Dalam novelnya Gadis Pantai, Pramoedya Ananta Toer lebih brutal lagi. Si tokoh utama, Mas Nganten, gadis pantai yang dinikahi oleh seorang bendoro (bangsawan) Rembang, harus menghadapi ulah para Den Bagus (putra bangsawan) yang diduga kuat telah mencuri uangnya. Di sini, Pram membenturkan si miskin dan si kaya, di mana meskipun telah diangkat sebagai istri bangsawan, Mas Nganten dengan latar belakang kehidupan orang kampungnya, sangat ciut menghadapi arogansi anak-anak majikan yang notabene adalah kerabat suaminya sendiri.
Mereka sangat tersinggung ketika sekadar ditanyai, apakah ada yang melihat uang Mas Nganten. Sebagai Den Bagus, mereka tersakiti egonya karena seakan-akan dituduh mencuri. Mas Nganten yang sudah kehilangan uang, masih harus menghadapi tekanan. Ego yang terluka? Kejahatan Mario Dandy pun tercipta.
Ketimpangan status sosial antara Mas Nganten dan para putra bendoro membuat dia mengalah dan menyalahkan dirinya sendiri, “Apakah mungkin bangsawan-bangsawan muda mencuri? Akulah anak kampung nelayan. Cuma aku yang mungkin mencuri, bukan mereka.”
Abuse of power
Jadi bisa dibayangkan, seintimidatif itu relasi orang penting dengan orang biasa dalam budaya masyarakat feodal. Ada abuse of power di dalamnya. Tidak ada orang yang mau punya masalah dengan orang penting. Maka, orang pun harus berhati-hati dalam bersikap baik terhadap si pejabat itu sendiri maupun keluarganya.
Singkatnya, dalam tatanan feodal, masyarakat biasa memang takut terhadap orang yang punya jabatan. Jadi tidak heran kalau banyak orang Indonesia suka mengaku-ngaku memiliki jabatan tertentu atau mengaku sebagai keluarga pejabat ketika menghadapi masalah hukum dengan harapan mendapatkan kekebalan seperti Mario Dandy.
Kasus yang pernah sangat menghebohkan di jagad maya adalah 2016 silam. Sonya Depari membentak seorang polwan yang menghentikannya saat konvoi kelulusan SMA. Mengaku sebagai putri dari Arman Depari, seorang perwira Polri yang kala itu memiliki jabatan penting di Badan Narkotika Nasional, belakangan diketahui bahwa Sonya ternyata hanya merupakan keponakannya.
Meme Sonya “Aku Tandai Kau” jadi rame di media sosial. Hal ini lantaran Sonya dengan jemawa mengancam polwan yang menyetopnya dengan kata-kata, “Aku tandai Ibu. Aku anak Arman Depari.”
Mario Dandy, produk budaya feodal
Peristiwa seperti itu sangat lumrah terjadi di Indonesia. Mengaku pejabat, mengaku anak jenderal, mengaku istri polisi, mengaku sebagai ini itu, merupakan produk budaya feodal karena masyarakat takut bukan terhadap hukum melainkan terhadap jabatan seseorang. Apalagi kalau keturunan langsung seperti Mario Dandy.
Kalau masyarakat masih berani untuk mencoba cara ini demi terhindar dari hukum, itu karena mereka tahu masyarakat kita segan terhadap para penguasa. Para penegak hukum takut terhadap pimpinan atau orang yang mereka anggap lebih tinggi statusnya dibanding mereka.
Kasus anak pejabat berbuat kejahatan seperti Mario Dandy dan yang paling keji adalah kasus pemerkosaan Sumaridjem atau Sum Kuning yang terjadi tahun 1970 di Yogyakarta. Gadis miskin penjual telur ini ditarik ke dalam mobil dan diperkosa oleh sekelompok anak muda yang diduga adalah geng anak pejabat. Karena di masa itu hanya anak orang berada saja yang bisa punya mobil pribadi. Dan rupanya dia merupakan korban kedua dari kasus dengan modus yang sama. Ciri pelaku, jenis dan warna mobil, mengindikasikan pelaku yang sama.
Meski kasus Sum Kuning sempat meledak pada masanya, hukum kita tidak mampu menjebloskan para anak petinggi ini ke penjara. Yang ada Sum Kuning justru dituduh telah membuat laporan palsu. Konon karena kasus ini, Jenderal Hoegeng Iman Santoso yang merupakan Kapolri dengan reputasi paling jujur dalam sejarah NKRI dipensiunkan dari jabatannya.
Memang tidak semua anak pejabat berperilaku seperti Mario Dandy. Tentu saja masih banyak yang berprestasi dan menjadi warga negara yang baik. Tapi, akar sejarah anak pejabat tengil memang sudah ada dari dulu. Sebenarnya tidak ada obat untuk permasalahan ini, selain masyarakat harus takut hukum, bukan pada pejabatnya.
BACA JUGA Penampakan Rumah Mewah Rafael Alun di Jogja dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Krisnasari Willoughby
Editor: Yamadipati Seno