Sistem satu arah dan tempat parkir
Rizky Prasetya, salah satu kru Terminal Mojok, menulis bahwa sistem satu arah itu ironis. Niatnya bikin lancar, tapi biasanya malah jadi runyam karena keberadaan “parkir liar” di kiri dan kanan jalan. Pada derajat tertentu, saya setuju dengan pendapat Mas Rizky ini.
Adalah Stasiun Lempuyangan yang menjadi contoh ironi itu. Sistem satu arah ingin membuat jalanan jadi lega. Sehingga, kendaraan bisa melaju dengan nyaman. Namun, yang terjadi justru “ironi” itu. Kiri dan jalan Jalan Lempuyangan, bahkan pas di depan pintu masuk, menjadi arena tempat parkir.
Di depan stasiun persis, kamu bisa menemukan tukang parkir menata motor dengan rapi. Bahkan bisa sampai 2 lapis ketika ramai. Sementara itu, di sisi selatan, sudah sejak dulu menjadi barisan warung, parkir, dan penyewaan kendaraan. Jadi maklum kalau sisi selatan pasti penuh oleh motor yang berjejer. Yang bikin saya risih adalah “tempat parkir liar” di depan stasiun persis.
Saya katakan “liar” karena sisi jalan itu seharusnya steril. Kalau ada yang menumpuk motor di sana sampai 2 baris, jalanan pasti tersendat. Apalagi para pengantar yang naik mobil juga berhenti di sana. Alhasil, pemandangan serba kacau terjadi.
Sampai di sini, para pemangku kebijakan dan pihak stasiun seharusnya segera membenahi tata ruang Stasiun Lempuyangan. Kasihan mereka yang menggantungkan hidup dari menjadi tukang parkir. Namun, aktivitas mereka malah menjadi gangguan bagi pengendara.
Memaklumi Stasiun Lempuyangan
Sebetulnya saya ingin memaklumi kondisi ini. Beneran. Saya maklum kalau “kekacauan” ini terjadi. Pertama, tempat parkir yang “resmi”, yang berada di lingkungan Stasiun Lempuyangan, memang super kecil. Padahal, animo KRL di stasiun ini sangat besar. Masuk akal kalau parkir resmi tidak mampu menampung motor.
Sementara itu, di sisi selatan Stasiun Lempuyangan juga lama-lama penuh juga. Nasibnya sama seperti tempat parkir resmi. Dan sudah sejak lama kondisi ini terjadi. Apakah pihak stasiun dan PT KAI tidak memprediksi hal ini?
Seharusnya para pemangku kebijakan itu bisa memprediksi. Masyarakat pasti akan beradaptasi demi bertahan hidup. Kalau parkir resmi dan parkir di selatan penuh, seperti air mengalir ke curahan, motor-motor itu akan memenuhi ruang kosong: di depan pintu masuk stasiun!
Dua hal terakhir dari saya. Pertama, kondisi jalanan di depan Stasiun Lempuyangan bukti kegagalan sistem satu arah. Ada “dosa” pemerintah di sana. Namun, masyarakat juga ada andil. Jadi, supaya sama-sama enak, kalian duduk bersama, lah. Cari jalan keluar paling enak, menguntungkan semua pihak, termasuk pengguna jalan yang hanya ingin melintas.
Kedua, ini menjadi bukti kegagalan transportasi publik di Kota Jogja dan sekitarnya. Kalau sistem transportasi publik sudah ideal (yang mana saya pesimis bakal kejadian), orang nggak perlu bawa motor atau mobil kalau mau ke Stasiun Lempuyangan. Sesederhana itu, kan? Iya, lah, sederhana. Ngapain dibuat ribet?
Dan pada akhirnya, yang menempati posisi “paling rugi” atau “menjadi korban” pasti masyarakat. Karena masyarakat pasti akan sampai titik di mana mereka akan bilang: “Mau gimana lagi?”
Ya karena kami, warga negara, nggak mendapat pilihan yang enak. Nektar warga bernama pajak terus mengucur, tapi kemudahan jauh dari kata subur.
Penulis: Moddie Alvianto W.
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kasta Miskin Stasiun Lempuyangan Jogja yang Sudah Lebur dan Nggak Lagi Kalah dari Stasiun Tugu Jogja dan analisis menarik lainya di rubrik ESAI.












