Entah selemah apa hati netizen. Ketika Raisa tunangan, #haripatahhatinasional langsung viral. Ketika Song Song Couple mengumumkan rencana pernikahan mereka tiga bulan lagi, giliran #haripatahhatiinternasional yang bertebaran. Dan dua hari lalu, ketika Muzammil Hasballah menikah, tagar sangar muncul dan tidak kalah viral: #haripatahhatiduniaakhirat.
Ewww.
Oh ya, yang belum tahu, Muzammil Hasballah adalah penghafal Quran berusia 24 tahun lulusan arsitektur ITB. Sosoknya menjadi populer semenjak video merdunya ngaji Ar-Rahman viral di internet dan para netizen (utamanya perempuan) mengidolakan ngajinya dirinya. Kalau mau tahu seperti apa para ukhti(?) fangirl-nya, silakan baca kolom komentar Instagram Muzammil. Alih-alih hafalan atau bacaannya, mereka lebih mengagumi sosok Muzammil.
“Ikhlas banget deh punya suami kayak gini. Cariin yang kayak gini dong. Plis turunin cowok yang hafal 30 juz yang baik, yang siap menuju surga ya Allah. Ayo cari suami kayak gini. Aku gak kedip dengerin ini” dll. Banyak banget kalau ditulis semua. Padahal itu baru komentar terus terang yang kelihatan, belum yang dalam hati atau dalam doa.
Awalnya saya curiga kalau akhi ini termasuk golongan ikhwan hits ala-ala yang suka sebar kode di media sosial. Tapi, setelah lihat-lihat akun Instagramnya, ternyata Muzammil tidak suka menulis caption bermuatan kode nikah taaruf dsb., kecuali beberapa hari menjelang pernikahannya, itu pun sangat sedikit. Mayoritas unggahannya hanya mempublikasikan jadwal imam bulanan dan penjelasan ayat-ayat yang ia bacakan. Secara visual, (menurut saya) Muzammil juga biasa saja, tidak tampan menawan atau sok kecakepan. Jadi tahu sendiri dong siapa yang baperan di sini?
Sebenarnya kasus Muzammil ini sama dengan Fatih Seferagic dulu, yang ketika ia roadshow ngaji, para akhwat jejeritan menyebut namanya dan berebut berfoto dengannya. Geli banget melihat itu. Sekalipun teriakannya bawa-bawa nama Allah, esensinya kan bukan begitu. Tapi, sampai saat ini Fatih masih single (duda sih), jadi para ukhti belum berkesempatan selebay itu menunjukkan kerapuhan hati mereka di ruang publik ketika idolanya menikah. Barulah kemarin, puncak fangirling syariah itu terkuak. Semacam ironi yang bikin geli-geli gemay melihat para ukhti di sekitar saya baper begitu.
Mungkin nasihat ini akan terdengar klise: kalau udah pengen banget nikah tapi belum ada calon, ya dicari atuh, Neng. Kan kita juga sama-sama tahu, jodoh memang di tangan Tuhan, tapi kalau nggak diambil ya selamanya di tangan Tuhan. Kalau memang mau dapetin yang kayak Muzammil, ya cari di tempat yang menyediakan lelaki sejenis Muzammil, bukan di Instagram.
Kemarin saya bertemu teman yang belakangan sedang mengikuti program persiapan nikah intensif. Programnya berbayar, kurikulumnya benar-benar practical, dipersiapkan bukan hanya untuk baper-baperan. Mulai dari pemilihan pasangan, ilmu parenting, hingga pengetahuan finansial. Termasuk pada tahap awal, materi tentang mencintai dengan logika. Dalam salah satu pembelajarannya, dia diharuskan membuat daftar sepuluh kriteria pasangan idaman. Kenapa harus ditulis? Biar nggak sembarang baper, apalagi sama (calon) pasangan orang. Biar lebih paham juga cara mendapatkan apa yang kita mau, carinya di mana, dan bagaimana.
Ketika mau beli mobil saja kita mesti tahu spesifikasi mobil yang kita inginkan dan di mana mendapatkannya. Mereka yang mencari Lamborghini nggak akan mencari iklannya di TV Perindo. Begitu juga kalau kamu carinya hafiz bersuara merdu, ya dekati mereka yang mempunyai jaringan ke para penghafal Quran. Logikanya, bagaimana bisa hafiz arsitek dari Aceh itu menemukanmu sedang patah hati sambil menikmati drama Korea di ujung Yogya sementara kalian tidak pernah punya potensi garis pertemuan?
“Kan, kita bertemu dalam doa,” jawabmu.
Ewww.
Sebagai sesama ukhti (ehem), jujur saya miris melihat tangisan virtual kalian kemarin. Kalau memang sudah segitunya pengin menikah, ya jangan doa saja. Bergerak, Sis, cari pandangan pasangan yang diidamkan seperti apa. Lalu memantaskan diri, salah satunya dengan mendekati jaringan yang menghubungkan kalian dengan kriteria calon itu. Kalau sudah menemukan dia yang setidaknya memenuhi 5/10 poin idaman tapi dia tidak kunjung melamar, tidak ada salahnya bilang duluan.
“Malulah, perempuan kok bilang duluan.”
Kamu hanya menutup telinga dari kisah ummahatul mukmin yang tidak kehilangan kemuliaan cuma karena terlebih dulu nembung Rasulullah untuk menjadi suaminya. Sebagaimana teladan Khadijah hingga Maimunah, kalau kamu malu menyatakannya secara langsung, kan bisa secara tidak langsung. Maksudnya, lewat perantara orang. Bukannya media sosial.
Katamu, mahkota perempuan itu rasa malu. Lantas, di hari patah hati dunia akhiratmu kemarin itu, di mana rasa malu itu, Ukhti?