Seleksi tes CPNS baru-baru ini meninggalkan cerita menarik, kalau nggak mau dibilang aneh, yaitu ditemukan benda-benda aneh yang diduga jimat dari para peserta calon PNS. Akun Twitter Badan Kepegawaian Negara (BKN) 26 September lalu mem-posting benda-benda nyeleneh tersebut. Bentuknya macam-macam, ada yang berupa batu tiga biji dibungkus uang 10 ribu, benda seperti buah yang ditusuk pakai peniti, cincin, sampai kain putih yang mirip kafan.
Ditemukannya barang-barang ini terang saja menuai reaksi beragam dari warganet macam kita. Maklum, sebagai warganet muda yang cerdas, kelas menengah ngehek, pengikut perkembangan jaman now, dan mendaku diri rasional, apa yang dilakukan oleh para calon PNS-PNS itu sangat bertentangan dengan asas-asas Pancasila, terutama sila ketujuh. Ini berbahaya, tidak bisa dibiarkan begitu saja.
Sebab, bagaimana bisa kita membiarkan negara ini dikelola oleh para pegawai yang seleksi masuknya dibantu dengan barang gaib? Apalagi pakai jin. Iya kalau jinnya jin Islam, warga pribumi, dan pancasilais, lha kalau jinnya antek aseng? Punya garis keturunan kuminis? Atau bahkan kuminis itu sendiri? Kan berbahaya. Sudah kuminis, jin lagi.
Sayangnya, jimat-jimat yang dibawa oleh para peserta tes disita. Tentu saja hal ini karena menurut peraturan, barang yang tidak ada hubungannya dengan ujian dilarang dibawa masuk, termasuk uang 10 ribu dengan batu tiga biji di dalamnya.
Penggunaan jimat seperti ini memang sudah jadi realitas sosial. Sudah lumrah. Bahkan tidak hanya CPNS, kalau mau niat dicek, bahkan Ujian Akhir Nasional yang dulu masih ada batasan kelulusan itu juga saya yakin pasti ada kok yang pakai jimat. Bahkan bukan tidak mungkin seleksi masuk ke universitas-universitas negeri dengan reputasi mentereng tidak luput dengan aksi semacam ini.
Kok bisa gitu?
Ya bisa saja, lha wong sejak awal negara ini bisa merdeka salah satu alasannya karena para pejuang juga menggunakan jimat dalam pertempuran mereka melawan penjajah. Kalau situ baca-baca literatur soal relasi antara jimat dengan beberapa pertempuran di Hindia Belanda, misalnya Pertempuran Surabaya (1985) atau Guruku Orang-Orang Pesantren (2001), bahkan beberapa jimat (di buku sih ditulis berkah) itu dibikin sendiri oleh Mbah Kiai Hasyim Asy’ari, mbahurekso-nya Nahdlatul Ulama. NU yang itu, Cok. Wah apa nggak syerem?
Pondok Pesantren Tebuireng pada era itu adalah salah satu tempat ngecas (iya, beneran kayak ngecas hape) bagi para pejuang untuk mengisi ajian-ajian saktinya. Konon, saking yakinnya dengan kekuatan ajian sakti itu, para pejuang yang sudah ngecas itu bisa nekat nyegat tank-tank Inggris buat memasukkan granat ke dalam tank saat pertempuran 10 November yang legendaris itu.
Yakin deh kalau masih ada begituan, tentara kita enggak perlu beli alutsista mahal-mahal, cukup minum air doa. Bisa hemat berapa triliun APBN kita? Daripada mau diaudit BPK aja ketar-ketir gitu, mending pengadaan air doa saja, Jendral … galonnya bisa dianter kok.
Memang benar sih, di dunia pesantren, ajian-ajian semacam itu masih laku (perkara ampuh atau tidak, saya tidak tahu). Tidak cuma aji kuat untuk lawan tanding, tapi bahkan juga untuk ujian. Jimat yang dipakai di tes CPNS situ bilang luwar biyasa? Heleh, itu mah cuma sedotan Okky Jelly Drink jika dibandingkan praktik yang dilakukan di pesantren-pesantren. Termasuk pesantren tempat saya dulu belajar ngaji.
Jika di tes CPNS para pengawas langsung main sita begitu mendapat barang-barang yang mereka duga jimat, cih, jika itu ketahuan oleh salah satu guru saya, para pengawas itu bakal diketawain. Amatiran itu. Cupu.
Lha piye, guru saya ini punya ajian sakti yang bikin setiap peserta ujian nggak bakal bisa nyontek. Jika blio ini masuk ruang ujian, sudah pasti akan ada suara yang muncul dari peserta ujian, “Halaaah, Kang Subhan lagi yang jaga …,” seolah sudah yakin segala macam rencana contekan pada saat itu akan gagal semua.
Reputasi guru saya ini sudah dikenal oleh semua santri sebagai ahlinya nangkap santri yang nyontek saat ujian. Caranya sih saya nggak tahu. Yang jelas, ketika ujian dimulai, guru saya ini akan tidur di kursi pengawasnya. Seolah tidak peduli akan kegusaran santri-santri di depannya. Begitu ada yang buka contekan … satset, dia mendadak akan bangun dari tidurnya. Mendatangi si santri. Tanpa babibu langsung menyita bahan contekan. Jika zaman segitu serial Game of Thrones udah ada, sudah pasti blio bakal dipanggil Kang Brandon Stark.
Jadi, jika di tes CPNS para peserta yang bawa jimat itu kalian anggap aneh, di pondok saya dulu justru pengawasnya yang pakai klenik buat membongkar hal-hal rasional (eh, nyontek itu rasional nggak sih?).
Menurut hemat saya, justru dengan menggunakan jimat, para peserta tes ujian CPNS ini menunjukkan memori kolektif masyarakat sejak zaman dulu. Memori kolektif yang sudah tertanam karena sistem yang dikenal memang seperti itu. Kalau nggak pakai apa-apa buat masuk jadi PNS, itu sama aja bohong. Bak menggarami lautan atau nambahi micin kuah bakso. Ramashok.
Mindset masuk jadi PNS itu adalah tentang tarung kekuatan masing-masing ajian. Meski sekarang sudah ada yang berubah, tapi citra ini nggak bisa hilang begitu saja. Dengan pandangan bahwa menjadi PNS adalah satu-satunya cara untuk lepas dari lingkaran kemiskinan, pada akhirnya jimat yang sesuai bajet pun dipilih.
Buat calon PNS yang pakai jimat uang 10 ribu sebagai bungkus, barangkali dia sebenarnya juga yakin kalau itu kurang ampuh. Sebab, kalau dia mampu, dia juga pasti tahu jimat 100 juta di dalem bungkus jauh lebih ampuh.
Ya maklum, namanya juga kebudayaan pribumi. Eh.