ADVERTISEMENT
Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal
Beranda Esai

Halo, Keadilan, Kamu Nggak Lihat Ada Gadis Berkebutuhan Khusus Jadi Korban Pemerkosaan?

Dede Dwi Kurniasih oleh Dede Dwi Kurniasih
28 Juni 2019
0
A A
Halo, Keadilan, Kamu Nggak Lihat Ada Gadis Berkebutuhan Khusus Jadi Korban Pemerkosaan?
Bagikan ke FacebookBagikan ke TwitterBagikan ke WhatsApp

MOJOK.CO – Ini kisah tiga gadis berkebutuhan khusus yang jadi korban pemerkosaan. Hanya karena mereka ODGJ dan difabel, keadilan tak pernah datang untuk mereka.

“Mbak, di lingkungan sini ada difabel yang diperkosa dan sampai saat ini ada yang sedang hamil, bagaimana ya, Mbak? Mbak bisa bantu saya?”

Sebuah pesan pendek nyelonong masuk ke ponsel pintar saya.

Usai membacanya, saya dan si pengirim pesan, yaitu Rani, sepakat bertemu. Malam sebelum kami bertemu, saya lebih dulu bertemu dengan Sani. Teman perempuan saya yang juga bertekad untuk melakukan pendampingan pada si korban—teman Rani.

Berangkatlah kami menemui Rani hari itu.

Tidak jauh, 30 menit dengan bersepeda motor. Sepanjang jalan saya bersama dengan Sani berbicara di antara helm yang kami pakai dan udara yang dibelah sepeda motor saya. Kami merutuk pemerkosaan itu dan bertanya-tanya; manusia macam apa yang dengan tega melakukan pemerkosaan terhadap seorang difabel?

Bertemu di titik penjemputan, kami dan Rani tidak langsung bertandang ke rumah korban pemerkosaan. Lebih dulu kami duduk di angkringan terdekat sambil mendengar Rani bercerita. Dari mulut Rani itulah kemudian saya mendapat cerita menyeramkan ini.

Rani kebetulan hidup di sebuah dukuh yang gemah ripah loh jinawi, saya pakai idiom klise ini sebab sampai di dusunnya, hawa tenang dan damai merasuk indah, sementara mata dimanjakan oleh hijaunya sawah dan ramahnya penduduk desa.

Sampai pada beberapa tahun lalu terjadilah pelecehan seksual itu. Seorang remaja belasan tahun berkebutuhan khusus ditinggal sendirian ke rumah, orang tuanya sedang di ladang. Mari kita beri nama remaja malang ini, Linda.

Tanpa alasan yang diketahui, selama beberapa bulan Linda terus menunjukkan perubahan fisik yang signifikan. Badannya menggemuk, ciri fisiknya terus memperlihatkan ciri fisik orang yang sedang mengandung. Orang tuanya kebingungan. Tak tahu harus berbuat apa.

Akhirnya diketahui bahwa anak mereka hamil karena diperkosa dan (diduga kuat) pelaku pemerkosaan adalah tetangga sebelah.

Dusun gempar. Anehnya, ketimbang beramai-ramai mempersekusi pelaku, masyarakat malah menuding balik keluarga korban. Kenapa meninggalkan si korban sendirian di rumah? Bahkan sampai memfitnah bahwa si korban pasti menggoda pelaku.

Baiklah, saya tahu, itu tudingan yang luar biasa ajaib. Sekarang begini saja, gimana caranya remaja berkebutuhan khusus bisa menggoda seorang pria normal?

Sayangnya, persoalan berakhir hanya sampai di situ saja. Warga tidak menindaklanjuti, baik pakai sanksi sosial maupun mengajukannya ke hukum. Barangkali, bagi keluarga korban yang petani, mengajukan tuntutan ke pengadilan begitu rumit dan mahal harganya.

Lagian, selain cukup sulit dibuktikan (karena kejahatannya sudah cukup lama), masyarakat juga tak terlalu antusias mendukung keluarga korban. Belum lagi terduga pelaku selalu berkelit saat ditanya.

Sampai kemudian Linda yang malang ini akhirnya melahirkan dan anaknya tumbuh. Tanpa bukti-bukti macam tes DNA, warga semakin yakin pelakunya adalah tetangga tersebut. Alasannya sederhana: wajah si anak persis dengan pelaku.

Saya dan Sani tercekat. Es teh dan sate usus yang kami pesan tak tersentuh sama sekali, hilang selera kami. Ketika kami pikir cerita itu selesai, ternyata Linda bukan korban pemerkosaan satu-satunya. Ada korban lain, namanya Suri. Kita panggil saja dengan nama itu.

Suri adalah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang sering berkeliling di dusun. Karena jarang di rumah, Suri jelas tak terawat. Lusuh dan sulit sekali untuk bisa diajak berkomunikasi.

Sampai kemudian, bentuk fisik Suri berubah layaknya orang hamil. Segera, Suri jadi bahan gunjingan. Keluarga Suri muntab, mereka menginterogasi Suri. Dengan bahasa yang terbatas dan terbata, Suri menyebutkan siapa pemerkosanya.

Warga kembali gempar. Nama pelaku pemerkosaan juga menyebar dengan mudah dari mulut ke mulut. Sidang warga digelar. Terduga pelaku menolak semua tuduhan.

Dengan entengnya, si pelaku berkilah tidak ada gunanya mendengarkan ocehan orang tak waras. Bagi pelaku, ketika namanya disebut hal itu tidak membuktikan apapun.

Kembali seperti cerita sebelumnya, tak ada yang berinisiatif membawa ini ke ranah hukum. Lagi dan lagi, barangkali mengajukan ini ke meja persidangan dianggap terlalu rumit prosesnya atau kelewat mahal harganya.

Suri kemudian melahirkan anak. Tak ada tes DNA lagi karena memang tak ada yang memfasilitasinya. Kembali, wajah si anak sama persis dengan pelaku. Geger sejenak, tapi tak berselang lama dusun kembali tenang. Sekarang, anak Suri sudah SMP.

Rani kembali mengumpulkan tenaga untuk bercerita. Saya dan Sani penasaran sekaligus ingin membanting apapun yang ada di hadapan kami. Sayangnya, ketika kami kira cerita seram itu berakhir, ternyata masih ada lagi.

Sebutlah satu gadis lagi, Desti kita panggil. Seorang anak berkebutuhan khusus (ABK) berusia dua puluhan.

Usai kasus Suri mereda, warga desa lagi-lagi melihat ciri-ciri yang terjadi pada Suri dan Linda pada tubuh Desti. Ya, dugaanmu tak salah: Desti hamil juga. Gunjingan mulai bergerak dari seluruh penjuru desa. Dibandingkan Linda dan Suri, pengakuan Desti jauh lebih jelas. Dengan lugas, Desti menyebutkan sebuah nama: Supri.

Usai gempar dan keadaan bisa tenang, akhirnya diputuskan kalau keluarga Supri sepakat mendampingi Desti sampai melahirkan dan mengasuh anak tersebut. Kini, anak Desti sudah SMA dan tetap berhubungan baik dengan ibunya—entah dengan “ayah”-nya.

Ketika saya pikir sudah saatnya saya mengumpulkan kekuatan untuk berpikir dan merenungi kejadian-kejadian ini, Rani kembali bercerita bahwa kemalangan Desti belum berakhir. Dengan masa lalu yang seperti itu, ternyata Desti kembali jadi korban pemerkosaan dan hamil.

Lebih berat lagi, pelakunya dipercaya merupakan seorang tokoh masyarakat di dusun tersebut. Semua orang sudah tahu. Masalahnya si terduga pelaku meninggal tak lama setelah memperkosa Desti. Meninggal karena tersetrum.

Saya dan Sani menangis siang itu. Kami dibiarkan sesenggukan, lalu kami diminta menghabiskan pesanan angkringan agar bisa segera menuju rumah Desti, si korban terakhir dan yang paling dekat kejadian perkaranya.

Ibu Desti menemui kami dan berterima kasih karena telah turut menguatkan dan mendampingi keluarga mereka.

Beliau melontarkan penyesalan karena lalai menjaga Desti hingga dua kali kecolongan. Saya kemudian mengatakan kepadanya, ini bukan salahnya. Hanya ada manusia bejat yang dengan sengaja menyakiti anaknya.

Kisah Desti, Linda dan Suri bisa jadi hanya sumir kita dengar. Keluarga tiga perempuan yang saya temui ini tidak perlu hanya menyalahkan pelaku, melainkan juga berhak menyalahkan pembiaran yang masih sering dilakukan orang-orang seperti kita, yang merasa bahwa kasus pelecehan atau pemerkosaan bukanlah kejahatan berat. Hal inilah yang justru membuat kejadian seperti ini terus berulang, setidaknya di dusun ini.

Setiap tahun, setidaknya ada sekitar 1.400-an kekerasan seksual yang dilaporkan dan muncul di sekitar kita. Jumlah yang fantastis, karena itu artinya dalam sehari ada 3-4 kekerasan seksual terjadi. Kasus yang sama bahkan bisa jadi sedang terjadi saat kamu membaca tulisan ini.

Lebih mengejutkannya lagi, angka tadi hanyalah kasus yang sudah dilaporkan dan diproses. Artinya, gadis-gadis malang korban pemerkosaan, seperti Desti, Linda, dan Suri tidak masuk pada daftar angka statistik tersebut.

Dan dari angka itu juga, hanya sekitar 10% saja yang bisa diproses hukum. Yang lain? Masih dianggap sebagai kejahatan biasa, atau—ini yang justru paling sering terjadi—balik menuding korban sebagai pihak yang menggoda si pelaku.

Menyedihkan. Sungguh.

Terakhir diperbarui pada 28 Juni 2019 oleh

Tags: ABKanak berkebutuhan khususdifabelkekerasan seksualkorban pemerkosaanODGJ
Iklan
Dede Dwi Kurniasih

Dede Dwi Kurniasih

Staf Monitoring Evaluasi Sinergi Program Peningkatan Akses Layanan Kesehatan Reproduksi.

Artikel Terkait

Ketulusan Guru asal Magelang yang Mengajarkan Santri Tuli Jamhariyah di Sleman. MOJOK.CO
Ragam

Ketulusan Guru asal Magelang yang Mengajarkan Santri Tunarungu Mengaji, Saat Orangtua Sendiri Frustrasi

5 Februari 2025
Perjuangan Nur Syarif Ramadhan untuk Difabel dan Penyandang Disabilitas agar Tak Cuma Bisa Sekolah di SLB MOJOK.CO
Sosok

Perjalanan Nur Syarif Ramadhan: Ditolak Sekolah karena Difabel dan Pembuktian pada Mereka yang Anggap Difabel Berbeda

2 Desember 2024
Pertemuan di PRYAKKUM: Difabel punya hak yang sama, jangan dibedakan MOJOK.CO
Ragam

Difabel Kerap Jadi Alat Penarik Simpati, Tapi Hak-haknya Masih Saja Tak Terpenuhi

21 November 2024
Cerita Musisi Orkestra Surabaya yang Bisa Melihat Dunia Berkat Musik.MOJOK.CO
Ragam

Cerita Musisi Tunanetra Surabaya yang Bisa Melihat Dunia Berkat Musik

17 Oktober 2024
Muat Lebih Banyak
Pos Selanjutnya
Guyonan Luna Maya dan Deddy soal Eating Disorder Dianggap Tak Peka Kesehatan Mental mojok.co Corbuzier

Surat Cinta buat Kol Goreng yang Jahat tapi Enak

Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Slipi Jakarta Barat, Kawasan Elite yang Bikin Lulusan S2 Sengsara.MOJOK.CO

Ironi di Balik Perkantoran Mewah Slipi Jakarta Barat: Ijazah S2 Dianggap Tak Berguna, Pekerjanya Sengsara

16 Mei 2025
Bersyukur jadi lulusan SMK meski diremehkan karena lebih mudah cari kerja ketimbang sarjana MOJOK.CO

Lulusan SMK Diremehkan, Tapi Bersyukur Nasib Lebih Baik ketimbang Sarjana yang Banggakan Gelar tapi Nganggur

14 Mei 2025
Jalan-jalan di Candi Borobudur, Magelang. MOJOK.CO

Pengalaman Pertama ke Borobudur Sendirian terasa Aneh, tapi Berkat “Orang Baru” Perjalanan Saya Jadi Berkesan

14 Mei 2025
Cuti Bersama Melahirkan Kesenjangan, tapi Pekerja Tutup Mata MOJOK.CO

Cuti Bersama Melahirkan Kesenjangan di Dunia Kerja: Tidak Bisa Dinikmati oleh Semua Pekerja dan Ada Saja Perusahaan yang Semaunya

13 Mei 2025
Perjalanan biksu Thudong dari Thailand ke Candi Borobudur. MOJOK.CO

Cerita Seorang Muslim Ikut Menyambut Biksu Thudong di Candi Borobudur, Seperti Melihat Kyai Melaksanakan Ibadah Haji

15 Mei 2025

AmsiNews

Newsletter Mojok

* indicates required

  • Tentang
  • Kru Mojok
  • Cara Kirim Artikel
  • Disclaimer
  • Kontak
  • Kerja Sama
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Laporan Transparansi
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Movi
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.