Saya telat membaca tulisan Dewi Setya yang delusi menyebar naskah pidato kelulusannya lewat Mojok. Tolong maklum, akhir-akhir ini saya sibuk. Ngana pikir, apalagi kalau bukan ngebut mengerjakan skripsi yang foldernya sudah menjadi sangat keramat dan berlevel ma’rifat saking sunyi tanpa gangguan di dalam laptop? Membaca tulisan Dewi Setya, dan malah repot-repot menjawabnya, ini jelas kesia-siaan, kedzaliman terhadap diri sendiri yang sudah terancam DO bulan depan. Tapi, apa daya, saya tetap harus menuliskannya demi kebaikan seluruh sidang pembaca. Zaman informasi membuat Mojok berhasil menjadi situs yang menghegemoni tanpa harus repot-repot mengadakan penataran P4, membubarkan PKI, apalagi mengirim tentara untuk menembaki rakyat-rakyat tak berdosa demi perpanjangan kontrak Freeport. Mojok cukup menjadi simpul budaya literer daring yang sedikit nakal dan banyak akal. Awww, ada nggak sih cowok bujang yang karakternya kayak Mojok gitu, tapi maunya sih yang banyak nakal, banyak akal…
Deq Dewi yang baru saja diwisuda tapi gagal mengorasikan rancangan pidatonya di auditorium kampus, saya berbahagia membaca tulisan sampeyan. Sampeyan sepertinya bagian dari mahasiswa Jogja yang berhasil mempergauli Jogja dengan jauh lebih intim ketimbang Mas Rangga dan Gengnya Mbak Cinta. Jika mereka cuma bisa gumun melihat pameran seni, memasang ekspresi berlebihan ketika melihat pentas seni, ndugem alay dan berakhir dengan playon di Puthuk Setumbu ala-ala bocah kurang dolan, saya yakin Deq Dewi tidak begitu.
Deq Dewi melihat yang tidak terlihat lebih dari yang terlihat. Kesadaran kritis dalam tulisan Deq Dewi ini seperti merangkum jiwa-jiwa rebel yang dilahirkan oleh Jogja pada masa lalu. Kesadaran yang merangkum jiwa revolusiyener khas Budiman Sudjatmiko, jiwa sastrawan yang cintanya tak tepat waktu khas Puthut EA, jiwa pekerja kebudayaan Muhidin M Dahlan dan Kang Zen RS idolaqu, dan tak ketinggalan juga aroma menawan papah muda Iqbal Aji Daryono (percayalah, hanya Jogja dan hanya Jogja yang mampu melahirkan jiwa-jiwa semacam itu).
Jangankan ruang-ruang diskusi macam LPM Ekspresi atau Dongeng Kopia, datang ke Sangkring, Tembi, dan Mandiri Artjog saja pasti sebuah kebiasaan, lha wong mahsyurnya Angkringan Mojok yang ada di pucuk Jalan Damai yang naik gojeknya dari Stasiun Lempuyangan lumayan mehong saja sampeyan tahu.
Ada paragraf di mana Deq Dewi mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang saya yakin Begawan Rusdi Mathari atau Capres Kokok Dirgantoro saja pasti gemeter untuk menjawabnya. Berapa buku yang sudah anda baca? Berapa diskusi yang sudah anda datangi? Dapatkah anda membaca permasalahan sosial dengan status lepasnya kemahasiswaan anda? Duh deq, mengetiknya saja tangan saya sampai kemringet, jantung saya mak tratap, dan ndhas saya kliyengan (oh ya, kayaknya saya cuma lupa sahur tadi).
Serius, pertanyaan Deq Dewi ini pertanyaan yang lebih sulit untuk dijawab dibanding pertanyaan “kapan kawin” saat lebaran nanti. Seseorang yang terpelajar, kata Mbah Kung se-tanah kelahiran saya di Blora, Pramoedya Ananta Toer, haruslah adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Mereka yang lulus cepat ataupun tepat itu belum berarti salah, sebagaimana saya, Amanatia Junda, dan Fatimah Zahrah, geng perawan Mojok yang belum lulus di semester patbelas, juga belum tentu benar. Sebagaimana penuntasan hak para penyintas 65 itu wajib, tetapi menutup fakta bahwa PKI dengan segala perencanaan coup-nya pernah bersalah juga kurang bijak. Begitulah Deq, ideologi seluhur apapun, jika sudah mulai ditumbuhi penyakit yang kata Nietzche disebut Will to Power alias keinginan menguasai, ya tetap saja hasilnya Ra Mashoook, Hambok yakin. Lha wong teriak Allohu Akbar saja bisa membakar rumah ibadah Ahmadiyah dan membiarkan jamaahnya berada di pengungsian bertahun-tahun, to? Lho, ini tadi apa hubungannya sih? Ada, pasti ada.
Memang benar, ada orang-orang yang lulusnya lama dan acara wisudanya menjadi milestone. Prima SW, contohnya. Pegiat literasi yang amat militan itu, juga alumni mahasiswa hardcore yang lulus pada ujung masa kritis. Ia sibuk di Persma, di GLI, dan menjadi aktivis pembela masyarakat yang tenggorokannya tercekat dihimpit konflik agraria. Ketika lulus, laporan jurnalistiknya makin memukau. Buku terbarunya, yang berjudul “Orang Miskin Takut ke Bank” adalah buah kegelisahannya soal-soal ekonomi kerakyatan. Sayang, ia tak henti menyetarakan diri dengan Dian Sastro dan sengaja melupakan persoalan berat badan.
Tapi Deq, kita juga harus adil menyatakan bahwa peradaban manusia ini tidak hanya butuh jurnalis. Mas Marco dan Tirto Adhi Soerjo, tidak bisa menggerakkan Medan Prijaji kalau tidak ada dananya. Buktinya, para kuli tinta itu tidak lebih mahsyur dari Tjokroaminoto yang terampil mengelola perusahan-perusahaan Sarikat Islam di Soerabaja. Tjokroaminoto tidak hanya pandai berstrategi, tapi sekaligus borjuis kecil dan juragan kos yang mampu menyingkirkan orang-orang yang tak ia suka dalam Sarekat Islam sekaligus mampu mengendalikan gerakan karena kepemilikan kapitalnya.
Jadi intinya bukan pada “produk” nya, tetapi apakah produk-produk itu berketuhanan, berkemanusiaan, bersatu, penuh hikmah permusywaratan, dan berkeadilan (Katanya harus Pancasilais, to?). Membangun pabrik semen itu tidak salah, tetapi menyerobot tanah rakyat dengan mengkhianati AMDAL apalagi sampai menyewa cangkem para intelektual kampus untuk menyajikan data penuh kebohongan, itulah kekejian. Membangun mal itu tidak salah, tetapi menyuap pejabat untuk mendapat izin bangunan, membeli tanah penduduk dengan harga murah (itu juga nyicil) lalu mengiming-imingi mereka untuk meninggalkan ladang agar menjadi buruh mal tanpa hak serikat dengan sistem outsourcing, itulah kejahatan. Membangun kereta cepat Jakarta-Bandung itu tidak salah, tetapi kalau sejumlah tujuh ribu pekerjanya semua dari warga Negara Cina, eh, Tiongkok bahkan tanpa seleksi tertentu, Indonesia dapat untung apa, Pak Jokowi? Plis, jawab Pak, Plis.
Benar, memang hanya kesadaran kritis yang mampu menunda dunia ini biar nggak cepet-cepet kiamat. Harus ada orang-orang yang selalu sadar bahwa tanpa terus menerus membangun hotel dan gedung pusat perbelanjaan, peradaban manusia akan tetap baik-baik saja. Harus ada orang-orang yang selalu sadar bahwa progresifitas kadang tidak sama dengan kemajuan yang disalahtasiri oleh modernitas.
Toh, agama juga mengajarkan laku qonaah, yang bagi saya sangat efektif untuk mengendalikan laju konsumsi. Saya kadang merinding membayangkan jika generasi kita telaten memaknai filsafat qanaah, filsafat fikih al bi’ah, filsafat keadilan, lalu mem-break-down filsafat semacam itu dalam sebuah kitab taktik seperti das kapital-nya Marx atau Gerpolek-nya Tan Malaka.
Eeeeeeng, intinya, kami ini sebenernya ndak lulus-lulus karena salah kami sendiri. Simak baik-baik, kesaksian ini hanya saya bagikan satu kali. Sebenernya, saya dan Amanatia Junda itu nggak lulus-lulus hanya karena peristiwa remeh: patah hati. Ya, kami dikhianati oleh sejenis lelaki aktivis yang manis-di-bibir-memutar-kata-malah-kau-tuduh-akulah-segala-penyebabnya, cuma, ya nggak pernah pengumuman. Kami tak ingin membuat Kepala Suku Mojok malu hanya karena para kontributornya memasang curhat di dinding ratapan fesbuk.
Begitu lho, Deq…
Akhir kata, selamat sarjana. Doakan kami segera menyusul bulan ini atau bulan depan