Bayangkan skema ini: sebutlah sebuah hotel seharga 10 miliar. Hotel tersebut dibeli oleh koruptor. Setahun kemudian, harga hotel itu meroket jadi 15 miliar. Akhirnya hotel itu dijual. Apakah koruptor tadi untung 5 miliar? Tidak! Dia untung 15 miliar.
Nah, seperti itulah perkiraan pencucian uang di Jogja. Dengan harga properti yang terus naik tanpa peduli pandemi, maka daerah ini istimewa untuk cuci uang. Dengan bermain pembukuan dan transaksi, uang haram hasil korupsi disulap menjadi properti legal. Tapi karena pertumbuhannya menjanjikan, tidak sulit untuk menjual properti panas tersebut.
Selamat pagi Warga.
Monggo halaman 1 koran Harian Jogja edisi hari ini, Kamis 9 Maret 2023. Selamat membaca berita yang kami sajikan.
Selamat menjalani hari dan sukses untuk karya Anda hari ini. #harianjogja pic.twitter.com/wN18ilkWj9
— Harian Jogja (@Harian_Jogja) March 8, 2023
Apalagi Jogja terus menggenjot sektor pariwisata. Jadi properti tadi bisa menguntungkan tanpa harus dijual. Misal hotel, tentu akan ikut profit dengan pertumbuhan pariwisata. Sedangkan untuk properti hunian pribadi, tetap diuntungkan pariwisata. Makin banyak wisatawan, makin banyak yang tergoda punya rumah di Jogja. Dan bagi mereka yang punya cukup dana, properti Jogja masih terjangkau. Apalagi properti hasil cuci uang. Easy money!
Bagaimana dengan warga lokal? Ya hanya makin meringis. Lha wong pertumbuhan upahnya cuma sekian ratus ribu. Sedangkan harga properti bisa naik lebih cepat dalam hitungan tahun. Jadi lumrah kalau bilang warga Jogja susah cari rumah. Anda sudah melihat realitanya. Dan Cuma bisa bilang “ASU!”
Bahagia semu warga Jogja
Sialnya, warga Jogja tidak sadar dengan fenomena ini. Atau lebih tepatnya, tidak peduli. Toh mereka merasa diuntungkan oleh pertumbuhan properti ini. Tanpa sadar kalau kenaikan harga properti makin tidak masuk akal dan makin tidak terjangkau.
Rumah dan sawah terjual demi harga yang tinggi. Namun mereka lupa kalau harga properti lain ikut naik. Sampai pada titik di mana hasil jual properti mereka sudah tidak berharga di Jogja. Mungkin hal ini tidak terasa bagi mereka yang punya belasan properti. Lha kalau mereka yang merelakan tanah warisan dijual? Anda akan sering menemukan para kontraktor (baca: orang yang ngontrak rumah) berawal dari jual tanah warisan demi uang besar dalam waktu singkat.
Tapi tidak usah bicara sense of belonging. Lha wong cuma ini yang bisa dilakukan warga Jogja. Kalau tidak jual tanah, kapan lagi bisa dapat uang besar? Dari kerja? Kerjaanmu yang gajinya sepertiga gaji karyawan Jakarta?
Koruptor menari di atas ketimpangan
Tapi bukan hanya koruptor saja yang bertanggung jawab atas fenomena ini. Tapi bukan berarti mereka tidak berperan nyata. Harga properti yang makin ugal-ugalan ini membahagiakan para bajingan ini. Membuat mereka menari di atas bangkai orang yang kesulitan mencari tempat tinggal. Inilah yang disebut gentrifikasi!
Gentrifikasi itu nyata. Dan mengakibatkan ketimpangan sosial yang sama nyatanya. Proses migrasi kelompok masyarakat ekonomi atas ke daerah ekonomi bawah tidak akan membawa dampak baik. Tapi malah makin melebarkan jurang sosial. Mereka yang kaya makin diuntungkan, dan yang miskin makin kehilangan buying power.
Buktinya, banyak koruptor yang memiliki aset di Jogja. Mereka memanfaatkan dana haram demi menguasai properti daerah istimewa. Dan seperti yang saya bilang, tinggal menunggu waktu saja sampai satu per satu terungkap. Entah oleh kinerja KPK, atau kemuakan masyarakat.
Namun satu yang pasti, Jogja sudah laku. Sold out! Dibeli investor dan pemilik kapital. Dan juga dibeli mereka yang mencuri uang Anda. Jadi silakan tetap telaten untuk bahagia dalam kemiskinan. Tetap narimo ing pandum. Biarkan Jogja terus ramah bagi mereka yang menyengsarakan Anda!
BACA JUGA Jogja Adalah Kota Paling Sakit di Dunia dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.
Penulis: Dimas Prabu Yudianto
Editor: Yamadipati Seno