MOJOK.CO – Tanjung Priok adalah wilayah di Jakarta yang terbuka nan liar layaknya Amerika pada masa wild west. Banyak koboinya, banyak bajing lompatnya.
Buat kamu yang pernah curhat tentang betapa kerasnya Jakarta, yakinlah Bung, itu hanya tataran permukaan saja. Hanya karena—misalnya—pernah tidur di emperan Monas, lalu kamu sudah men-judge Jakarta itu keras? Pffft.
Sori, Mas, Mbak, Pak, Bu, antum belum kaffah melihat Ibukota, Jakarta yang kamu lihat masih sebatas Taman Nasional Beton Lindung Sudirman-Thamrin atau hunian impian tak mungkin dicapai kayak Menteng… kamu pasti belum sampai melihat Tanjung Priok.
Coba kalau saudara ada waktu luang, main-mainlah ke Tanjung Priok. Kawasan pelabuhan nomor wahid di Indonesia. Pintu segala macam barang berlabel impor mulai dari yang KW hingga KR (kualitas reject) hilir mudik disini.
Tentu saya sarankan dengan kondisi tubuh yang prima, mental yang sehat, dan kalau bisa punya asuransi jiwa yang masih aktif (opsional).
Priok dari kompeni sampai Ahmad Sahroni
Belasan tahun dibesarkan di lingkungan Priok yang keras, membuat saya mikir kalau Jakarta yang lain kagak ada apa-apanya dah. Kalau saja Jakarta Utara dibandingkan sama Jakarta Selatan, beuuh itu sama aja kayak Korea Utara sama Korea Selatan. Yang selatan kiyoowo, yang utara masaoowoo.
Setiap mau nongkrong ke selatan, perjalanan kami berasa jihad fi sabilillah. Posisi helm SNI kami sejajar dengan roda truk peti kemas yang biasa kita sebut transformer. Di tengah jalan kalau beruntung kita bisa merasakan sensasi riil battle royale remaja jalanan a.k.a tawuran.
Dan jangan lupa kami punya pekerjaan lokal yang endemik bernama bajilo (bajing loncat), yakni sekumpulan anak-anak berusia tanggung yang naik ke atas truk untuk mencari barang-barang yang bisa dijual seperti besi, logam mulia, kripto gitu.
Bahkan saya yakin kalau Fiersa Besari lahir di Tanjung Priok, dia nggak bakal bikin sajak tapi pasti jadi tukang bajak.
Reputasi Priok yang keras adalah konjungsi sejarah yang belum berujung. Sejak zaman dahulu kala, daerah Priok adalah terra incoqnito yang sulit dijamah. Kesultanan Banten misalnya, lebih memilih membuka Sunda Kelapa sebagai pelabuhan pelayaran internesyenel pertama sebelum Pak Jokowi buat tol laut.
Pada abad ke-17, daerah utara Jakarta yang termasuk wilayah Priok, Antjol, dan Tjilintjing (Cilincing) masih berupa rawa yang didiami buaya muara bukan buaya yang pakai vespa dan pakai er*go.
Kompeni pun takut-takut kalau patroli sampai ke Tanjung Priok karena di sana ada robinhood lokal yang kondang bernama Si Pitung. Kalau Kapten Jans memerintahkan serdadunya untuk patroli ke Priok, pasti anak buahnya akan nyahut…
“Nei, nei meneer ik gaan nicht. BPJS Ketenagakerjaan kite zonder cover kalo kebacok sama itu Pitung.”
Foklor lokal tentang perempuan yang dirudapaksa oleh petinggi kompeni lalu mayatnya dibuang di sekitar Kali Ancol, menjadi inspirasi Kiki Fatmala untuk memerankan tokoh setan di sinetron lawas Si Manis Jembatan Ancol bersama kompatriotnya, Ozy Syahputra.
Masuk zaman Pak Harto, menambah kesan keras bagi Priok setelah Bang Ali Sadikin membuat lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara bernama Kramat Tunggak.
Ikon wisata lucah ini membuat stigma Priok makin negatif. Pelaut-pelaut yang biasa digoyang ombak, merapat dan lalu mulai menggoyang ranjang. Orde Baru membangun kawasan Tanjung Priok sebagai lokasi transaksi lendir saja tanpa pernah memperhatikan masalah sosial yang kompleks di sana.
Kehadiran pelabuhan besar yang menjadi pintu masuk segala barang dan aktivitas ekonomi, tidak dibarengi dengan kesempatan ekonomi yang sama untuk orang Priok.
Justru orang lokal kesulitan mengakses pekerjaan di pelabuhan dikarenakan kebijakan yang diteken Yang Mulia Soeharto memberikan keleluasaan bagi perusahaan asing dalam mengelola pelabuhan.
Jelas sumber daya lokal Tanjung Priok tersisih saat itu dan berakhir menjadi kuli bongkar muat, jambret di pasar, atau tukang ojek sepeda di sekitar terminal.
Orang-orang Priok yang dikenal keras, sejatinya tak pernah tunduk pada penindasan. Azas Tunggal Pancasila yang dipaksakan oleh rezim Orde Baru, di Tanjung Priok berubah menjadi gerakan perlawanan.
September 1984, puluhan orang di sekitar pelabuhan meregang nyawa setelah bentrok dengan aparat militer atas komando Benny Moerdani. Tahun 2010, kembali lagi orang Priok melawan represi aparat yang mengakibatkan kerusuhan di sekitar dok Koja, Pelabuhan Tanjung Priok.
Peristiwa ini dipicu oleh eksekusi lahan atas makam Mbah Priok, tokoh ulama yang menyebarkan Islam di Jakarta oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
Ahmad Sahroni yang terkenal sebagai crazy rich Priok adalah anomali di sini. Garasi Mclaren, Ferarri, dan Lamborghini milik Sahroni hanya sejengkal mata di lapak seblak milik ibu-ibu yang suka curhat suaminya ngambil amprah malam bongkar peti kemas.
Secara arif dan bijaksana, Pak Yasonna Laoly mengingatkan stereotype tentang orang Tanjung Priok yang kriminal pada awal tahun 2020 silam.
Blio menyadarkan bahwa orang Priok yang keras dan uncivilized itu adalah cockroach-cockroach yang pantas disebut kriminal jalanan, karena kriminal berdasi tinggal di Menteng, yee kagak?
Sebagai kawasan terbuka layaknya Amerika masa wild west, Tanjung Priok adalah land of hope untuk para pendatang. Orang Bugis, Batak, Jawa, Banten, Buton, Bima, Flores dan banyak lagi suku di Indonesia datang mencari prosperity yang sama di sini.
Mencari harapan dengan keadaan lapar, mengaktifkan insting bertahan hidup paling dasar milik manusia, ditambah stigma dari kelompok kerah biru, membuat orang Priok selalu pede aja dan temrusjakandor (hantem terus jangan kasih kendor).
Priok yang eksotik, bukan sekedar rumah yang di blacklist kreditan motor. Priok merupakan tempat di mana orang-orang mengundi nasib saat kemiskinan menjadi sohib yang karib. Justru mereka bertahan dengan karakter yang kuat dan saling dukung saat “Jakarta di Atas” pada saling tikung.
Di balik gang-gang sempit dan hidup yang menghimpit, Priok masih jauh dari kata sakit. Priok akan tetap gahar untuk orang-orang lemah yang bersembunyi di balik kemeja berdasi, salah satunya Yasonna Laoly, yang makin ke sini makin susah diajak ngopi.
BACA JUGA Gaul di Jaksel, Hedon di Jakbar, Nyasar ke Bekasi, Bermacetan di Depok dan tulisan soal Bambang Widyonarko lainnya.