MOJOK.CO – Aksi bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar pada Minggu Palma kemarin seolah menyentakkan kesadaran: terorisme masih ada.
Mengejutkan sekaligus membuat khawatir. Itu barangkali yang tiba-tiba ada di benak dan kepala orang-orang ketika mendengar kabar bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar.
Meski polisi telah berupaya maksimal (total menangkap lebih dari 200 terduga teroris sejak akhir 2020 lalu), tetap saja masih ada aksi teror yang terjadi.
Hal kayak gini bikin sejumlah pertanyaan-pertanyaan lama menyeruak kembali. Siapakah mereka? Kenapa mereka tidak habis-habis meski banyak yang telah ditangkap? Apa yang salah dengan kondisi sekarang?
***
Menurut Sun Tzu, master strategi perang Tiongkok kuno, langkah pertama untuk menang adalah “kenali musuhmu”. Maka, strategi kampanye yang menyebut “terorisme tidak punya agama” tidak sepenuhnya tepat.
Pandangan ini hanya efektif kalau ditujukan kepada orang yang sama-sama tidak sepakat dengan prinsip terorisme. Namun, tidak membantu sama sekali untuk berusaha memahami genealogi terorisme di Indonesia.
Pertama-tama yang harus diakui (terutama bagi kaum muslim Indonesia) adalah para pelaku aksi teror bom bunuh diri di Indonesia modern (termasuk yang di gereja Katedral Makassar) adalah muslim.
Bahkan, dari segi tertentu, mereka adalah muslim yang baik. Banyak yang hafal Al-Quran dan kebanyakan mereka punya ketekunan beribadah yang lebih ketimbang lainnya. Kalaupun ada yang beda dengan muslim kebanyakan, ya doktrinnya.
Dari banyak kombatan dan mantan kombatan yang pernah saya temui dan wawancarai, mereka menyebut dirinya berakidah Salafi Jihadi. Ingat Salafi Jihadi ya, bukan Salafi saja.
Saya pernah menulis sebuah artikel untuk Jawa Pos, dan akibatnya banyak orang-orang Salafi yang marah dan tak terima manhaj-nya disebut sebagai manhaj teror.
Saya akan jelaskan perbedaannya. Meski sama-sama fokus kepada kembali ke akidah para salafus salih dan pemurnian Islam dari bid’ah-bid’ah, para ikhwan jihadi ini punya doktrin tauhid serta konsekuensinya yang berbeda dengan Salafi.
Mereka mengadopsi tauhid hakimiyah. Doktrin inilah yang membuat mereka memusuhi negara kontemporer dengan demokrasinya. Paham ini menyatakan bahwa kedaulatan politik sepenuhnya milik Allah.
Manifestasinya berada pada penerapan hukum-hukum Allah dalam mengatur semua aspek kehidupan masyarakat. Mereka berpendapat bahwa Allah sebagai pencipta, maka Dia-lah yang paling tahu hukum yang terbaik bagi ciptaan-Nya. Syariat Islam adalah sesuatu yang sempurna yang telah diciptakan-Nya, sehingga tak ada satu pun yang lebih baik dari hal tersebut.
Konsekuensinya, membuat undang-undang tandingan yang berbeda dengan syariat Islam berarti merampas hak tasyri’ Allah. Siapa pun yang merampas hak ini dianggap sebagai musyrik.
Di Mesir, paham ini sudah berkembang lama. Sayyid Qutb juga sangat lantang mendakwahkan tauhid hakimiyah ini. Namun, yang membawa doktrin ini ke Afghanistan (dan kemudian menyebar ke seluruh dunia melalui ISIS), adalah konsep tauhid hakimiyah yang disusun oleh Muhammad Abdussalam Faraj (1952-1982), tokoh Jamaah Jihad.
Faraj sendiri menuangkan gagasannya tersebut dalam sebuah buku tipis setebal 50 halaman berjudul Al Faridhah al Ghaibah (Kewajiban yang Hilang) pada saat dia berusia 27 tahun. Meski tipis, dampaknya luar biasa. Buku yang menjadi pegangan Khalid Islambouli saat menembak mati Anwar Sadat pada Oktober 1981* silam.
Dalam bukunya, Faraj menganggap bahwa penguasa yang menolak syariat Islam sama artinya menolak hakimiyah Allah. Tentu saja pandangan ini merujuk pada pandangan Ibnu Taimiyyah yang mengkafirkan penguasa Mongol beberapa abad sebelumnya.
Yang baru dari buku itu adalah Faraj membuatnya kontemporer dengan menyebut bahwa penguasa Mongol itu sama dengan penguasa Mesir saat itu, yang dipimpin oleh Anwar Sadat.
Penguasa Mongol dan penguasa Mesir sama-sama muslim, namun keduanya sama-sama tidak menegakkan syariat Islam. Keduanya dianggap murtad. Pentakfiran (pengkafiran) ini membuat justifikasi religius bahwa wajib hukumnya untuk membunuh penguasa murtad. Kesimpulan ini cukup mengejutkan dan sangat radikal.
Ditambah dengan pernyataan bahwa jihad memerangi penguasa murtad adalah fardlu ‘ain, dan bersifat jihad defensif (yang sudah tidak ada persyaratan apa pun untuk jihad, termasuk perempuan dan anak-anak pun boleh), maka doktrin ini langsung menjadi pegangan utama kelompok militan di Mesir, dan kemudian berlanjut di dunia hingga sekarang.
Faraj juga dianggap sebagai peletak dasar untuk memerangi near enemy (musuh yang dekat). Memerangi musuh murtad jauh lebih utama ketimbang memerangi kafir harby (atau non muslim).
Soalnya, orang murtad dianggap jauh lebih berbahaya dan mematikan Islam ketimbang orang kafir. Orang murtad dianggap sudah tahu kebenaran namun mengingkarinya, sedangkan kafir harby tidak.
Lebih jauh, Faraj menganggap bahwa orang murtad tak bisa mewarisi, menikahi perempuan Islam, dan hewan hasil sembelihannya tak boleh dimakan. Bahkan, hewan sembelihan kafir harby saja boleh dimakan.
Lebih lanjut, doktrin ini kemudian dilanjutkan di Afghanistan, tempat melting pot para mujahidin yang disokong AS melawan rezim Najibullah yang disokong Uni Soviet. Tanpa disadari, para mujahidin dari berbagai negara ini menjadi penyempurnaan dari doktrin-doktrin yang menjadi embrio jihad global.
Syekh Abdullah Azam, figur sentral Mujahidin, membuat doktrin yang bisa menyatukan para mujahidin sekaligus menyiapkan dalilnya.
Tokoh ini pula yang merumuskan bahwa jihad hanya punya satu makna: qital fisabilillah atau perang di Jalan Allah. Selain itu, jihad adalah fardlu ‘ain, yakni kewajiban yang mengikat tiap muslim.
Selain itu, Azzam juga merumuskan apa yang disebut dengan Irhabiyah, atau teror. Paham ini kelak yang menjadi landasan “bahwa dalam jihad dibenarkan melakukan aksi terorisme.”
Menurut Azzam, soal ini termaktub dalam Qs Al-Anfal ayat 60 yang berbunyi:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka dengan kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu, dan orang-orang yang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya.”
Frase “turhibuuna bihii” (yang dengan persiapan itu, kamu menggentarkan…) adalah pembenaran melakukan teror terhadap musuh Islam.
Azzam merujuk pada pendapat Imam Syafi’i yang menyebutkan: “Irhab untuk musuh merupakan salah satu dari dasar pondasi Islam. Barang siapa menyangsikan bahwa meneror musuh adalah fardlu, maka dia termasuk kafir.”
(Catatan: sebenarnya saya tidak tahu konteks pendapat Imam Syafi’i yang dirujuk oleh Syekh Abdullah Azzam ini bagaimana).
Dengan logika dalil seperti ini, salah satu yang membuat doktrin ini begitu mudah penyebarannya adalah kepraktisannya. Bertauhid kini menjadi jelas batasnya dan lebih mudah dipahami.
Beda dengan aliran-aliran lain, seperti sufisme, yang menjadikan wilayah ketuhanan adalah wilayah yang hanya bisa dimasuki orang suci, bukan orang kebanyakan.
Singkatnya, manhaj lain ketuhanan bersifat abstrak dan down to earth, sementara doktrin Rububiyah Mulkiyah dan Uluhiyah yang menjadi dasar jihad global begitu gampang dicerna.
Juga bisa memberi arti pada kehidupan masyarakat kebanyakan yang tersingkir (karena sistem ekonomi politik dunia yang berlaku).
Hidup tak lagi menjadi sebuah kekalahan. Baik secara ekonomi, sosial, maupun politik. Orang biasa dengan pendapatan tak lebih dari Rp3 juta per bulan dan merasa hidupnya sia-sia, ketika memasuki tanzhim jihadi seperti ini, mereka seperti menemukan makna baru. Terlahir baru.
Seperti Edmond Dantes yang keluar dari pengasingan di Count of Monte Cristo. Atau orang-orang yang baru hijrah dan ingin mengenal Islam lebih jauh yang celakanya kemudian berkenalan dengan salah satu perekrut mereka.
Uraian panjang ini setidaknya bisa membuat paham seperti apa nalar logika apa yang digunakan oleh mereka, dan kenapa organisasi teror ini seolah tak pernah kehilangan kader.
***
Di Indonesia, genealogi terorisme meniru persis apa yang terjadi di tingkatan global. Yakni, perpecahan antara Al-Qaeda dan ISIS. Karena tak puas dengan sejumlah pandangan dan cara berjuang Al-Qaeda, sekelompok petingginya kemudian membuat faksi sendiri yang menjadi ISIS.
Beberapa perbedaannya adalah soal pandangan jihad. Sifat jihad Al-Qaeda adalah jihad ofensif. Artinya, sasaran serangan mereka benar-benar dipilih khusus dan direncanakan khusus pula. Sasaran mereka biasanya militer dan far enemy (musuh jauh seperti langsung ke AS).
Sedangkan ISIS menyerang siapa saja, termasuk Al-Qaeda. Sasaran mereka adalah near enemy. Artinya, musuh paling dekat yang paling bisa dijangkau. Seperti polantas, gereja kecil, atau kalau memungkinkan Gereja Katedral Makassar ini, dan lain sebagainya.
Sifat jihad mereka adalah jihad difa’i, atau jihad defensif yang memperbolehkan siapa saja (termasuk perempuan dan anak-anak) menyerang dengan apa saja (dengan pisau, truk, atau apa pun).
Skala kecil pun boleh. Yang lebih ngeri dari ISIS adalah “kemudahan prosedural”. Siapa pun bisa berbaiat dan ngaji via online, dan dipersilakan bisa langsung amaliyah alias melakukan aksi teror.
Serangan teroris sebelum 2010 di Indonesia didalangi oleh Jamaah Islamiyyah (JI) yang berafiliasi ke Al-Qaeda. Sementara, aksi teror sesudah 2010 dilakukan oleh sel-sel kecil yang berafiliasi ke JAD maupun tanzhim yang berkhidmat ke ISIS.
Memang masih ada yang namanya Neo-JI, sekumpulan anak-anak muda JI yang lebih progresif dan tak puas dengan vakum-nya JI sekarang ini.
Selain akidah, salah satu perdebatan panas di internal kalangan ikhwan jihadi ini adalah sasaran aksi teror. Apakah polisi, apakah gereja seperti Gereja Katedral Makassar ini, atau tempat-tempat perwakilan asing?
Artinya, aksi teror ini hanya menunggu waktu kapan akan dilakukan atau tertangkap polisi terlebih dahulu.
***
Terorisme seperti bom di Gereja Katedral Makassar ini selalu akan menjadi potensi berbahaya di Indonesia untuk ke depan. Sebagai kejahatan yang luar biasa, maka diperlukan antisipasi yang luar biasa pula. Sayangnya, hal tersebut tak pernah terjadi di Indonesia.
Dalam soal penanganan terorisme, Indonesia hanya mendapat nilai bagus pada pengungkapan kasus. Polri layak mendapatkan apresiasi terkait hal ini. Namun, penanggulangan terorisme tidak bisa dilakukan dengan cara represif setelah kejadian saja, tapi juga antisipasi.
Sebagai ujung tombak, BNPT hanya mendapatkan anggaran sekitar Rp500 miliar saja. Yang kebanyakan habis untuk operasional saja.
Dengan komitmen seperti itu, bahkan pemerintah nyaris tidak bisa memberikan banyak daya dukung terhadap lembaga-lembaga nirlaba yang berfokus dalam deradikalisasi.
Koordinator Yayasan Lingkar Perdamaian yang juga adik Amrozi, Ali Fauzi, menceritakan bahwa nyaris tidak banyak dukungan secara institusional terhadap lembaganya.
Padahal, Yayasan Lingkar Perdamaian didirikan oleh mantan kombatan untuk “mengembalikan” para napiter ke jalan nirkekerasan. Mereka bertarung ideologi dari penjara ke penjara lain untuk berebut para napiter dan memberikan alternatif kehidupan—sesuatu yang amat vital dalam deradikalisasi.
Dengan napiter dan mantan napiter yang mempunyai kemampuan kombatan hampir mencapai 10 ribu di seluruh Indonesia, dan dengan nyaris tidak ada alternatif bentuk kehidupan baru, siapa yang bisa menjamin tidak akan ada serangan teror lagi di Indonesia?
Sebagai perbandingan, sebanyak apa mantan napi jambret, atau kurir narkoba, yang kembali ditangkap karena melakukan hal yang sama karena tidak tahu caranya kembali hidup normal di masyarakat?
*) Ralat. Tadinya ditulis 1961, seharusnya ditulis 1981.
BACA JUGA Jika Pelaku Bom Bunuh Diri Beragama Islam, Ya Kita Harus Mengakuinya dan tulisan Kardono Setyorakhmadi lainnya.