MOJOK.CO – “Ya Allah Gusti, apa semiskin itu saya, sampai mau sedekah ke sahabat sendiri saja saya tidak boleh?” kata Mahmud saat menyerahkan amplop.
Sebagai salah seorang santri yang pernah mengaji ke Kiai Kholil sejak kecil, Fanshuri memang biasa dimintai tolong mengantar Kiai Kholil ke beberapa lokasi pengajian. Bagi Fanshuri, hal itu malah jadi sebuah kehormatan bisa mengantar guru ngajinya ke mana-mana.
Begitu sampai lokasi pengajian, acara dimulai, Fanshuri lalu dipersilakan beristirahat di ruangan khusus untuk sopir Kiai Kholil. Tak ada peristiwa luar biasa, sampai kemudian Kiai Kholil naik ke mimbar untuk memberi ceramah.
Bukan, bukan soal keseluruhan materi Kiai Kholil yang membuat Fanshuri jadi ikut mendengar pengajian dengan seksama saat itu. Jika biasanya Fanshuri akan sibuk makan sajian yang tersedia atau main hape, kali ini Fanshuri tertarik sekali dengan kisah yang diceritakan Kiai Kholil dalam ceramahnya malam itu.
“Sedekah itu adalah salah satu ibadah yang indah,” kata Kiai Kholil di hadapan jamaahnya pada tengah-tengah topik ceramahnya.
“Keindahan sedekah ini saya saksikan sendiri beberapa hari sebelum saya ceramah di sini,” tambah Kiai Kholil.
Kiai Kholil lalu bercerita mengenai seorang pengusaha kaya raya yang mendatangi rumahnya sambil menangis tersedu-sedu.
Kedatangan si pengusaha ini bukan untuk meminta doa atas usahanya atau bercerita mengenai persoalan keuangan, melainkan karena ada salah satu warga di kampung Kiai Kholil yang telah memberi amplop ke pengusaha saat dijenguk di rumah sakit. Kebetulan si pengusaha dengan si pemberi amplop memang teman lama.
“Saya malu Kiai Kholil. Mahmud, tetangga Kiai Kholil itu kasih saya amplop waktu saya sakit di rumah sakit,” kata si pengusaha.
Kiai Kholil awalnya tidak mengerti. “Lah, malu kenapa memangnya?” tanya Kiai Kholil bingung.
“Saya malu karena setelah membuka amplopnya ada sejumlah uang,” kata si pengusaha.
“Ya, tentu saja ada uangnya. Memangnya si Mahmud kasih berapa?” tanya Kiai Kholil.
“Besar sekali, Kiai Kholil, pecahan dua ribuan kucel yang setelah saya hitung totalnya ada 30 ribu,” kata si pengusaha.
Kiai Kholil masih tidak mengerti.
“Uang 30 ribu dari Mahmud itu, kalau Kiai Kholil tahu, adalah penghasilannya per hari,” kata si pengusaha.
Kali ini Kiai Kholil mulai paham.
“Lalu kenapa kamu menerimanya?” tanya Kiai Kholil.
“Awalnya saya tidak ingin menerimanya, Kiai Kholil, tapi saat saya mau mengembalikannya si Mahmud malah bilang ke saya sambil memelas, ‘Ya Allah Gusti, apa semiskin itu saya, sampai mau sedekah ke sahabat sendiri saja saya tidak boleh?’” jawab si pengusaha.
“Subhanallah, Masya Allah,” kata Kiai Kholil.
“Akhirnya saya bertekad akan menjaga baik-baik uang sedekah tersebut dan akan menggunakannya dengan sebaik-baiknya. Karena saya yakin ada tetes keringat dari Mahmud di setiap pecahan dua ribuan kucel yang saya terima itu,” kata si pengusaha.
“Luar biasa si Mahmud itu,” kata Kiai Kholil.
“Nah, tapi ada masalah setelahnya,” kata si pengusaha.
“Masalah apa?” tanya Kiai Kholil.
“Belakangan saya tahu Mahmud sedang punya masalah, ini terkait dengan uang sewa rumahnya yang sudah menunggak beberapa bulan. Kiai Kholil kan juga tahu, kalau Mahmud itu masih sewa rumah kontrakan. Nah, karena saya tahu, saya ingin membantu Mahmud. Saya ingin sedekah juga. Sayangnya…”
“Mahmud tidak mau menerima bantuanmu?” tebak Kiai Kholil.
Si pengusaha mengangguk.
“Mahmud tidak marah, hanya saja dia malah tambah sedih saat tahu bahwa yang datang adalah saya. Bukannya gembira saya datang, wajahnya malah menunjukkan ketakutan seperti orang yang mau ditagih utang. Padahal saya datang ingin bantu dia, mau kasih dia duit untuk bayar kontrakan. Katanya, ‘Ya Allah Gusti, kenapa malah sampeyan yang dikirim Allah untuk membantu saya?’” kata si pengusaha.
“Lalu sampeyan jadi kasih duit itu?” tanya Kiai Kholil.
Si pengusaha membenarkan letak duduknya sebentar.
“Saya tidak tega Kiai Kholil,” kata si pengusaha.
“Kok tidak tega?” tanya Kiai Kholil.
“Saya tidak tega merusak keikhlasan dia yang dulu, dalam bentuk bantuan langsung seperti itu,” kata si pengusaha, “Makanya, Kiai, saya ke sini ingin meminta bantuan Pak Kiai untuk urusan ini.”
“Bantuan apa yang bisa saya tawarkan untuk sampeyan. Insya Allah saya siap,” kata Kiai Kholil sambil tersenyum.
“Ini saya ingin titip uang untuk bantu Mahmud dan keluarganya. Saya tahu ini tidak banyak, tapi semoga ini bisa meringankan beban Mahmud,” kata si pengusaha sambil menyerahkan segepok amplop coklat yang sangat tebal.
“Banyak sekali ini. Ada berapa duit ini di dalam amplop?” tanya Kiai Kholil.
“Insya Allah 30 juta, Pak Kiai,” kata si pengusaha.
“Subhanallah. Mas, sebentar, apa ini nggak terlalu berlebihan?” tanya Kiai Kholil bingung.
“Bagaimana mungkin ini berlebihan bagi saya? Justru ini sangat kurang kalau menurut saya, Pak Kiai. Uang segini bisa saya dapatkan dari satu transaksi salah satu perusahaan saya. Bukan saya bermaksud sombong, Pak Kiai. Apa yang saya sisihkan ini jauh lebih ringan dari uang 30 ribu yang diberikan Mahmud ke saya waktu itu. Ini jelas tidak ada apa-apanya. Ibarat saya kasih tidak sampai setengah dari kekayaan saya, Mahmud itu memberikan hampir seluruh hartanya untuk saya,” jelas si pengusaha.
Setelah bercerita mengenai kejadian itu, para jamaah yang mendengar ceramah Kiai Kholil terdiam semua. Termasuk juga dengan Fanshuri yang diam-diam ikut mendengar dari bilik ruang istirahatnya.
Pengajian usai, lalu saatnya bagi Kiai Kholil dan Fanshuri untuk pamit dengan tuan rumah. Sebelum sampai mobil, Fanshuri disalami amplop oleh tuan rumah, begitu juga dengan Kiai Kholil. Amplop yang biasa disebut sebagai bisyaroh. Fanshuri tentu girang bukan kepalang mendapat rezeki nomplok seperti itu.
Karena penasaran, Fanshuri membuka sedikit berapa uang di dalam amplop. “Wah, kok banyak sekali ini? Wah, Kiai Kholil pasti lebih tebel lagi ini isi amplopnya,” kata Fanshuri lirih.
“Ayo, Fan. Kita jalan,” kata Kiai Kholil tiba-tiba duduk di jok belakang.
Dalam perjalanan, Kiai Kholil pun membuka isi amplop yang diterimanya. Amplop yang diterima Kiai Kholil ternyata jauh lebih tipis dari yang diterima Fanshuri. Uang yang ada di dalamnya pun sedikit sekali. “Aduh, kok sedikit begini,” batin Kiai Kholil. “Ini si Fanshuri dapat berapa ya kalau aku saja cuma dapat segini.”
Meski begitu, baik Fanshuri dan Kiai Kholil malah saling husnuzan masing-masing. Kiai Kholil merasa kasihan kepada Fanshuri karena diyakini dapat bagian lebih sedikit dari dirinya, di sisi lain Fanshuri merasa Kiai Kholil dapat sedekah yang banyak sekali dari tuan rumah. Sampai tiba-tiba…
“Fan, ini buat kamu saja. Kamu kan udah sopirin aku, jadi ini sebagai tanda terima kasih. Aku kasih ini saja ya? Semoga cukup,” kata Kiai Kholil memberikan amplop di samping Fanshuri.
Mendengar itu tentu Fanshuri terkejut. Ini maksudnya apa? Fanshuri sudah dapat sebanyak itu kok masih diberi lagi?
“Waduh, Pak Kiai, ini saya dapat banyak sekali sudah. Masa bagiannya Pak Kiai saya yang dapat juga?” kata Fanshuri.
Fanshuri lalu melirik amplop yang diberikan Kiai Kholil. Tanpa dibuka sekalipun, terlihat kalau ketebalan amplopnya berbeda dengan amplop yang sudah dikantongi Fanshuri.
“Waduh, Pak Kiai, ada kabar buruk ini,” kata Fanshuri.
“Kabar buruk apa?” tanya Kiai Kholil.
“Sepertinya amplop bisyaroh kita ketuker, Pak Kiai,” kata Fanshuri.
Kiai Kholil terkejut, hampir saja jantungnya mau copot. Semua “kekayaan”-nya Kiai Kholil malam itu ternyata malah diberikan ke Fanshuri semuanya.
Senyum kecut lalu merekah di bibir Kiai Kholil, sambil berbisik lirih, “Oh, ternyata begini rasanya jadi si Mahmud.”