[MOJOK.CO] “Pondasi Tol Becakayu roboh adalah kecelakaan infrastruktur yang kesekian. Kalau lihat bagaimana proyek dijalankan, wajar untuk menyalahkan Jokowi.”
Mendengar atau membaca nama “Becakayu”, tadinya saya kira itu semacam berita pemburu klik saja. Semacam polwan cantik atau tukang cendol bahenol dan semacamnya. Apalagi Pak Anies dan Mas Sandi kabarnya mau menghidupkan lagi becak di Ibu Kota. Tukang becak, cantik (ayu), dikasih pelatihan menggenjot pula sama Mas Sandi, ini pasti berita yang wow banget.
Begitu saya ikuti beritanya, ternyata Becakayu nama jalan tol. Mana beritanya buruk pula buat dunia konstruksi. Dan buat semua orang juga sih sebenarnya.
Sebenarnya, menjadi arsitek partikelir atau orang yang bergerak di bidang konstruksi, terus terang saja, hari-hari belakangan ini terasa begitu menyenangkan. Apalagi penyebabnya kalau bukan proyek yang bejibun banyaknya. Di bawah slogan “kerja, kerja, kerja” Pak Jokowi, saya pikir arsitek dan kontraktor—terutama yang pelat merah—sekarang ini adalah orang atau pihak paling bahagia kedua di Indonesia, di bawah Vicky Prasetyo.
Membangun—selain memberantas kemiskinan, menurunkan harga, dan membubarkan PKI, eh, membuka lapangan kerja—memang selalu jadi janji favorit para politikus. Jadi, profesi arsitek dan politikus memang punya hubungan simbiosis mutualisme. Selama ada politikus, arsitek tidak akan kekurangan kerjaan; selama ada arsitek, politikus bisa terus bikin janji. Mirip-mirip hubungan antara lautan dengan bujang lapuk: selama masih ada laut, mereka masih bisa berjanji akan menyeberanginya. Dan bukankah air mata kesepian kaum tuna asmara itu yang menjamin lautan akan tetap ada?
Soal politikus dan pembangunan itu, mantan perdana menteri Soviet yang nyentrik, Nikita Khrushchev, pernah bilang, “Politikus adalah orang yang bisa berjanji untuk membangun jembatan di tempat yang bahkan nggak ada sungainya.” Saya jadi kepikiran, politikus partai mana ya yang dulu pernah berjanji lalu betulan membangun jembatan penyeberangan? Dan seandainya Khrushchev masih hidup, beliau mungkin akan menambahkan, “Politikus itu juga adalah orang yang bisa berjanji akan membangun jalan tol di tempat yang di bawahnya air semua.”
Baiklah… baiklah. Tol laut itu bukan jalan tol di atas laut.
Tentang itu kita skip saja, saya nggak paham-paham amat perkara politik. Kalau arsitek lain mungkin paham soal utang negara yang membengkak karena jor-joran menggenjot proyek infrastruktur. Tapi, arsitek mana sih yang pernah nanya soal asal duit kepada kliennya? Sama seperti tukang yang tidak pernah bertanya dari mana uang orang yang memberinya pekerjaan, kok sampai bisa membangun rumah magrong-magrong. Kalau sampai nanya begitu, nggak jadi dapat proyeknya saja sudah untung, lha kalau sampai digampar sama yang punya rumah gimana?
Untunglah, soal utang negara yang membengkak gara-gara pembangunan infrastruktur itu sudah ada yang mikirin. Bukan, bukan Pak Jokowi, tapi Mas Tommy.
Pak Jokowi seharusnya mendengarkan petuah Mas Tommy soal pembangunan infrastruktur yang didanai dari utang, secara beliau kan yang paling tahu soal itu dibandingkan kita semua. Kebetulan ayahanda beliau yang dapat gelar Bapak Pembangunan Indonesia dan waktu itu—ini kata Mas Tommy sendiri lho ya—meninggalkan utang sebesar Rp54 triliun. Iya, itu duit semua dan kebanyakan orang harus mikir dulu untuk tahu jumlah nolnya.
Eits, nggak usah sensi dulu kalau Mas Tommy “mengajari” Pak Jokowi. Kayak kata Gus Dafi, sejak kapan dosa orangtua turun ke anak? Mas Tommy kan waktu itu cuma seorang putra dari seorang ayah. Kalau dulu dia mengkritik ayahnya sekeras beliau mengkritik Pak Jokowi, mau nggak dikasih uang jajan sama Pak Harto? Apa kata dunia kalau tahu anak presiden buat beli cilok saja harus pinjam duit temennya?
Balik lagi, yang juga membuat hidup arsitek partikelir dan pekerja konstruksi lainnya semakin menyenangkan adalah, kalau terjadi kegagalan konstruksi, yang disalahkan bukan perusahaan konstruksinya, tapi… siapa lagi kalau bukan Jokowi? Perusahaan konstruksinya pol mentok dikasih peringatan dan teguran. Tapi, apalah artinya itu. Orang kita aja yang ditegur secara halus (dengan cara di pilkada mengutip dalil kalau Tuhan suka yang ganjil, terus di pemilu berikutnya dapat nomor genap) suka nggak kerasa.
Kalau bisa saya sekalian mau usul, undang-undang tentang jasa konstruksi sebaiknya juga direvisi seperti Undang-Undang MD3 dan ditambahkan dua pasal lagi sebagai berikut.
- Arsitek partikelir bisa mengambil langkah hukum terhadap orang yang merendahkan kehormatan arsitek partikelir.
- Pemanggilan dan permintaan keterangan arsitek partikelir sehubungan dengan terjadinya bangunan roboh harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari MAKMU SALTO (Mahkamah Kehormatan dan Musyawarah untuk Struktur, Arsitek, Logistik, dan Tukang).
Memang rumit soal infrastruktur ini. Seandainya kalian membangun rumah, memilih tukang, memberinya target 3-4 bulan jadi, lalu terjadi kecelakaan kerja, apa iya kalian mau bertanggung jawab? Itu contoh sederhana saja.
Sayangnya, proyek sebesar Tol Becakayu tidak sesederhana itu. Di proyek seperti itu umumnya ada tiga konsultan: perencana, pelaksana, dan pelakor, eh maksud saya, pengawas. Kalau terjadi kegagalan konstruksi, salah satunya pasti bersalah. Tapi, karena kasus seperti di Becakayu itu terjadi ketika dilaksanakan, kemungkinan besar yang bersalah kalau bukan konsultan pelaksananya (kita menyebutnya kontraktor), ya konsultan pengawasnya.
Yang membuat semua ini rumit, kontraktor di Becakayu itu perusahaan pelat merah, pengawasannya tentu di bawah Kementerian BUMN. Konsultan pengawasnya semestinya di bawah atau ditunjuk oleh Dinas Pekerjaan Umum. Kementerian lagi. Dan keduanya berada di bawah presiden yang setahu saya sih bukan Pak Beye atau Pak Prabowo. Jadi, pihak yang menyalahkan Pak Jokowi bukan tanpa alasan kalau langsung menuding hidung beliau.
Masih mau yang lebih ruwet lagi? Investor di proyek Becakayu itu adalah perusahaan yang 60% sahamnya dimiliki oleh kontraktor yang mengerjakannya. Lha ini, kalaupun proyek itu ada pengawasnya, kan balik lagi kayak melaporkan kelakuan Pak Harto ke Mas Tommy. Mau nggak dikasih uang jajan?
Sampai di sini sebenarnya saya mau berhenti nulis dan nonton Angling Dharma saja….
Terakhir, yang bikin hidup arsitek dan pekerja konstruksi terasa lebih menyenangkan belakangan ini adalah kalau pekerjaannya sudah selesai, proyeknya jadi, lalu dirusak oleh penggunanya. Karena buat arsitek itu cuma berarti satu hal. Yak, Anda benar! Proyek lagi.
Seratus lima puluh juta untuk memperbaiki kerusakan di Stadion GBK, stadion tempat Pak Anies pernah ditolak paspampres itu, bisa dibilang besar, bisa dibilang kecil. Tergantung siapa yang memandangnya. Buat anak kos yang kalau kelaperan tengah malam cukup dipuaskan dengan mi instan, ya besar; kalau buat arsitek partikelir kayak saya, lumayan, bisa jadi rumah tipe 36; tapi kalau di hadapan Bu Dendy, jelas duit segitu nggak ada apa-apanya.