Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Jogja Memang Sakit, Tawuran Pelajar Disambut “Bahagia” Setelah Lelah Diteror Kekerasan Jalanan Bernama Klitih

Gusti Aditya oleh Gusti Aditya
17 Mei 2024
A A
Jogja Sakit: Bersama Klitih, Tawuran Pelajar Bersemi Kembali MOJOK.CO

Ilustrasi Jogja Sakit: Bersama Klitih, Tawuran Pelajar Bersemi Kembali. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Mengapa warga Jogja akrab dengan kekerasan jalanan?

Sekitar tahun 1970an, Jogja dipenuhi geng-geng sepeda yang memenuhi Alun-Alun Lor memamerkan sepeda-sepeda hasil modifnya. Klitih masih istilah untuk mereka keluyuran cari angin. Kekerasan dilakukan secara sportif (baku hantam sesuai persetujuan dan ditutup dengan jabat tangan sebagai tanda kekalahan atau kemenangan).

Seketika, awan gelap menggantung di langit Jogja. Orba membawa badai mengerikan bernama Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK). kita mengenalnya sebagai “petrus” dalam skala nasional dan kota ini tak pernah sama lagi.

Ketika para gali meregang nyawa di jalanan dengan batok kepala bolong diterjang timah panas, lalu dikarungi, dan dibuang di jalanan, Jogja bak menanggung dosa jahanam. Dosa yang diwariskan untuk para generasi selanjutnya.

Geng-geng kenamaan, Joxzin dan Q-Zruh, muncul. Dengan cepat mereka berubah haluan kepada ranah politik, geng-geng berbasis di kampung seperti Ghe-Max dan Humoriezt masuk menggantikan.

Rezim otoriter itu karam dihantam masa dan massa. Aturan dilarang membentuk organisasi di lingkungan sekolah selain OSIS, secara otomatis hilang. Banyak geng sekolah terbentuk di masa peralihan rezim ini. Tawuran mulai marak terjadi.

Benang merah antara tawuran dan peralihan kata klitih menjadi negatif itu berbeda sama sekali. Memang didominasi oleh anak-anak sekolah, namun hal ini berkaitan erat dengan peran orang dewasa di dalamnya. Tak ada afiliasi secara langsung antara klitih dengan geng sekolah. Mereka membentuk pola yang benar-benar baru lagi.

Hari-hari yang mengerikan seperti ini, klitih mulai bergeser menjadi nggolek getih (mencari darah). Padahal, tidak usah dicari, sejak dulu Jogja sudah bersimbah getih.

Jangan lagi menggunakan istilah klitih?

Kepolisian DIY meminta jangan lagi menggunakan istilah klitih. Dirreskrimum Polda DIY Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi kepada CNN mengatakan bahwa klitih adalah istilah lokal. “Karena salah kaprah,” katanya.

Tentu saja saya setuju. Sekarang, istilah klitih menjadi amat luas. Penyerangan dalam bentuk apa saja terkadang disebut dengan klitih. Misalnya, anak sekolah menyerang sekolah lain, padahal namanya nggropyok, jadi klitih. Anak sekolah yang menghentikan secara paksa motor anak sekolah ini, padahal itu namanya nge-drop, malah disebut klitih.

Dampak lainnya tidak boleh lagi menggunakan istilah klitih tentu saja membuka koreng yang lain. Bahwa di Jogja banyak sekali istilah subkultur dalam ranah kekerasan jalanan. Tawuran saja melahirkan banyak subkultur di Jogja seperti konvoi, vandal, nge-drop, nggropyok, dan lainnya.

Mengganti istilah atau langkah jangka pendek seperti membatasi ruang gerak anak muda, itu hanya memindah titik api belaka. Agresivitas anak muda itu meluap-luap, jika tak diluberkan sekalian, maka tampungannya akan meledak suatu ketika. Kejadian 14 Mei kemarin adalah salah satu bentuk luberan agresivitas yang tak mampu ditampung lagi.

Mengingat apa kata orang di media sosial, “Jogja kembali pada marwahnya (tawuran pelajar),” membuat saya menggigil ketakutan. Adakah ruang aman untuk hidup dan tinggal di kota ini ketika pemerintah terbilang lambat menangani dan kepolisian sibuk dengan diksi dan kata? 

Jogja mengalami bab yang lain lagi, bab antara getih dan klitih.

Penulis: Gusti Aditya

Iklan

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Menelusuri Akar Klitih di Jogja dan analisis menarik lainnya di rubrik ESAI.

Halaman 2 dari 2
Prev12

Terakhir diperbarui pada 17 Mei 2024 oleh

Tags: Jogjakekerasan jalananklitihpetrustawuran pelajar
Gusti Aditya

Gusti Aditya

Bercita-cita menjadi pelatih Nankatsu. Mahasiswa filsafat.

Artikel Terkait

Warung makan gratis buat Mahasiswa Asal Sumatra yang Kuliah di Jogja. MOJOK.CO
Liputan

5 Warung Makan di Jogja yang Gratiskan Makanan untuk Mahasiswa Rantau Asal Sumatra Akibat Bencana

4 Desember 2025
Pelaku UMKM di sekitar Prambanan mengikuti pelatihan. MOJOK.CO
Ekonomi

Senyum Pelaku UMKM di Sekitar Candi Prambanan Saat Belajar Bareng di Pelatihan IDM, Berharap Bisa Naik Kelas dan Berkontribusi Lebih

3 Desember 2025
Gen Z fresh graduate lulusan UGM pilih bisnis jualan keris dan barang antik di Jogja MOJOK.CO
Ragam

Gen Z Lulusan UGM Pilih Jualan Keris, Tepis Gengsi dari Kesan Kuno dan Kerja Kantoran karena Omzet Puluhan Juta

2 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO
Liputan

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Kuliah Jurusan Pendidikan Bahasa Mandarin di Unesa. MOJOK.CO

Sulitnya Masuk Jurusan Bahasa Mandarin Unesa, Terbayar usai Lulus dan Kerja di Perusahaan Tiongkok

3 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

Wonogiri Bukanlah Anak Tiri Surakarta, Kami Sama dan Punya Harga Diri yang Patut Dijaga

1 Desember 2025
banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.