MOJOK.CO – Jadi inti ceritanya, gali lubang tutup utang. Jokowi senang, Sri Mulyani semringah. Rakyat Indonesia terengah-engah. Lah dah lah!
Sebagaimana diketahui, jumlah subsidi energi di Indonesia berbeda tipis dengan jumlah tagihan dan bunga utang pemerintah setiap tahun. Dalam kondisi saat ini, pembesaran subsidi berarti penurunan kapasitas anggaran untuk membayar tagihan dan bunga utang. Tak pelak, para kreditor akan sangat was-was melihatnya dan harusnya jadi red flag untuk Jokowi dan Sri Mulyani.
Nah, dalam konteks inilah, sebenarnya, pencabutan subsidi BBM dan berbagai kebijakan penyesuaian struktural lainya diambil. Bahasa sederhananya, beban cicilan dan bunga utang yang besar, jika tak diikuti pertumbuhan ekonomi dan setoran pajak yang tinggi, akan membebani perekonomian nasional.
Bebannya secara nominal, plus minus, Rp300 sampai Rp400 triliun setiap tahun, mirip beban subsidi energi. Artinya, ada dua pilihan buat pemerintahan Jokowi, antara mencabut subsidi energi atau mengurangi belanja lain (mengurangi biaya operasional pemerintah, menunda proyek-proyek strategis (IKN misalnya), mengurangi gaji para direksi dan komisaris BUMN, dan pengurangan lainya) atau opsi “menegosiasikan ulang tagihan dan bunga utang” (opsi berbahaya karena bisa kesulitan ngutang lagi nanti toh). Bisa juga juga menambah utang lagi untuk menutupi subsidi dan menambah-nambah anggaran untuk cicilan dan bunga utang. Pemerintah Jokowi sendiri akhirnya memilih opsi pertama, yakni memangkas subsidi energi. Hasilnya telah kita saksikan, harga BBM akhirnya naik.
Utang jalan terus
Namun jangan salah, pemerintah Jokowi tetap menambah utang. Iya, jangan salah kira, utang tetap jalan terus. Menaikan harga BBM bukan untuk mengurangi utang, tapi agar tidak terlalu banyak ngutang di 2022 dan 2023. Itu saja.
Lantas, mengapa dan dalam konteks apa, pemerintahan Jokowi, dibantu Ibu Sri Mulyani, dari tahun ke tahun tetap mencatatkan utang yang jauh lebih besar dibanding pemerintahan sebelumnya?
Pertumbuhan utang sejak 2015 jauh melampaui pertumbuhan ekonomi. Bahkan di atas pertumbuhan penerimaan negara, baik pajak maupun non-pajak. Rasio utang terhadap PDB tahun ini mencapai 40 persen lebih dengan estimasi nominal sekitar Rp7.000 triliunan, sedangkan pada awal pemerintahan Jokowi (2015) hanya berkisar 24 persen PDB, sekitar Rp2.400 triliunan.
Angka tersebut memang cukup mengkhawatirkan mengingat pertumbuhan utang yang sangat cepat belum menghasilkan pertumbuhan ekonomi untuk mengimbanginya. Lalu, mengapa pemerintah terus menambahnya? Jika melihat sejak awal pemerintahan Jokowi, pertumbuhan utang pemerintah dibalut justifikasi percepatan pembangunan infrastruktur (countercyclical), di mana anggaran negara tak sepenuhnya mampu menutupnya.
Alasan Jokowi dan rezim fiskal Sri Mulyani “hobi” bikin utang
Jadi, alasan pertama tentu saja karena rezim defisit budget yang dianut selama ini lantas diperlebar oleh pemerintah atas alasan pandemi. Dengan kata lain, belanja negara akan selalu lebih besar dibanding pendapatan, sehingga utang dijadikan penambalnya.
Terkadang, dalam kondisi tertentu di mana fluktuasi mata uang dianggap kurang menguntungkan untuk Indonesia, utang juga digunakan oleh pemerintah Jokowi untuk mendapatkan tambahan dolar. Tujuannya untuk mempertebal foreign exchange reserve national (devisa) dengan penerbitan surat utang berdenominasi dolar, agar rupiah tidak terlalu tepar.
Kedua, dalam perspektif utang, keuangan negara memang tidak sama dengan keuangan rumah tangga. Utang, bagi negara dan pemerintah, akan dihitung sebagai national income alias pendapatan. Artinya, pemerintah, terutama di bawah rezim fiskal Sri Mulyani, nampaknya memang sangat memahami peran utang untuk mencegah semakin memburuknya kondisi pertumbuhan ekonomi nasional.
Bisa dibayangkan berapa angka pertumbuhan yang diraih pemerintahan Jokowi sedari awal jika tidak ditopang oleh pertumbuhan utang yang sangat cepat. Boleh jadi, hanya sekitar 4 persen rata-rata atau malah lebih rendah lagi.
Ketiga, sebab lainya hampir mirip dengan kondisi di Jepang. Perbankan berperilaku kurang sinkron dengan ambisi pemerintah yang haus akan pertumbuhan dari sisi investasi.
Kewaspadaan lingkungan perbankan
Perbankan nasional terlihat sangat hati-hati alias tidak secara masif menggelontorkan kredit ke dunia investasi dan bisnis. Lihat saja, perbankan hanya mematuhi setengah dari kebijakan moneter Bank Indonesia. Perbankan cepat sekali menurunkan suku bunga deposito jika BI menurunkan tingkat suku bunga, tapi membiarkan suku bunga kredit menggantung tinggi di langit.
Suku bunga deposito berkisar 3 sampai 4 persen (yang akan habis disantap inflasi) sesuai batasan deposit interest facility dari BI. Sementara itu, suku bunga kredit membumbung di angka 8 hingga 13 persen.
Perilaku perbankan yang menetapkan selisih lebar antara suku bunga kredit dan deposito mengindikasikan bahwa perbankan memandang ekonomi nasional sedang dalam posisi yang cukup berbahaya alias tidak kondusif untuk kredit investasi. Jadi, sangat tidak aneh jika pertumbuhan kredit tidak terlalu agresif di saat pertumbuhan dana pihak ketiga yang justru sangat masif. Hayo, Pak Jokowi dan Ibu Sri Mulyani yang baik, kalian wajib waspada.
Saya menduga, inilah sebab lainya mengapa pemerintah tetap percaya diri meningkatkan eksposur utang. Ada berlimpah likuiditas di perbankan nasional yang gagal menjadi kredit alias gagal menjadi driver pertumbuhan ekonomi nasional akibat buruknya prospek ekonomi dan prospek investasi.
Lemahnya ekonomi nasional
Nampaknya, pihak perbankan sangat menyadari kelemahan ekonomi nasional yang belum menunjukan tanda-tanda positif untuk kredit investasi. Walhasil, secara tak langsung, kreditor pemerintah, mulai dari perbankan, dana pensiun, hedged fund, pengelola aset, dan lain-lain, malah mencari celah pendapatan dari dana pajak yang akan dibayarkan pemerintah atas nama yield (imbal hasil) surat utang. Paradoks memang.
Bagi perusahaan pun demikian. Apa yang bisa diharapkan dari ekonomi yang hanya tumbuh 4 persen, sementara bunga kredit 8 sampai 13 persen. Mau membayar bunga kredit pakai apa nantinya? Perbandingan pertumbuhan ekonomi yang rendah dan suku bunga kredit yang sangat tinggi ini menjadi fakta yang vulgar bahwa berinvestasi saat ini bukanlah pilihan yang masuk akal secara bisnis.
Dan saya menduga, inilah agaknya motivasi mengapa pemerintah Jokowi dan rezim fiskal Sri Mulyani mengguyur terus sistem keuangan nasional kita dengan surat utang negara. Ya tujuannya supaya tumpukan likuiditas tidak mangkrak alias tidak produktif di perbankan di satu sisi dan bisa ditransmisikan segera ke sektor riil via proyek-proyek infrastruktur pemerintah atau pembiayaan program-program sosial kemasyarakatan yang dibiayai utang negara di sisi lain.
Bukan tanpa resiko tentunya jika pertumbuhan utang yang agresif ternyata gagal ditransmisikan menjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sebagaimana yang kita alami hari ini, maka angka rasio utang terhadap PDB akan semakin membesar jauh meninggalkan rasio penerimaan pajak (tax ratio) yang bergerak lambat. Lalu yang terjadi kemudian adalah terus menambah utang untuk mencicil utang dan batas atas 60 persen PDB akan tersentuh (sebagaimana syarat konstitusionalnya), lalu pemerintah akan merevisinya. Pemerintah dan rakyat akhirnya sama-sama merugi.
Utang sebagai landasan
Jadi, tak ada cara lain bagi pemerintah Jokowi selain serius menjadikan tumpukan surat utang yang telah dilepas ke pasar keuangan sebagai landasan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi agar prospek investasi kembali cerah. Semakin stagnan perekonomian nasional, semakin kurang baik prospek investasi, perbankan pun justru semakin kikir, dan akhirnya pemerintah harus menambah utang untuk bisa tetap berbelanja (government spending) agar roda ekonomi nasional tidak mampet dan tidak terpuruk semakin dalam.
Jika pemerintah gagal menjadikan utang sebagai instrumen fiskal produktif untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, Indonesia akan seperti Jepang. Semua terjadi justru sebelum Indonesia menjadi negara maju, yakni perpaduan antara resesi dan stagnasi.
Rakyat yang (akan selalu) menanggung polah pemerintah
Inilah situasi yang kita alami hari ini. Gali lubang tutup lubang. Jokowi tetap senang karena mimpi infrastruktur dan Ibu kota barunya tetap jalan terus. Sri Mulyani juga tetap semringah karena secara fiskal, anggaran dianggap tetap sehat, meskipun harus menyakiti puluhan juta rakyat Indonesia.
Para kreditor (orang kaya via perbankan, lembaga investasi, dana pensiun, manager investasi, hedged fund, asuransi, dan lain-lain) pun tetap tersenyum simpul. Mereka tetap bisa tetap membeli surat utang pemerintah dengan bunga yang seksi. Sementara itu, bunganya dibayar pakai uang pajak yang dipungut dari tetesan keringat rakyat sendiri. Jadi inti ceritanya, gali lubang tutup lubang. Jokowi senang, Sri Mulyani semringah. Rakyat Indonesia terengah-engah. Lah dah lah!
BACA JUGA Kereta Cepat Jakarta Bandung: Ketika Jokowi dan Indonesia (Hampir) Tak Punya Daya Tawar dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Ronny P. Sasmita
Editor: Yamadipati Seno