MOJOK.CO – Gus Mut lagi-lagi ditantang soal logika-logika dalam agama. Kali ini pertanyaan soal isra mikraj yang nongol.
Alaik, keponakan Gus Mut yang dikenal sangat progesif pulang ke rumah dari kuliah di luar kota. Pikir Gus Mut, ketimbang keponakannya menghabiskan libur semester di kos-kosan dengan aktivitas tak jelas, Gus Mut meminta Alaik untuk ikut ngaji di rumahnya saja sekaligus bantu-bantu pesantren.
Sebagaimana wajarnya mahasiswa kinyis-kinyis, pikiran Alaik masih sering menggebu-gebu, terutama perihal agama. Pertanyaan-pertanyaannya kadang begitu menantang, bahkan bagi seorang Gus Mut.
Usai acara shalawatan di masjid dalam rangka memperingati isra mikraj, Alaik dan Gus Mut masih leyeh-leyeh di teras masjid. Tiba-tiba Alaik mengajukan pertanyaan yang agak mbulet.
“Lek Mut,” kata Alaik.
“Iya, Le?” balas Gus Mut sambil tiduran di atas karpet.
“Pernah kepikiran nggak, Lek, kalau dari semua mukjizatnya Nabi, mukjizatnya Nabi Muhammad aja yang nggak terlihat luar biasa? Nabi Isa mukjizatnya bisa bangkitkan lagi orang mati, sembuhin orang buta, banyak. Belum Nabi Ibrahim yang bisa tahan dibakar. Ada juga Nabi Musa yang bisa belah laut,” kata Alaik membuka diskusi.
“Mungkin karena disiapkan untuk sampai akhir zaman, Le. Jadi kalau terlewat luar biasa, makin banyak orang untuk nggak percaya karena dianggap nggak rasional,” kata Gus Mut, kali ini sambil melepas pecinya lalu lanjut tiduran. Seperti menikmati betul suasana adem teras masjid.
“Nah, uniknya, di antara semua riwayat mukjizatnya Nabi Muhammad yang nggak luar biasa—ketimbang nabi-nabi yang lain ya, peristiwa isra mikraj itu bisa dibilang yang paling canggih di antara semuanya,” kata Alaik antusias.
“Maksudmu paling canggih, apa, Le?” tanya Gus Mut, kali ini memperhatikan Alaik betul-betul. Meski—yah—masih sambil tiduran.
“Ya paling nggak rasional lah,” kata Alaik.
Gus Mut kali ini duduk, masih sambil selonjoran.
“Di antara semua riwayat Nabi, isra mikraj ini tatarannya udah yang paling beyond lho, Lek. Coba bayangin. Ketika Nabi Musa mau ketemu Tuhan aja, ada gunung yang tiba-tiba meledak. Tapi Nabi Muhammad ini sampai bisa ketemu face to face dengan Tuhan. Meski—yah—bukan itu sebenarnya pertanyaan besarnya,” kata Alaik.
“Apa memang pertanyaan besarnya?” tanya Gus Mut.
“Ya perjalanan lintas dimensinya itu. Dari Masjidil Haram lalu sampai ke Masjidil Aqsha, terus lanjut ke langit lapis ketujuh. Semua terjadi dalam satu malam. Kecepatan cahaya kayaknya juga nggak bakal segitunya deh,” kata Alaik.
Gus Mut agak resah. Ia tahu Alaik itu suka nanya aneh-aneh. Kali ini peci dikenakan Gus Mut kembali.
“Lalu apa pertanyaan besarnya?” tanya Gus Mut lagi.
“Jadi, apa yang bikin manusia bisa iman kalau penjelasan soal kejadian isra mikraj itu terlalu mustahil untuk dirasionalisasi, Gus? Masak kita harus mengimani sesuatu yang sulit dinalar?” tanya Alaik.
Gus Mut tersenyum.
“Memangnya kamu nggak mengimani kejadian isra mikraj?” tanya Gus Mut hati-hati.
“Ya percaya, Gus. Iman lah. Mana mungkin tidak. Dosa kalau kita nggak mengimani itu. Tapi itu kan lebih ke kayak… gini, sebagai muslim kita cuma diwajibkan untuk iman aja soal isra mikraj. Tanpa ada tendensi khusus kenapa kita harus mengimani hal-hal yang nggak rasional kayak isra mikraj,” kata Alaik.
Gus Mut tertergun sejenak, “Hm, masuk akal juga,” katanya kemudian.
“Kalau kamu mau dapat jawaban jujurnya, Le, Pak Lek-mu ini sebenarnya nggak punya jawaban rasionalnya,” kata Gus Mut.
Alaik justru kaget.
“Lah, kok tumben?” Alaik bertanya, “Biasanya Lek Mut paling bisa ngasih jembatan sama soal-soal begini. Kenapa begitu cepat nyerah?”
“Ya soalnya, Pak Lek-mu ini nggak tahu betul gimana logika isra mikraj itu. Ketimbang Pak Lek-mu salah, lalu jadi masalah, ya nggak apa-apa kan bilang ‘tidak tahu’,” kata Gus Mut.
“Masak sedangkal itu keimanan Lek Mut sama isra mikraj,” kali ini Alaik coba mancing-mancing.
Gus Mut tersenyum, dia tahu keponakannya sedang coba menggali lebih dalam.
“Satu hal yang Pak Lek-mu ini tahu. Hal-hal gaib dalam agama itu sebenarnya nggak ada tuntutan untuk dinalar,” kata Gus Mut.
“Termasuk isra mikraj?” potong Alaik.
“Iya, termasuk isra mikraj,” kata Gus Mut.
“Kenapa, Lek? Bukankah lebih bagus kalau ada hal-hal yang bisa diajarkan pakai logika? Apalagi zaman sekarang. Yang dikit-dikit orang itu baru mau percaya kalau pakai logika. Kalau dianggap terlalu halu, dianggap fanatik buta, bla-bla-bla, gitu,” kata Alaik.
“Ya karena pengalaman seseorang itu nggak perlu ada penjelasan rasional. Termasuk pengalaman manusia ketika beragama. Termasuk juga pengalaman Nabi ketika menjalani isra mikraj,” kata Gus Mut.
“Kok gitu?” tanya Alaik.
“Soalnya, penjelasan rasional itu belum tentu lebih baik. Kelihatan lebih modern iya, tapi belum tentu lebih baik,” kata Gus Mut.
Alaik tersenyum.
“Apa contohnya?” tanya Alaik.
“Ya karena manusia itu cenderung percaya sama hatinya, ketimbang sama otaknya,” kata Gus Mut.
Alaik sedikit terkejut.
“Contohnya apa, Lek?”
“Galileo Galilei contohnya. Udah bisa lihat benda langit pakai teleskop, udah rasional banget lah kalau pakai ukuran sekarang. Tapi orang-orang di sekitarnya tidak mau mengakui penemuan dan penglihatan Galileo itu. Karena apa coba?” tanya Gus Mut.
“Karena apa memangnya, Lek?” tanya Alaik.
“Ya karena orang-orang di sekitar Galileo lebih percaya sama imannya. Iman bahwa Bumi adalah pusat tata surya. Itu satu contoh, bahwa sesuatu yang ada di dalam hati itu sangat sulit diintervensi ketimbang apa yang ada di kepala,” kata Gus Mut.
Alaik manggut-manggut.
“Kayak pilihan capres gitu ya, Lek?” tanya Alaik.
“Ya, itu bisa jadi contoh lain. Memilih dalam pemilu itu sudah bukan lagi soal rasional, tapi soal sentimen. Mau ada penjelasan paling rasional bahwa pilihannya ternyata ada latar belakang yang bermasalah, sepanjang hatinya cocok, ya tetep milih,” kata Gus Mut.
“Hooo,” Alaik cuma melongo.
“Itu artinya, ketimbang pikiran yang mampu mengontrol hati, sebenarnya hati lah yang mengontrol otak. Pilihan-pilihan di hidup manusia itu lebih banyak yang datang bukan dari alasan rasional, tapi lebih banyak lahir dari sentimen seseorang. Ya kayak orang jatuh cinta lah. Perasaan suka, perasaan sayang, itu sering kali nggak masuk dinalar. Dan juga orang nggak masalah kalau melakukan perilaku nggak nalar kalau soal cinta. Karena apa? Ya karena manusia itu cenderung melakukan yang cocok di hati, bukan apa yang cocok di kepala,” kata Gus Mut.
“Berarti mungkin itu maksudnya bahwa agama bisa diterima dengan embel-embel ‘hidayah’, itu karena sesuatu yang nggak bisa dinalar juga?” tanya Alaik.
“Mungkin larinya bisa ke situ sih. Cuma yang jelas, apa yang dulu dianggap gaib, ketika ditemukan alasan rasionalnya, hal-hal gaib itu jadi terkesan sepele. Nggak istimewa lagi,” kata Gus Mut.
“Hah? Contohnya, Lek?”
“Ya kayak orang sulap lah. Ketika kita nggak tahu rahasianya, kita terpukau luar biasa. Kenapa bisa begini, kenapa bisa begitu, tapi ketika kita tahu rahasia sulapnya… apa kira-kira yang bakal kamu bilang, Le?” tanya Gus Mut.
“Haha, ya paling gini, ‘Oalah, cuma gitu doang to ternyata.’ Gitu paling, Lek,” kata Alaik.
“Nah iya. Ketika ‘rahasia’ itu terungkap, keistimewaan itu tiba-tiba musnah begitu saja,” kata Gus Mut.
Alaik terdiam.
“Howalah, pantasen hal-hal yang dibilang ajaib itu datangnya dari peristiwa-peristiwa yang nggak bisa dinalar ya, Lek? Semakin nggak bisa dinalar, terminologi kayak ‘ajaib’ jadi kepakai,” tanya Alaik.
“Termasuk terminologi ‘mukjizat’ atau ‘karomah’, dan hal-hal semacam itu. Itu bukan hal yang nggak bisa dinalar, tapi lebih ke ‘belum’ bisa dinalar,” kata Gus Mut.
Alaik antusias.
“Oh, kalau begitu, Lek Mut yakin kalau suatu saat nanti ada manusia yang bisa merasionalisasi isra mikraj?” tanya Alaik.
“Ya bisa saja. Nggak ada yang mustahil to?” kata Gus Mut. “Orang dulu aja ngira kejadian hujan, gerhana matahari, gempa bumi, tsunami, kemarau panjang adalah peristiwa-peristiwa gaib kok. Dan butuh berabad-abad sampai manusia sadar, bahwa itu semua ternyata gejala alam yang bisa dinalar,” kata Gus Mut.
“Kalau gitu, mending kita iman sama isra mikraj sampai ada yang merasionalisasi aja dong, Lek,” kata Alaik.
“Ya nggak gitu dong mikirnya,” kata Gus Mut.
“Lah kok gitu?” kata Alaik.
“Usia manusia itu nggak bakal sanggup menunggu semua hal gaib itu bisa dijelaskan dan bisa diuji. Kita keburu modar dulu, Le. Daripada mengejar rasionalitas isra mi’raj lalu bikin kamu malah nggak percaya, Le, dan nggak bikin kamu jadi lebih baik—kalau merasa lebih bener sih iya—maka lebih baik percaya aja dulu. Nah, itulah fungsi agama,” kata Gus Mut.
“Ma, maksudnya?” tanya Alaik.
“Gini. Kalau kita nunggu iman kita, termasuk iman sama isra mikraj, bisa diuji pakai nalar kita, ya nafas kita udah keburu lewat karena hal-hal kayak gitu bisa saja baru ditemukan teorinya lima atau sepuluh generasi setelah kita. Masa ketika kita sudah berkalang tanah dan ditemani cacing-cacing di bawah Bumi,” kata Gus Mut.
“Itu pun belum tentu teorinya bener. Hawong cuma teori,” tambah Gus Mut.
Alaik tersenyum. Meski pertanyaan besarnya tak terjawab, tapi sedikit ada perasaan lega yang lebih baik kali ini.
“Memang beragama itu nggak bisa kalau cuma pakai teori kok ya, Lek…” kata Alaik.
“Nah,” kata Gus Mut sembari kembali menempelkan punggungnya ke karpet lagi.
BACA JUGA Untuk Apa Belajar Agama Pakai Akal kalau Ujung Jawabannya Balik ke Iman? dan kisah-kisah GUS MUT lainnya.