MOJOK.CO – Jembatan Lempuyangan Jogja adalah sumber kebahagiaan, sekaligus menjadi sumber kebencian warga Kota Jogja karena kemacetannya.
Jembatan Lempuyangan Jogja, mungkin, menjadi salah satu landmark, di mana berbagai kenangan melebur menjadi satu. Ada yang mengenangnya sebagai sumber kegembiraan, piknik sederhana, anak-anak masa lalu sambil melihat kereta api melintas. Lalu, ada juga yang membencinya karena kereta api itu sendiri. Saya selalu tersenyum ketika mengingat 2 kenangan itu.
Jembatan Lempuyangan Jogja menjadi pertemuan 4 ruas jalan yang masing-masing punya cara untuk membuat pengendara semakin kesal. Empat jalan yang saya maksud adalah Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo, Jalan Komisaris Polisi Bambang Suprapto, Jalan Dr. Sutomo, dan Jalan Lempuyangan.
Adalah pemerintah pusat yang membangun jembatan tersebut. Pembangunan berlangsung dari tahun 1988 hingga 1989. Jembatan ini lahir karena kemacetan dan kepadatan lalu-lintas di daerah tersebut sudah semakin tidak tertahankan. Jogja memang luar biasa, sekitar tahun 1988 saja sudah ada kemacetan. Istimewa.
Jembatan Lempuyangan Jogja, sumber kebahagiaan anak kecil
Setiap orang tua mempunyai strategi tersendiri supaya si buah hati mau makan dengan lahap. Salah satunya adalah dengan membuat distraksi. Misalnya dengan mengajak si buah hati jalan-jalan, melihat pemandangan yang masih asing. Dulu, dan hingga sekarang, Jembatan Lempuyangan Jogja menjadi jujugan favorit banyak orang tua.
Sore hari, ketika langit Jogja bersih dan tidak ada mendung menggelayut, adalah saat yang tepat untuk melihat kereta api melintas di Jembatan Lempuyangan Jogja. Para balita sudah mandi, wangi, bedak di muka coreng-moreng, dan mengenakan pakaian terbaik. Sementara itu, para orang tua sibuk membawa tas perkap bayi yang isinya pakaian ganti, popok, botol air minum, kotak makan, tisu kering, dan uang tunai ala kadarnya.
Mulai pukul 16:00, orang tua dan anak-anak terkasih sudah siap di pinggir rel, di bawah Jembatan Lempuyangan Jogja. Mereka, orang-orang tua dan balita itu akan sama-sama tertawa lebar, bahkan ada yang berjingkrak, ketika kereta api melintas. Masinis tersenyum melihat tingkah orang tua dan anaknya. Mungkin, mereka adalah cikal bakal railfans yang kini tersebar di penjuru bumi.
Menjelang Magrib, orang-orang tua yang lega dan anak-anak berbahagia, berkemas pulang. Tidak lupa, mereka jajan sate-lontong yang sudah mangkal di sana bahkan sejak saya masih kanak hingga kini saya sudah beranak dua.
Piknik sore yang sungguh membahagiakan. Murah dan terjangkau. Sungguh ramah dompet orang miskin Jogja yang sudah romantis dengan upah rendah sejak Jembatan Lempuyangan Jogja belum berdiri kokoh.
Baca halaman selanjutnya: Dari makian pengendara sampai gambar kelamin pria.