MOJOK.CO – Agar rakyat tak dipaksa ikut membayar, Garuda Indonesia harus di bawah Conservatorship Agency, diceraikan dari dunia politik, agar segera sehat.
Kasus Garuda Indonesia memang aneh. Menguasai captive market premium, dengan sokongan perjalanan dinas para pejabat, tapi pembukuannya selalu merah, merah, dan selalu merah. Aneh!
Jika berpatokan pada cerita mantan komisaris Garuda Indonesia, Peter Gonta, tentang biaya sewa pesawat yang jauh di atas standar dunia, wajar BUMN penerbangan yang satu ini membukukan catatan keuangan negatif. Garuda mengalami semacam patologi institusional. Meradang di tengah kesempatan bisnis yang bagus. Pemasukan perusahaan menguap entah ke tangan siapa, belum ada yang berani buka suara.
Meminta Indonesia fokus ke penerbangan dalam negeri, seperti saran Erick Thohir juga tak sepenuhnya masuk akal secara bisnis. Agak riskan secara moneter. Ingat, biaya-biaya operasional Indonesia, mayoritas, dibayarkan dalam dolar, termasuk utang sukuk yang USD 500 juta itu.
Berbinis dalam rupiah dengan beban utang dalam dolar? Nggak lama, Indonesia akan terjebak ke dalam lubang krisis seperti masa 1997 hingga 1998. Jika rupiah melemah lebih lanjut, tanpa menambah utang, beban utang Garuda akan naik karena bisnis utamanya justru di dalam rupiah.
Solusi buat Garuda Indonesia
Melihat situasi ini, opsi pertama bagi pemerintah, saya kira, adalah memailitkan atau membiarkan Garuda Indonesia terbang bebas. Tentu jika masih ada yang berminat membelinya.
Berpihak pada industri penerbangan nasional tidak mutlak berarti melakukan bail out kepada Garuda Indonesia. Terlalu distortif dan naif jika dimaknai demikian. Terlalu enak untuk Garuda.
Pemerintah bisa meningkatkan keberpihakan kepada pelaku industri penerbangan domestik setelah Garuda Indonesia dipailitkan. Tentu dengan mendorong pelaku BUMN penerbangan yang lebih sehat menggantikan peran Garuda. Setelah itu, perbaiki ekosistem industri penerbangan nasional dengan memberi proteksi dan peluang yang besar kepada pelaku domestik agar tidak dikuasai pelaku dari luar.
Dalam konteks ini, pemerintah harus memaknai situasi Garuda Indonesia ini dengan kacamata yang lebih besar. Pemerintah harus memperbaiki ekosistem industri penerbangan nasional, meskipun harus kehilangan Garuda pada akhirnya.
Kedua, jika memang pemerintah memutuskan untuk menyelamatkan Garuda Indonesia, syarat dan kondisinya harus sangat jelas, tegas, dan ketat di satu sisi. Di sisi lain, Garuda harus “masuk rumah sakit”. Lantaran pemerintah tidak memiliki lembaga seperti Temasek di Singapura, SASAC di China, Khazana di Malaysia, atau APE di Perancis, jalan terbaik adalah meniru Amerika ketika menyelematkan Government Sponsored Enterpirses/GSE (bukan BUMN, tapi semi BUMN) pada 2008 lalu, yakni Fannie Mae dan Freddy Mac.
Pemerintah harus mendirikan rumah sakit untuk BUMN yang sakit. Amerika mendirikan Conservatorship Agency untuk Fannie Mae dan Freddy Mac. Agensi tersebut mengganti managemen perusahaan, memotong gaji dan bonus petingginya, memaksakan aturan dan regulasi baru, bahkan mengontrol secara ketat jalannya bisnis kedua GSE tersebut, lalu menyuntikan dana, sampai akhirnya perusahaan sehat kembali dan dana pemerintah mereka kembalikan dengan cara melakukan buy back aset-aset sampah yang sempat di-take over oleh pemerintah.
Nah, kementerian BUMN bisa mencoba cara ini. Kementerian tetap berdiri sebagai regulator tanpa terlibat dalam operasional perusahaan, menghindari conflict of interest, memantau penerapan regulasi dan penggunaan dana, tapi menyerahkan proses recovery-nya kepada Conservatorship Agency, semacam lembaga adhoc penyehatan BUMN.
Menggunakan logika ini, bukan hanya Garuda Indonesia, tapi semua BUMN yang sakit atau pura-pura sakit, kalau tidak mau dilikuidasi, harus berada di bawah lembaga ini. Lembaga ini diisi oleh para pihak yang mahir dalam managemen krisis, penyehatan keuangan, pembenahan organisasi, dan sebagainnya, yang berkoordinasi secara inten dengan KPK dan BPK
Bentuk dana bail out bisa dinegosiasikan. Bisa berupa konversi utang Garuda Indonesia menjadi surat utang negara yang dipegang oleh pemberi pinjaman. Mau sekaligus take over kembali saham pihak swasta yang ada di Garuda agar pemerintah via Corservatorship Agency bisa leluasa merestrukturisasi juga bisa. Setelah itu, jual kembali kepada publik setelah BUMN tersebut kembali sehat dengan sedikit keuntungan. Cara lain, bisa menginjeksikan cash, dengan kontrol dan bentuk komitmen yang ketat antara pemerintah, Conservatorship Agency, dan manajemen yang baru. Tapi model injeksinya harus jelas
Dengan kata lain, tak ada bail out cuma-cuma. Jika pemerintah serius, pilihannya, seperti saya sebutkan tadi, hanya dua, yakni buang Garuda Indonesia atau masukan ke rumah sakit. Perusahaan sakit yang tidak masuk rumah sakit akan bertambah sakit jika diberi ruang fiskal yang lebih besar.
Beberapa pihak menginformasikan kepada saya bahwa lembaga semacam itu telah ada di Indonesia, namanya PPA atau Perusahaan Pengelola Aset. Tapi saya berpendapat bukan ke situ konteksnya. Saya kurang paham PPA ini arahnya ke mana, namanya jarang terdengar. Kalau saya berkaca ke Cina, PPA ini justru mirip Asset Management Corporations (AMCs) yang dibentuk oleh Zhu Rongji untuk menangani masalah non performing loan (NPLs/kredit bermasalah) dari empat the big four Bank BUMN Cina sebelum didaftarkan ke bursa.
Jadi ketika itu, NPLs di keempat bank BUMN Cina itu besar sekali, hampir 40 persen. Akhirnya, Kementerian Keuangan Cina (MOF) dan Bank Sentral China (PBOC) membuat empat AMC untuk keempat bank BUMN tersebut sehingga NPLs menjadi nol.
Setelah itu, MOF dan PBOC menyuntikkan likuiditas agar assetnya tidak menyusut. Bentuknya berupa surat utang negara dan guarantee bond dari MOF. Selanjutnya, keempat bank itu didaftarkan ke bursa. The big four itu adalah ICBC, CBD (yang memberi utang untuk kereta cepat), BOC, dan ABC (Agricultural Bank of China).
Sementara Conservatorship Agency di Amerika tahun 2008, kalau mau dicarikan juga padanannya, mirip Badan Penyehatan Perbankan Nasional alias BPPN di saat krisis 1998. Sifatnya adhoc sebenarnya. Kalau pasienya sudah sehat dan dana negara kembali, lembaganya selesai.
Lembaga ini mirip rumah sakit bagi perusahaan-perusahaan yang menerima BLBI ketika itu. Misalnya Bank BCA, bank ini adalah eks BPPN itu. Pemerintah akhirnya menjual lagi sahamnnya setelah dianggap sehat dan dibeli oleh Hartono bersaudara. Itu kalau mau dicarikan padanannya.
Intinya beginilah. Garuda Indonesia, kalau mau di-bail out, ya mesti dibuat seperti Fannie Mae dan Freddy Mac di Amerika. Harus berada di bawah Conservatorship Agency alias dirumahsakitkan. Kalau di-bail out begitu saja, saya yakin akan terjadi lagi kasus yang sama nantinya.
Conservatorship Agency ini berwenang merombak direksi dan manajemen, memangkas bonus dan gaji, menerapkan aturan main yang lebih ketat soal penggunaan anggaran, memangkas wewenang direksinya dalam menentukan kebijakan, sampai benar-benar sehat. Kalau saya tak salah, hanya diperlukan waktu empat tahun bagi kedua perusahaan berkategori GSE di Amerika itu bisa mengembalikan dana pemerintah.
Sementara, kalau melihat ke PPA, mestinya menjadi perwakilan pemerintah dalam kepemilikan saham dalam BUMN-BUMN, seperti superholding yang disubordinasikan di bawah kementerian keuangan, setelah kementerian BUMN dihapus. Artinya, PPA ini sebenarnya bisa jadi embrionya Temasek Singapura atau SASAC China. Mestinya loh ya, kalau dilihat dari prinsipnya.
Tentang istilah “selamatkan Garuda”
Masalah penting lainya adalah kategori dana bail out. Beberapa elite berteriak untuk menyelamatkan Garuda Indonesia. Caranya bagaimana? Kalau pemerintah put some cash di Garuda, kategorinya apa? Apakah pemerintah sama-sama menaruh modal sesuai porsi saham di Garuda berbarengan dengan pemilik saham lainya?
Artinya, kalau hanya pemerintah yang memasukan modal atas nama penambahan modal, semestinya saham pihak swasta terdegradasi sesuai nominal yang dimasukan, sehingga saham mereka berkurang. Atau Garuda melakukan right issue (penerbitan saham baru) di mana pemerintah membeli semuanya, tapi saham pihak swasta terdilusi. Mau tak mau toh!
Atau pemerintah masuk atas nama hak partisipasi, misalnya, seperti Rio Tinto di Freeport dulu. Artinya, kalau hak partisipasinya setara dengan 25 persen saham Garuda Indonesia, pemerintah berhak mendapatkan pembagian omset dan untung setiap tahun sebanyak hak partisipasinya, tapi tak kebagian deviden dari yang 25 persen itu karena belum dikonversikan sebagai kepemililam saham, hanya disetarakan.
Atau bentuknya pinjaman? Kalau pinjaman, tanggung jawabnya juga dibagi sesuai kepemilikan modal dan dikembalikan sesuai perjanjian. Pemerintah bisa memberi guarantee letter atau surat utang negara kepada Garuda Indonesia, yang bisa diuangkan di pasar sekunder atau boleh jadi langsung dijual ke BI.
Risikonya, ketatnya harus seketat perbankan yang memberi pinjaman modal ke nasabah. Jika Garuda meminjam ke pemerintah dan ingin tetap independen, harus ada collateral. Tapi kalau cuma meminjam, mau tak mau, Garuda harus masuk rumah sakit atau di bawah Conservatorship Agency, misalnya.
Tapi masalahnya, kalau istilah “selamatkan Garuda” berarti suntik dana sebutuhnya, tanpa ada model yang jelas. Ya memang enak buat semuanya.
Enak buat pemilik saham, enak buat direksi dan managemen, tapi sakit buat rakyat karena ngambil uang pajak. Ya toh. Jadi istilah “selamatkan Garuda” itu harus jelas.
Sampai sekarang, rakyat tak pernah diinformasikan. Setiap kali pemerintah menyuntik dana, tak jelas modelnya seperti apa. Hanya seperti menyuntik narkoba, BUMN-nya justru makin teler.
Dengan kata lain, pemerintah harus tegas memosisikan dirinya dan jenis dana yang diberikan. Ingat, itu dana bukan dapat metik di pohon belakang Istana, tapi uang rakyat.
Gampangnya, pemerintah menyerahkan aset berupa surat utang kepada Garuda Indonesia. Kesepatakan pakai yield atau interest tertentu. Misalnya, jumlah nominalnya sekian triliun.
Garuda dipersilakan menguangkannya di pasar sekunder. Namun, untuk urusan pembayarannya, baik bunga dan modalnya, terutama di saat maturation date-nya tiba, ya menjadi tanggung jawab Garuda Indonesia. Satu lagi, BUMN ini harus masuk rumah sakit sampai sehat.
Dengan begitu, logikanya, Garuda menambah utang atas jaminan negara. Selama Garuda bisa sehat dan berpeluang membayar sendiri bunga dan modal nanti, maka negara tak terbebani. Artinya, agar rakyat tak dipaksa ikut membayar, mau tak mau, Garuda Indonesia harus di bawah Conservatorship Agency, diceraikan dari dunia politik, agar segera sehat.
BACA JUGA Kelas Ekonomi Garuda Indonesia Perlu Berbenah, Jangan Sampai Dibandingin Sama Batik Air dan ulasan menarik lainnya di rubrik ESAI.