Apakah solusi pemerintah untuk pembongkaran Parkiran Abu Bakar Ali sudah cukup?
Pemda DIY katanya sudah menyiapkan alternatif untuk parkiran Malioboro. Mereka akan “memecah” Parkiran Abu Bakar Ali ke beberapa tempat, yaitu Ketandan, Ngabean, Beskalan, dan Senopati.
Oke, menurut saya, kita harus menghargai inisiatif ini. Tapi ya gitu, Ketandan itu misalnya. Saat ini saja sudah sesak saat akhir pekan sebelum Parkiran Abu Bakar Ali dibongkar. Apalagi nanti?
Ada juga opsi parkir swasta. Pemerintah membuka peluang buat swasta mendirikan tempat parkir berizin. Tapi, apa rakyat kecil yang sudah biasa pegang lahan parkir bisa langsung bersaing sama pengusaha modal gede?
Pemerintah juga akan mengandalkan moda transportasi ramah lingkungan. Mulai dari bus listrik, becak listrik, sampai sepeda sewa. Ini menarik sih, ideologi kotanya keren, yaitu Jogja menuju zona rendah emisi. Tapi mari jujur sebentar.
Kalau wisatawan dari luar kota sudah kadung bawa mobil pribadi dan susah parkir, apakah mereka rela muter-muter cari tempat parkir jauh? Apakah mereka mau sambung transportasi lagi?
Ini tantangan besar bagi Jogja karena bukan hanya perkara menyediakan lahan parkir. Jogja juga harus memikirkan tata kota. Saya rasa, Trans Jogja, misalnya, belum cukup menjadi alternatif wisatawan. Banyak dinamika di sana tetapi biarlah jadi perdebatan di lain hari.
Karena kalau perkara lahan dan tata kota tak terselesaikan, malah bisa jadi efek domino. Wisatawan kapok, UMKM sepi, ekonomi rakyat malah ngos-ngosan. Jogja dan Malioboro siap?
Pilihan dilematis antara menyelamatkan Malioboro atau menyelamatkan perut?
Saya ngerti kok, kenapa pemerintah ngebet membongkar Parkiran Abu Bakar Ali. Sumbu Filosofi itu bukan perkara sepele.
Di dunia modern yang serba ngebut ini, keberhasilan Jogja mempertahankan warisan budaya adalah sesuatu yang patut mendapat tepuk tangan. Tapi, untuk urusan perut, yang bisa langsung merasakan “penggusuran” itu pasti beda cerita. Ruang Terbuka Hijau itu efeknya jangka panjang. Sementara lapar itu efeknya instan.
Ini bukan berarti saya menolak pembongkaran Abu Bakar Ali. Tidak sama sekali.
Saya justru mengajak kalau bisa, perubahan itu dirancang bukan sekadar dari atas meja pejabat, tapi juga dari suara rakyat kecil. Mereka yang hidup dari parkiran, seharusnya ikut terlibat dalam peta jalan solusi. Misal, bisa dibikinkan lahan parkir baru yang dikelola koperasi parkir milik mereka sendiri, bukan diserahkan ke investor besar.
Atau, membuat program pelatihan keterampilan baru buat para mantan juru parkir Parkiran Abu Bakar Ali. Pemerintah jangan cuma bilang “Sudah disediakan tempat baru kok,” lalu lepas tangan. Kasih pelatihan, akses modal usaha kecil, supaya mereka tidak sekadar jadi korban perubahan.
Karena kalau tidak, perubahan ini cuma memperindah kota buat foto Instagram. Namun, Jogja melakukannya sambil menumpuk luka-luka sosial yang diam-diam menggerogoti.
Apakah kita masih harus menimbang ulang slogan Jogja berhati Nyaman?
Jogja itu konon kota “berhati nyaman.” Tapi nyaman buat siapa? Kalau nyaman cuma buat turis, sementara rakyat kecil tersingkir dari Malioboro dan Parkiran Abu Bakar Ali, ya nyaman itu akhirnya hanya slogan tempelan.
Malioboro tanpa Abu Bakar Ali, mungkin akan lebih rapi, lebih estetik, lebih green. Tapi, akankah seindah itu di mata mereka yang kehilangan mata pencaharian?
Saya percaya, Jogja masih punya semangat gotong royong yang kuat. Saya juga percaya, bahwa rakyat dan pemerintah bisa saling dengar, bukan saling mematung.
Karena dalam soal ruang kota, yang harus kita perjuangkan bukan sekadar ruang hijau untuk pohon, tapi juga ruang hidup untuk manusia. Maka saya, sebagai anak Jogja, bukan menolak perubahan.
Saya hanya berharap, perubahan itu jangan sekadar merapikan kota untuk tamu-tamu, sambil diam-diam mengusir warganya sendiri dari ruang kehidupan. Kalau Jogja mau tetap jadi kota istimewa, rakyat kecilnya harus tetap punya tempat.
Bukan sekadar jadi penonton di trotoar Malioboro yang baru, sambil menatap langit kosong di atas bekas Parkiran Abu Bakar Ali.
Penulis: Janu Wisnanto
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Taman Parkir Abu Bakar Ali Malioboro Akan Ditutup, Berubah Jadi Ruang Terbuka Hijau dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












