Menulis untuk Pekan Penulis Perempuan Mojok? Yang pertama terlintas di benak saya adalah Gita Wiryawan. Absurd. Orang lain menulis Cinta dan Rangga, pasangan yang jadi Romeo-Julietnya remaja tahun 2000-an, dan saya sekarang harus menulis tentang laki-laki lajang yang sudah lima tahun enggak bisa move on. Mantap.
Gita Wiryawan teman saya sejak masa remaja. Dan dia hebat. Untuk mengasah popularitasnya, dia sangat bawel di media sosial. Dia pernah kebanjiran mention di twitter, gara-gara akunnya dikira sebagai akun resmi Menteri Gita Wirjawan yang ketika itu maju sebagai bakal calon presiden di Konvensi Partai Demokrat.
Dalam lima tahun terakhir, fluktuasi pamor Gita ekuivalen dengan status lajangnya yang makin mengenaskan. Tidak ada orang yang paling nyaris purna nasib kejombloannya daripada Gita. Jika suatu saat nanti dia sampai mengalami momentum ala Risna-Rais, maka sebagai jomblo, ialah jomblo yang sudah di tingkat makrifat. Artinya, sudah sampai ke tingkat menyerahkan diri ke Tuhan. Pasrah seikhlas-ikhlasnya, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya. Luar biasa.
Bagaimanapun dia teman saya. Meski Jomblo. Meski sebenarnya, Gita jomblo itu sesuatu yang aneh. Maksud saya begini, dia itu pegawai negeri sipil. Mau kerjaannya cuma komentar-komentar enggak jelas di status-status facebook lama geng pemuda tak beriman Yogyakarta-Jember-Ciputat, atau ikut-ikut twitwar karena dia sangat sadar statistik follower—anak ini tercatat di daftar pegawai Kementerian Keuangan Republik Indonesia yang berkutat dengan angka, angka, dan angka—gajinya tetap mengalir. Dia akan dapat uang pensiun. Lain dengan teman-temannya, geng pemuda tak beriman tadi, yang hidup dari menulis. Kalau enggak nulis, enggak makan. Gita kerjanya justru mengganggu orang nulis. Harusnya kita tahu, dia adalah musuh dari laku disiplin seorang penulis.
Kita tahu, PNS adalah idaman perempuan. Nomor dua setelah polisi. Apalagi alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Tahun 2007, try out masuk STAN digelar di GOR Purwokerto. Gedung itu penuh dengan ribuan orang. Dan di angkatan kami, Gita itu satu dari sebelas orang yang beruntung—bagi saya sial sih—masuk STAN. Anak STAN adalah idola perempuan. Tapi Gita adalah perkecualian.
Meski jomblo, bagaimanapun, dia teman saya. Awal tahun ini, dia minta saya jadi editor bukunya. Buku curhat. Untuk dikasih ke perempuan-yang-bahkan-diajak-Gita-ketemuan-saja-enggak-sudi. Buku itu cuma dicetak sepuluh eksempelar, kalau tidak salah. Saya ini, gini-gini ya kadang disuruh jadi pembaca akhir jurnal agraria prestisius se-Yogyakarta. Lha ini, buku curhat. Tidak dijual lagi. Isinya, masya Allah. Kalau Nuran Wibisono baca, selaku Bapak Air Mata Nasional dia bisa ngulang perjalanan-Yogyakarta-Solo-nangisnya lagi. Ya tapi ini kan ada teman mau bikin buku. Harus dihargailah sedikit-sedikit. Irwan Bajang yang direpotin buat nyetak pasti perasaannya juga begitu. Tadinya saya bilang tidak usah bayar. Tapi akhirnya dikirimi pulsa seratus ribu. Dahsyat. Semoga Bajang enggak dibayar pulsa juga. Mending enggak usah dibayar sekalian. Ya bagaimana lagi, kan teman.
Kadang kesal juga lihat Gita. Dia itu sekali dua kali pesan minta belikan buku ke saya. Sekali kirim, langsung dua juta. Maksudnya supaya saya belikan sejumlah buku di Jogja, lalu dikasihkan ke dia. Sekarang dia kan tinggal di kota kecil yang jangankan toko buku, karaoke mesum saja tidak ada. Karena teman, saya bela-belain keliling penerbit revolusioner kayak Insist Press atau Resist Book, lalu ke toko buku langganan untuk belikan buku buat dia. Setumpuk buku. Ngeri-ngeri bukunya. Filsafat, sejarah, gitu. Buku-buku tipikal yang ada di rak mahasiswa intelek Jogja. Kalau Jakarta atau Jember saya enggak tahu. Nah, saya sengaja kasih kode, saya belikan buku Di Bawah Bendera Revolusi karya Sukarno. Maksud saya, Sukarno itu kan jago menulis, lihai goda-goda perempuan. Suka bikin-bikin surat cinta. Hartini digitukan, Fatma juga. Pokoknya flamboyan. Tapi sampai sekarang hasilnya nihil buat Gita. Cek saja blognya. Isinya galau lagi, galau lagi. Sudahlah, nyerah. Mungkin kodenya kejauhan. Otak sama bacaan memang enggak mesti selevel.
Kadang saya mau menyalahkan Tuhan yang ngasih fisik enggak berlebihan ke Gita. Mungkin maksudnya supaya Gita enggak jadi makhluk Tuhan yang riya. Tapi dia malah jadi riya dengan kejombloannya. Dieksploitasi terus.
Selain PNS, dia itu pemuda yang lurus. Apa dia pernah mengaku revolusioner? Tidak. Dia itu SMA-nya ikut Pramuka. Jadi bantara atau apalah. Salatnya juga rajin. Kalau lagi pelajaran, sedikit-sedikit izin ke guru. Ternyata ke musala yang ada di sebelah timur sekolah. Salat sunah. Saya tahu soal ini karena kami sekelas waktu kelas tiga SMA. Biasanya perempuan kan kalau tidak sama laki-laki yang lurus, ya sukanya sama yang begajulan sekalian? Tapi Gita selalu jadi perkecualian. Kelihatannya, dia justru menikmati status lajang permanen ini. Kadang kenikmatan memang datang dari rasa sakit. Agak-agak masokis, begitu.
Soal tumpukan buku, saya juga kesal karena tidak ada hasilnya. Dia kan suka ngetwit yang susah-susah. Tapi kenapa tulisannya tidak ada yang serius? Minimal buku di lemarinya, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar karangan Donny Gahral Adian, itu bisa dia olah-olah sedikit jadi tulisan. Tapi tidak juga. Di blog adanya ya tulisan galau lagi galau lagi. Ya Tuhan. Sekarang malah baca Murakami terus. Tokohnya kan cowok galau melulu. Yang hidupnya melankolis cuma gara-gara gagal paham perempuan. Itu kan bacaan yang salah buat Gita.
Kalau mau curiga, saya curiga Gita mau bikin kredo baru. Agus Mulyadi sudah deklarasi, “Jomblo tapi Hafal Pancasila”. Gita kan eks-pemuda Ibu Kota, pemuda metropolitan, walaupun dulu kosnya di gang sempit di Bintaro dan kalau habis duit makannya mentok di burjo alias warkop. Saya curiga, Gita tidak terima dia kalah saing sama jomblo dari kaki Merapi Magelang sana. Karena itu Gita mau bikin kredonya sendiri, “Jomblo tapi Abdi Negara”. Keren.
Tapi mau bagaimana lagi, namanya juga teman.