaan, dan makan malam akan membuatnya kenyang dan mengantuk, dan malas. Ia sudah nyaris 48 jam menundanya. Ini tak bisa terus-menerus dibiarkan. Tapi, okelah, ia bisa mengabaikan kewajibannya untuk makan malam, lalu bagaimana dengan sayur, lauk, dan nasi yang tadi siang dimasaknya? Kalau tak dimakannya malam ini, mungkin hanya nasi yang selamat, sementara lainnya akan terbuang. Itu jelas tak baik.
Maka ia bulatkan tekad. Ia makan malam dan segera duduk, berkonsentrasi, menulis, kalau bisa sampai besok pagi. Kalau perlu, bikin kopi baru. Dan, ya, akhirnya ia melakukan keduanya. Luar biasa!
Ia mencari musik yang bersemangat. Entah dari mana munculnya, tiba-tiba ada video Chuck Berry di beranda YouTube-nya. Rock ‘n’ Roll, man! Ia mendapat feel itu—feel yang dicarinya selama dua hari terakhir. Dan ia dengan bersemangat membuka file yang selama dua tahun terakhir menghantuinya. Go, go! Go, Johnny go!
Setengah jam kemudian, ia sudah menguap. Ketika ia mencoba melawannya, uap itu semakin lebar. Sebelum lewat sejam di depan komputer, ia benar-benar sangat mengantuk. Dan ia tak kuat lagi.
BACA JUGA Dosa Manis Bersama Nyonya Rissa dan esai Mahfud Ikhwan lainnya di kolom REBAHAN.