MOJOK.CO – Kondisi sekarang sudah sangat memungkinkan Presiden Jokowi untuk mereformasi kabinet dan instrumen politiknya. Dua nama yang paling banyak disebut masyarakat untuk segera diganti adalah Menteri Kesehatan Terawan dan Menkumham Yasonna Laoly.
Sekalipun di awal terasa bahwa pemerintah lambat dalam mengantisipasi pandemi corona, namun sebulan terakhir kinerja pemerintah tampak mulai kentara. Tentu, itu tidak bisa dipisahkan dengan kecepatan para pemimpin daerah, dari level gubernur sampai bupati/wali kota, dan jangan lupa kontribusi terbesar tetap ada pada masyarakat kita. Terbukti untuk kesekian kali, solidaritas sosial masyarakat Indonesia selalu menjadi modal paling fundamental dalam menghadapi berbagai syok dan krisis, termasuk dalam menghadapi pandemi ini.
Kita semua tentu tahu bahwa perlawanan terhadap pandemi corona ini memerlukan napas panjang. Selain korban masih terus berjatuhan, dampak ekonomi dan sosialnya sangat berat. Dengan begitu, sudah saatnya Presiden Jokowi melakukan serangkaian keputusan politik. Kabinet dan instrumen kekuasaan yang dia susun bukan untuk menghadapi kondisi seperti ini. Kalau di masa awal pandemi, tentu tidak bijak jika Presiden Jokowi mereformasi kabinet dan instrumen politiknya. Karena itu akan membuat kegaduhan yang tidak perlu. Kondisi sekarang sudah sangat memungkinkan. Mesin kekuasaan sudah bekerja. Pengalaman mengatasi pandemi juga sudah ada. Masyarakat juga sudah tahu mesti melakukan apa. Selain itu, Presiden Jokowi perlu menggeser pola komunikasi ke publik. Ini akan memberikan kesegaran dan menimbulkan efek psikologis yang baik buat masyarakat.
Hal pertama yang seyogianya dilakukan tentu saja adalah mengganti beberapa menteri yang tidak kompatibel dalam situasi seperti ini. Dua nama yang paling banyak disebut masyarakat untuk segera diganti adalah Menteri Kesehatan Terawan dan Menkumham Yasonna Laoly. Presiden juga mesti segera memutuskan apakah Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sudah dapat bekerja atau perlu rehat lebih lama lagi. Kalau memang perlu butuh waktu rehat lebih panjang lagi, sebaiknya juga diganti. Tidak semua hal harus dipasrahkan kepada Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Selain memang dalam penanggulangan pandemi corona ini Kementerian Perhubungan begitu strategis, juga untuk menghindari stigma Menteri Luhut terlalu dominan dan bicara apa saja, sampai seakan dialah menteri segala urusan.
Kedua, seyogianya Presiden Jokowi cepat menimbang ulang soal stafsus milenial yang membuat gaduh situasi. Masyarakat tidak tahu apa guna dan fungsi mereka. Tidak juga merasakan manfaat mereka. Kalau memang energi dan pikiran mereka memang dibutuhkan, mungkin bisa diperbantukan langsung di bawah koordinasi BNPB, terutama membantu lembaga tersebut memproduksi materi dan memperluas komunikasinya ke semua elemen masyarakat.
Ketiga, program Kartu Prakerja yang ternyata adalah kursus dengan sistem online, sebaiknya ditinjau ulang dari sisi relevansi dan daya gunanya. Selain kursus semacam itu bisa didapat di internet dengan gratis, masyarakat sekarang lebih butuh dukungan ekonomi langsung. Uang yang nisbi besar di program tersebut bisa dialokasikan untuk membantu perekonomian masyarakat yang terdampak pandemi corona. Sekaligus bisa makin maksimal ikut mendinamiskan pasar di tingkat bawah.
Keempat, menurut hemat saya, Presiden Jokowi perlu memperbanyak sesi bicara langsung kepada masyarakat, untuk mendengar apa keluhan mereka. Terutama para juru medis, keluarga dan korban corona, para gubernur dan bupati/wali kota, rakyat jelata (peternak, petani, nelayan), serta para relawan masyarakat sipil. Dengan bicara langsung kepada mereka, Presiden Jokowi akan mendapatkan gambaran lebih nyata apa yang terjadi di masyarakat. Bicara langsung kepada mereka juga akan membuat masyakarat merasa lebih tenang dan lebih diperhatikan, juga bisa mendapatkan jawaban dan arahan dari Presiden secara langsung. Sehingga masyarakat tahu persis bahwa pemerintah sedang bekerja keras dan sudah punya desain yang baik untuk menanggulangi ini semua. Ketenangan, dalam situasi seperti ini, mesti didapat secara langsung dari pucuk pimpinan tertinggi pemerintah.
Kelima, memastikan beberapa isu penting seperti mudik Lebaran, persoalan PHK, bantuan langsung pemerintah, dll., segera bisa diputuskan dan diterima oleh masyarakat. Mudik, misalnya, seyogianya langsung saja diputuskan untuk dilarang. Bukan sekadar diimbau untuk tidak mudik. Karena itu akan membuat banyak lapisan masyarakat dan pemerintah daerah bingung. Semua prasyarat untuk tidak mudik dalam kondisi sekarang ini sudah sangat terang. Pemerintah bisa langsung membuat keputusan, mumpung bulan Ramadan belum tiba.
Saya secara pribadi setuju dengan apa yang dinyatakan oleh Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam sebuah wawancara panjang di sebuah saluran televisi, bahwa Presiden Jokowi tentu sedang mengalami situasi yang berat. Seberat-beratnya apa yang kita bayangkan dipanggul oleh seorang presiden dalam situasi seperti ini, tentu yang senyatanya dialami oleh presiden pasti lebih berat lagi. Saya kira semua masyarakat tahu, tidak mungkin seorang presiden ingin menyengsarakan warganya. Tinggal bagaimana presiden memutuskan. Karena hanya presidenlah yang punya instrumen kekuasaan yang nyata.
Dengan begitu, setiap keputusan presiden, apalagi jika didasari oleh masukan elemen masyarakat sipil, pasti akan mendapatkan dukungan nyata. Presiden bukan sekadar menemani masyarakat di saat menghadapi badai pandemi, tapi juga memimpin dengan keputusan yang tepat. Ini saatnya membuat lompatan sekian kali ke depan. Kondisi yang tidak normal memang membutuhkan keputusan dan tindakan yang tidak biasa. Berbekal pengalaman memimpin negara ini selama enam tahun, saya yakin Presiden Jokowi bisa melakukannya. Keputusan sepenuhnya ada di tangan Bapak Presiden, tentu saja.
BACA JUGA Kenangan Bergema Lebih Keras dari Sebelumnya dan esai Puthut EA lainnya di KEPALA SUKU.