Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Kalau Semua Agama Itu Baik, Mengapa Kita Menghakimi Orang yang Pindah Agama?

Topan Chen oleh Topan Chen
31 Agustus 2017
A A
170831 ESAI PINDAH AGAMA

170831 ESAI PINDAH AGAMA

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Saya mendapatkan buku Cerita untuk Sahabat ini dari acara Asian Youth Day 2017 di Yogyakarta pada awal Agustus.

Baru hari ini saya sempat baca. Dan saya merasa agak terusik oleh salah satu cerita tentang seorang anggota keluarga yang pindah agama (dari Katolik menjadi Islam), ditulis oleh Filisianus Richardus Viktor dengan judul “Dia Tetap Keluargaku.”

cerita dari sahabat mojok

Saya terusik bukan karena salah satu anggota keluarganya pindah agama, tetapi karena khotbah seorang pastor yang berbunyi: “Merupakan kegagalan terbesar bagi para orang tua jika mereka tidak bisa membuat anak-anaknya terus percaya kepada Yesus.” Dan seketika itu juga orang tua dari anak yang pindah agama itu menangis. (Halaman 4)

Saya kaget, terdiam cukup lama, dan akhirnya merasa jengah. Saya kok tidak setuju ya dengan pernyataan seperti ini. Bijakkah seorang pemimpin agama menghakimi seperti itu? Apakah beliau memikirkan akibat dari ucapan beliau? Apakah tindakan anak pindah agama merupakan kegagalan orang tua dalam mendidik anak? Apakah orang tua yang anak-anaknya tidak pindah agama bisa dikategorikan sebagai orang tua yang sukses?

Saya merasa kasihan dengan orang tua yang disalahkan karena anak mereka pindah agama. Orang tua sudah terluka hatinya karena si anak pindah agama, sekarang malah ditambah dengan beban penghakiman dari sosok panutan dalam agama mereka sendiri. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.

Padahal saya yakin, dari sekian banyak orang yang menghakimi, belum tentu mereka tahu bagaimana pergulatan orang yang memutuskan untuk pindah agama tersebut. Pun dengan pimpinan agama tersebut. Saya yakin beliau tidak mengetahui pergumulan-pergumulan yang mereka hadapi sampai pada akhirnya memutuskan untuk pindah agama. Bagaimana mereka memikirkan perasaan orang tua, bagaimana perasaan mereka ketika dihakimi masyarakat, dan bagaimana mereka dipandang sebagai pengkhianat oleh umat agama yang ditinggalkan. Kebanyakan hanya bisa melihat kuman di seberang lautan, tanpa bisa melihat gajah yang berada di pelupuk mata. Bisa menghakimi orang lain tanpa mengoreksi diri sendiri.

Pada akhir cerita tersebut, orang tua yang anaknya pindah agama belajar menerima dan mereka belajar untuk saling menghargai dan menghormati keberagaman di antara mereka. Dan mereka bisa hidup rukun dalam harmoni. Jika pada akhirnya semua mendapatkan pelajaran hidup yang berharga seperti ini, apakah ini bisa disebut sebagai kegagalan? Menurut saya ini seharusnya disebut sebagai kemenangan. Kemenangan melawan arus dan kemenangan berdamai dengan keadaan. Sungguh, Tuhan memberikan pelajaran hidup dengan berbagai kejadian-kejadian tak terduga. Dengan misteri-misteri yang tak terselami nalar manusia.

Di Indonesia, sebagian besar agama yang dianut merupakan agama yang diturunkan oleh orang tua. Anak yang lahir dari keluarga Hindu akan otomatis beragama Hindu dan anak yang lahir dari keluarga Buddha akan otomatis menganut agama Buddha. Jarang sekali (atau bahkan tidak pernah) saya temui keluarga yang beragama Kristen membabtiskan bayi mereka di Gereja Katolik dan menentukan agama yang berbeda dari agama yang dianut oleh orang tua si bayi. Tetapi, seiring berjalannya waktu, anak-anak beranjak dewasa, mengenyam pendidikan, dianugrahi nalar untuk berpikir dan kehendak bebas (free will) untuk menentukan arah hidup masing-masing. Salah satu keputusan yang masih dianggap kontroversial di kalangan masyarakat Indonesia adalah keputusan seseorang untuk pindah agama.

Sebelum mengikuti Asian Youth Day 2017 di Yogyakarta, kami perwakilan dari Keuskupan Ketapang melakukan pembekalan sebelum keberangkatan. Berdasarkan tema AYD 2017: Joyful Asian Youth! Living the Gospel in Multicultural Asia, dihadirkanlah seorang pembicara yang merupakan seorang Muslim yang memutuskan untuk menjadi Katolik. Pada saat itu, dia menceritakan pergumulan dan pergulatan yang dia alami sebelum akhirnya mantap untuk memilih agama Katolik. Semua peserta duduk dan mendengarkan dengan antusias dan mata berbinar. Karena apa? Saya rasa karena yang memberikan testimoni adalah seseorang yang dulunya berbeda dan akhirnya memilih untuk berpijak pada tempat yang sama seperti mereka.

Apakah sikap seperti ini bisa kita tunjukkan ketika seorang diantara kita ingin menceritakan pergumulan yang sama ketika dia mau berpindah dari agama kita ke agama lainnya? Suatu pertanyaan yang menarik untuk direfleksikan.

Sejauh yang saya amati, semua orang akan menjawab bahwa “semua agama itu baik” ketika ditanya dan dimintai pendapat mengenai agama lain. Tetapi ketika saudara kita ingin pindah ke agama sebelah, hati kita akan berontak. Marah. Merasa terkhianati. Padahal sudah dikatakan bahwa semua agama itu baik.

Apakah slogan “semua agama baik” itu hanya di mulut saja, tetapi hati terbakar amarah?

Saya tidak tahu. Hati kita masing-masinglah yang bisa menjawab. Yang jelas, proses menghakimi itu ada. Dan itu jelas dirasakan oleh orang yang memilih convert his religion.

Iklan

Begitu pula di lingkungan tempat saya tinggal. Ketika ada seseorang yang berproses dan akhirnya memutuskan untuk memeluk agama Katolik, semua umat bersuka cita. Mereka menganggapnya sebagai domba yang hilang dan telah ditemukan. Tetapi ketika orang Katolik berproses dan merasa kebutuhan rohaninya terpenuhi dalam agama lain, semua umat bersama-sama menghakimi.

Dan saya rasa ini bukan hanya terjadi pada agama Katolik saja. Tetapi semua agama. Agamanya baik, tetapi penganutnya saja yang belum bijak dalam bertindak, sehingga dengan mudah menghakimi orang yang memutuskan untuk pindah agama.

Mari kita belajar bersama untuk tidak selalu fokus mengomentari hidup orang lain, tetapi lebih menata hidup kita sendiri.

Karena karma itu ada. Saat ini kita bahagia menyinyiri orang, suatu saat hidup kita yang akan dinyinyiri orang.

Walk a mile in their shoes.

See what they see.

Hear what they hear.

Fell what they feel.

Then maybe you’ll understand,

Why they do what they do.

Terakhir diperbarui pada 2 April 2020 oleh

Tags: AgamaKatolikKristenpindah agama
Topan Chen

Topan Chen

Artikel Terkait

Cerita Kebiasaan Orang Jawa yang Bikin Kaget Calon Pendeta MOJOK.CO
Esai

Cerita Calon Pendeta yang Kaget Diminta Mendoakan Motor Baru: Antara Heran dan Berusaha Memahami Kebiasaan Orang Jawa

21 November 2025
Katolik Susah Jodoh Tolong Jangan Login dan Ambil Jatah Kami MOJOK.CO
Esai

Cari Pasangan Sesama Katolik itu Susah, Tolong Jangan Login dan Ambil Jatah Kami

13 November 2025
intoleransi, ormas.MOJOK.CO
Ragam

Pemda dan Ormas Agama, “Dalang” di Balik Maraknya Intoleransi di Indonesia

19 September 2025
Catatan Kritis Atas Reduksionisme Biologis Pemikiran Ryu Hasan MOJOK.CO
Esai

Catatan Kritis Atas Reduksionisme Biologis Pemikiran dr. Ryu Hasan

3 Juli 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Konsesi Milik Prabowo di Hulu Banjir, Jejak Presiden di Balik Bencana Sumatra

4 Desember 2025
Para penyandang disabilitas jebolan SLB punya kesempatan kerja setara sebagai karyawan Alfamart berkat Alfability Menyapa MOJOK.CO

Disabilitas Jebolan SLB Bisa Kerja Setara di Alfamart, Merasa Diterima dan Dihargai Potensinya

2 Desember 2025
8 tahun merantau di Jakarta akhirnya resign. MOJOK.CO

Nekat Resign usai 8 Tahun Kerja di BUMN, Nggak Betah Hidup di Jakarta dan Baru Sadar Bawa Trauma Keluarga Terlalu Lama

4 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.