Satu hari sebelum Yesus disalib, para muridnya berkumpul untuk mencari cara membahagiakan gurunya. Mereka berkesimpulan bahwa karena gurunya masih perjaka, baiknya sang Guru merasakan kenikmatan seksual. Maka mereka memanggil Maria Magdalena untuk memberi kenikmatan itu kepada Yesus.
Masuklah Maria ke tenda Yesus. Beberapa menit kemudian terdengar teriakan dari dalam, lalu Maria keluar sambil menangis. Para murid Yesus bertanya, “Ada apa Maria?” Sambil menangis, Maria menjawab, “Aku masuk ke tendanya, melepas pakaian, dan kubuka selangkanganku. Ia bilang, ‘Aih, luka apa ini? Kasihan sekali kau.’ Lantas ia menyentuh vaginaku, dan seketika itu juga aku kembali perawan!”
Lelucon itu berasal dari obrolan santai umat Kristen di Palestina, dan saya mendengarnya dalam kuliah umum Slavoj Žižek di Washington DC, juga dalam buku Kumpulan Lelucon Žižek. Pelajaran moral terbesar dari lelucon itu adalah, “Hati-hati ketika berbuat kebaikan, yang kau coba perbaiki bisa jadi tidak ingin kau perbaiki.”
Berkaitan dengan wacana kunjungan Jokowi ke Bukit Suban, Jambi, saya pikir ada tiga pihak yang perlu mendengarkan lelucon ini: Netizen Senewen, Kritikus Romantis dan Pemerintah Latah.
Jokowi mengunjungi Orang Rimba yang tidak lagi di rimba, tapi di perkebunan sawit yang pernah jadi rumah mereka. Berita mengenai kunjungan itu dibungkus oleh beberapa wartawan (sebagian di antaranya maling bodrex alias bikin sakit kepala), dan dimakan mentah-mentah oleh para Netizen Senewen. Senewen di sini artinya hilang akal, atau agak gila. Gimana nggak gila? Beritanya “Presiden menawarkan rumah ke Suku Anak Dalam,” interpretasinya cuma dua: cinta (bagus itu, presiden kita baik hati) atau benci (pencitraan! Fotonya Hoax!).
Saya yakin kebanyakan mereka tak tahu siapa Orang Rimba, seperti mereka tak tahu bahwa kebanyakan etnis dan bahasa di Indonesia ada di Papua (466 etnis)—yang dieksploitasi gila-gilaan sampai hari ini.
Netizen senewen tidak berpikir ketika pemerintah yang didukungnya salah atau benar, yang penting egonya sendiri. Mereka dengan santai menandatangani petisi pro-kebencian atau menyebarkan hoax, padahal sebenarnya sangat tahu apa konsekuensinya. Informasi diproses seperti sperma dalam pembuahan: dari ribuan, hanya satu atau malah nol yang jadi pemikiran. Lebih parah lagi kalau mereka sudah pake kondom agama atau ideologi, biasanya malah nggak ada yang dipikirkan. Semua fakta dan argumen mental, jadi banal.
Maraknya Netizen Senewen ini diperparah dengan pemerintahan Jokowi yang latah dalam banyak hal, khususnya tiga yang penting:
Pertama, dalam hal janji-janji. Ada 63 janji yang realisasinya hanya fokus ke pembangunan infrastruktur dan kemudahan investasi gila-gilaan. Sisanya, seperti pembangunan manusia (termasuk HAM) dan kebudayaan, dipinggirkan dulu. Samalah nasibnya seperti Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan yang hingga detik ini entah apa tugas dan terobosannya selain jadi princess. Gosipnya Halloween kemarin dia ikut Presiden ke Amerika untuk minta permen pake kostum Elsa. Trick or Treat!
Kedua, latah ambil tindakan. Pagi hari Menteri Kehutanan bilang korporat pembakaran hutan tidak akan dibuka untuk publik, siangnya Menkopolkam bilang akan dibuka, dan sorenya diralat lagi tidak boleh dibuka. Kalau ini ibarat operasi, kita bisa sebut ini rezim malpraktek. Badan orang dibelek, kanker keliatan, terus ditutup lagi tanpa mengambil penyakitnya. Busuklah badan orang.
Ketiga, latah kebijakan. Ini penyakit yang sudah menjangkit dari awal rezim ini terpilih. 70 tahun Indonesia merdeka, Jokowi adalah presiden pertama yang sampai ke kediaman Orang Rimba yang rumahnya sudah jadi Kebun Sawit—terlambat 30 tahun. Baru kenal dan bicara sedikit, tiba-tiba menawarkan rumah sepetak untuk mengganti rumah maha luas bernama hutan. Apa namanya kalau bukan latah? Sales rumah, mungkin?
Lalu yang paling bikin saya galau adalah Kritikus Romantis. Ini kritikus-kritikus sentimentalis dan emotive (kebanyakan pakai emosi), berapi-api, bikin banyak orang ikutan emosi, sampai lupa apa inti pembicaraannya. Ketika umur saya dua puluhan awal, saya juga sering romantis begitu. Lumayan, nambah mantan. Tapi hari ini, dan dalam konteks ini, saya harus mengkritik para Kritikus Romantis ini (termasuk diri saya zaman dulu). Kritik romantis boleh saja, tapi jangan seperti Netizen Senewen atau Pemerintah Latah yang suka lupa substansi.
Misalnya status Facebook Arman Dhani, tulisan Andre Barahamin dan Roy Thaniago di Geotimes. Ketiganya menyalahkan dengan beringas kebijakan pemerintah yang pro-korporasi. Mereka termasuk juga menyebarluaskan kabar bahwa ada 11 Orang Rimba mati kelaparan, dari sumber data yang masih dipermasalahkan. Tuntutan dari kritik-kritik ini antara lain mengembalikan hutan ulayat, konservasi, sampai mencabut izin dan menangkap korporasi bandel.
Tak ada yang bicara bahwa, selain pemerintah dan korporasi, konservasi hutan juga menyingkirkan Orang Rimba dari hutan. Ini karena definisi konservasi di pusat dan beberapa LSM adalah: hutan steril dari manusia dan eksploitasi. Akhirnya yang sudah ratusan tahun tinggal di hutan pun ikut terusir ke luar, atau dikarantina ke dalam seperti hewan di Taman Safari.
Tulisan Dandhy Laksono sejauh ini adalah yang paling mutakhir. Dia memaparkan bahwa kebijakan-kebijakan menyangkut Orang Rimba tidak pernah diputuskan oleh Orang Rimba sendiri. Mereka dijadikan bahan pertimbangan yang pasif, dianggap seperti pohon yang tak sejalan dengan industri monokultur, dan akhirnya terjepit di antara konsesi-konversi hutan atau karantina konservasi Taman Nasional.
Buat saya, yang terpenting hari ini bukanlah mencari siapa yang salah, tapi menajamkan kritik dan tuntutan. Mengutip Butet Manurung, yang Orang Rimba butuhkan adalah:
“…JAMINAN HAK atas (1) Lahan (baik hutan atau sudah tidak hutan lagi – perlu diketahui, setiap kelompok Orang Rimba walau noma dik, punya teritori, histori dan ikatan kosmologi sendiri-sendiri, jadi tidak bisa asal direlokasi) dan (2) Informed Decision (jaminan mendapatkan informasi yang benar atas pembangunan yang menyangkut mereka, dilibatkan dan berkuasa dalam menentukan keputusan).”
Sebelum bicara soal nasib orang, pertama-tama kita harus menganggap mereka manusia yang sama seperti kita. Manusia yang punya akal, bahasa, dan kebudayaan. Darahnya sama merah. Dicerabut dan digusur bisa marah. Sama yang asing takut, tapi kalau sudah kenal bisa sangat bersahabat.
Sebelum kita panas-panasan membahas Orang Rimba yang tidak kita kenal baik, mestinya masing-masing kita saling kenalan dulu. Kritikus Romantis kenalan sama Netizen Senewen dan Pemerintah Latah, yang saya yakin kebanyakan butuh bantuan intelektual untuk membedakan Antropologi (ilmu soal manusia) dan Arkeologi (ilmu soal artefak). Netizen senewen kudu mengurangi senewennya sedikit dengan piknik dan ngobrol yang asik tanpa sedikit-sedikit membela diri takut dibilang tolol. Setelah kenal dan bisa berdiskusi, baru kita omong bagaimana cara mendorong komunikasi dua arah dengan Orang Rimba.
Susah lho membuat Pemerintah untuk turun lapangan dan kenalan sungguhan (masuk hutan betulan, bukan berkebun). Tulisan saya ini saja akan lebih dulu dibaca NSA Amerika Serikat, sementara pemerintah Indonesia akan lebih sibuk mencari dan menghabiskan uang proyek buat bikin infrastruktur, serta mewujudkan impian Menteri Pertahanan untuk mempraktikkan Bela Saphira Negara.