Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Joglo Jadi Nama Rumah Tradisional Jawa Itu Salah, tapi Nggak Salah-salah Banget

Eko Puji Jatmiko oleh Eko Puji Jatmiko
22 Februari 2021
A A
Joglo Jadi Nama Rumah Tradisional Jawa Itu Salah, tapi Nggak Salah-salah Banget mojok.co

Joglo Jadi Nama Rumah Tradisional Jawa Itu Salah, tapi Nggak Salah-salah Banget mojok.co

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Disebut salah karena rumah tradisional Jawa bukan cuma joglo. Tapi bisa dirasionalisasi lah kenapa akhirnya joglo ini yang populer.

Meski bukan pengikut, saya sering membaca twit-twit peneliti di Museum Ullen Sentalu, Yogyakarta: Mas Yosef Kelik. Kicauannya tentang sejarah yang kerap mencerahkan membuat saya jadi semacam secret admirer-nya. Jadi harap dimaklumi, di malam Minggu nan gabut ini Ketika tulisan ini dibuat, saya rela begadang dan nekat mengirimkan tulisan ini ke Mojok karena tergelitik dengan pinned tweet Mas Yosef Kelik pada 16 Februari lalu. Utas itu berjudul: “096 UTAS BUDAYA, Benarkah Joglo Adalah Rumah Tradisional Jawa?”.

Sedangkal bacaan saya dari utas tersebut, Mas Kelik menggugat kebiasaan orang menyebut joglo sebagai nama rumah tradisional Jawa. Setelah menerangkan dengan sangat sederhana komponen penyusun rumah Jawa, ia mengajukan ndalem atau griya sebagai jawaban yang lebih tepat untuk pertanyaan, “Apa nama rumah tradisional Jawa?”

Saya sepakat sih sama Mas Kelik. Menyebut rumah tradisional Jawa sebagai “joglo” saja memang simplifikasi yang sudah kadung lazim diterima. Tapi, menurut saya, anggapan itu pun tidak salah-salah banget.

Sebagaimana Mas Kelik sampaikan di utasnya, bangunan joglo tampak menonjol dari kediaman seseorang karena posisinya yang menempati bagian muka. Alhasil, itulah yang diingat generasi sekarang tentang rumah tradisional yang kian punah ragamnya itu. Sama halnya saat kita lebih ingat nama vokalis atau frontman sebuah grup musik dibanding, misal, nama drumernya. Dan bukankah selalu begitu bacaan kita tentang masa lalu? Mencatat peristiwa-peristiwa besar saja dan mengingat hanya yang perlu alias golek gampange.

Nah sekarang, jika salah kaprah ini harus “diluruskan”, apakah ndalem atau griya menjadi pilihan tepat? Bagian ini yang saya kurang sepakat.

Konon, strata bahasa Jawa yang dibagi menjadi ngoko, krama madya, krama alus baru terjadi kemudian. Pada awalnya, orang Jawa menyebut rumah dengan omah. Begitu berartinya rumah dalam dunia Jawa yang penuh pasemon (pralambang), dari kata omah ini kemudian lahir antara lain istilah omah-omah (pernikahan) dan semah (istri). Pada perkembangannya, ketika orang Jawa mulai mengenal strata bahasa, penyebutan omah ini diperhalus menjadi griya (krama madya) dan ndalem (krama alus). Dalam kaidahnya, pemakaian krama madya dan krama alus ini ditujukan kepada orang yang lebih tua atau dihormati.

Sebagai priayi Jogja, mungkin Mas Kelik merujuk kompleks ndalem para pangeran yang ada di seputaran Kraton hingga sampai pada simpulan bahwa ndalem atau griya adalah sebutan yang lebih pas untuk menyebut rumah dalam bahasa Jawa.

Ndalem pangeran ini, lazimnya, dinamai sesuai nama pangeran pemrakarsa pembangunan atau yang menempatinya. Kalau di Jogja, ada semisal Ndalem Mangkubumen, Ndalem Notoprajan, Ndalem Yudaningratan, dan lainnya.

Ndalem memang terdiri dari beberapa bangunan. Sebab, yang disebut ndalem pangeran ini bukan bangunan tunggal, melainkan kompleks rumah dengan batas dinding pagar (cepuri/pager bumi) yang jelas. Luasnya antara 2.000 hingga 10.000 meter persegi. Cukup untuk bikin cluster kecil-kecilan masa kini.

Selain dibatasi cepuri, ndalem juga dilengkapi regol (gapura), pendapa, pringgitan (ruang antara pendapa dan ndalem), ndalem, gandhok (paviliun), dan pawon (dapur) yang terpisah dari ndalem itu sendiri. Bahkan ada ndalem yang dilengkapi langgar (musala) serta halaman-halaman yang luas.

Pendapa adalah bangunan terdepan dalam kompleks ndalem pangeran. Terbuka, tanpa dinding, hanya tiang-tiang menyangga atap joglonya. Di Kraton, selain pendapa ada bangunan tanpa dinding yang disebut tratag, namun atapnya bukan joglo. Jadi sebenarnya, joglo adalah jenis model penutup atapnya.

Nyambung di belakang pendapa ada ndalem. Rumah utama atau inti, tempat tinggal keseharian. Ruang antara ndalem dan pendapa adalah pringgitan, semacam teras terbuka yang pada masa lalu jadi tempat mengadakan pertunjukan wayang. Saat dolan ke Kraton Mangkunegaran, rumah inti ini—yang telah beralih fungsi jadi museum—oleh pemandu disebut “Ndalem Ageng”. Mungkin dari sebutan ndalem untuk rumah inti ini pula Mas Kelik menyandarkan simpulannya.

Konon kedua, sesuai falsafah hidup “urip mung mampir ngombe” alias hidup hanya mampir minum, rumah bagi orang Jawa lebih bermakna sebagai tempat berteduh, bukan tempat berlindung. Dalam arsitekturnya, konsepsi peneduh atau penaung ini diekspresikan dalam bentuk penutup atap (empyak/payon).

Iklan

Itulah mengapa, pada zamannya, mbah-mbah buyut kita mengeksplorasi betul bentuk atap rumah hingga terdapat banyak varian, seperti tajug, joglo (dari kata tajug loro), limasan, panggang pe, kampung atau bekuk lulang (atap pelana), dan masih banyak lagi.

Tak seperti kita saat ini yang menyebut rumah dengan rumah minimalis, industrial, dan seterusnya, menurut saya, konsepsi berteduh itu juga yang menciptakan kebiasaan rumah Jawa disebut dengan model bentuk atapnya. Ya itu tadi, rumah joglo, rumah limasan, rumah kampung, dan lain sebagainya.

Akhirul kalam, setelah begadang semalam suntuk, saya rasa rekomendasi nama rumah tradisional Jawa adalah ndalem atau griya kurang tepat. Sebab, ini seperti menjawah “Apa nama rumah tradisional Jawa?” dengan “rumah”. Kira-kira sensasinya seperti menjawab “bahasa” Ketika dapat pertanyaan “Apa bahasa nasional negara Indonesia?”

Alhasil, jika kelak dapat pertanyaan, apa sih nama rumah tradisional Jawa? Jika kita disuguhi jawaban, tajug, joglo, atau limasan, jawabannya adalah: semua benar. Hahaha.

BACA JUGA Curahan Hati Arsitek Gara-Gara Masjid Al-Safar Dituduh Iluminati dan esai-esai menarik lainnya di Mojok.co.

Terakhir diperbarui pada 22 Februari 2021 oleh

Tags: arsitekturgriyajawajoglondalemrumah tradisionalsuku jawa
Eko Puji Jatmiko

Eko Puji Jatmiko

Karyawan perusahaan konstruksi yang tetap menyimpan impian jadi penulis.

Artikel Terkait

Cerita Kebiasaan Orang Jawa yang Bikin Kaget Calon Pendeta MOJOK.CO
Esai

Cerita Calon Pendeta yang Kaget Diminta Mendoakan Motor Baru: Antara Heran dan Berusaha Memahami Kebiasaan Orang Jawa

21 November 2025
Bahasa Jawa harus dipelajari Gen Z. MOJOK.CO
Ragam

Cara Menjadi Jawa Seutuhnya dengan Mengilhami Bahasa, Tanpa Mencampurnya Jadi “Jawindo” dan Bahasa Slang ala Gen Z

24 Oktober 2025
Aksara jawa. MOJOK.CO
Ragam

Aksara Jawa Bukan Sekadar Mantra Berbau Klenik, Bisa Menyelamatkan Hidup jika Dipahami Secara Sains

23 Oktober 2025
The Greatest Estate Developer, Manhwa Terbaik Sepanjang Masa, Solo Leveling Nggak Ada Seujung Kukunya!
Pojokan

The Greatest Estate Developer, Manhwa Terbaik Sepanjang Masa, Solo Leveling Nggak Ada Seujung Kukunya!

4 Oktober 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
banjir sumatera. MOJOK.CO

Bencana di Sumatra: Pengakuan Ayah yang Menjarah Mie Instan di Alfamart untuk Tiga Orang Anaknya

1 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Bakpia Mojok.co

Sentra Bakpia di Ngampilan Siap Jadi Malioboro Kedua

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Banjir sumatra, Nestapa Tinggal di Gayo Lues, Aceh. Hidup Waswas Menanti Bencana. MOJOK.CO

Tragedi Sumatra Timbulkan Trauma: “Saya Belum Pernah Lihat Gayo Lues Seporak-poranda ini bahkan Saat Tsunami Aceh”

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.