MOJOK.CO – Musisi dan penyanyi Fariz RM ditangkap karena mengisap ganja, sedangkan teman saya kok tidak? Ini bijimana sih sebenarnya?
Musisi dan penyanyi Fariz RM ditangkap karena mengisap ganja, lalu saya teringat dengan lima teman di kampung, yang ketika kami masih muda, hampir selalu menghabiskan malam dengan mabuk minuman beralkohol.
Dulu, kami termasuk peminum kelas berat minuman beralkohol. Tiada hari tanpa minum. Pagi, siang, sore dan malam, kapan saja kami ingin, kami akan membuka botol.
Para tetangga menyebut kami pemabuk. Orang-orang di kampung mengutuki kami sebagai pemuda yang tak punya masa depan; tapi kami hanya tukang minum. Tidak yang lain. Tidak menyentuh apapun, misalnya yang kemudian banyak disebut orang sebagai narkoba.
Zaman itu, di pertengahan 80-an, di kota kami di pesisir Jawa Timur, memang jarang sekali narkoba. Paling top hanya magadon dan pil BK, pil yang ukurannya mirip pil KB. Warnanya kuning pucat.
Kami tahu pil-pil itu pada suatu siang, ketika seorang teman, anak seorang pejabat di kota kami, datang dari Surabaya dan membagikan kami pil BK masing-masing 10 butir. Kami mengunyahnya, menggerusnya seperti memakan manisan.
Sesudahnya, sampai sore kami menunggu reaksi pil itu, tapi tidak ada yang terjadi pada kami. Karena sampai malam kami tidak merasakan mabuk, kami akhirnya menenggak tiga botol minuman keras di pekarangan kuburan. Hasilnya: tentu saja kami terkapar. Tertidur di antara nisan-nisan sampai jam 7 pagi.
Suatu hari teman yang lain menawari kami ganja. Gelek, kata anak muda zaman dulu. Hanya dua linting tapi kami tak bisa mengisapnya. Sebagai gantinya, teman yang membawa ganja itu, membalik lintingan ganja itu: ujung yang ada baranya dimasukkan ke mulutnya lalu dia menyemprotkan asapnya ke hidung kami. Disuntik, kata orang. Mabuk?
Tidak ternyata. Kami hanya merasa seluruh badan menjadi seperti berat digerakkan dan mata kami terlihat seolah baru bangun tidur atau selesai bersanggama, selain juga terus-menerus mesam-mesem. Karena menganggap gelek tidak “nendang,” kami lalu membuka empat botol minuman keras.
Hasilnya: kami berenam kembali teler, tapi kali itu tidak terkapar di kuburan melainkan tidur di bengkel motor milik salah seorang dari kami.
Di pekarangan rumah salah seorang dari kami yang lain, suatu sore orang-orang ramai berkumpul. Seisi kampung geger. Gara-garanya, teman saya berlari-lari berkeliling kampung hanya dengan mengenakan cawat sambil berteriak-teriak menyebut nama saya. Kata orang-orang yang berkumpul, teman saya kesurupan. Orang tuanya panik.
Beramai-ramai warga kampung mencekalnya lalu mendudukkannya di lincak. Seorang sesepuh dipanggil dan dia membenarkan, teman saya telah kerasukan jin atau ruh jahat. Dia meminta ember berisi air dan kembang tujuh rupa.
Menjelang maghrib, sesepuh kampung mengguyur teman saya dengan air berisi kembang itu. Habis air seember, ember diisi lagi dan kembali disiramkan ke tubuh teman saya dari atas kepalanya.
Mulanya diguyur dengan gayung, lama-lama setiap air di ember langsung disiramkan ke teman saya. Begitu seterusnya hingga tujuh ember. Orang-orang kampung yang ikut menyaksikan kemudian takjub melihat teman saya sudah tidak berteriak-teriak.
Malamnya, kami datang ke rumahnya, menjenguk di kamarnya. Sambil masih berselimut, dia bercerita, dia sebetulnya bukan kesurupan tapi keliru nyuntik—nyepet, kata anak-anak muda zaman itu.
Ia menunjukkan lengannya kepada kami. Ada dua titik merah yang cukup besar di sana. Kata dia, senja itu dia ingin menyuntikkan satu ampul morfin, yang entah dia dapat dari mana, tapi salah memasukkan jarum suntik. Bukan ke urat nadi tapi ditusukkan ke bagian daging.
Kesalahan itu diulanginya dua kali hingga lengannya berdarah. Dia panik lalu berteriak-teriak karena mengira sesuatu yang buruk akan menimpanya.
Mula-mula hanya satu-dua orang yang datang ke halaman rumahnya karena ingin tahu kenapa dia berteriak-teriak, makin lama makin banyak orang yang datang. Dia malu, lalu berlari.
Maksudnya hendak menghindar dari orang-orang itu, tapi orang-orang itu malah mengejarnya, memitingnya, hingga memandikannya dengan air berisi kembang tujuh rupa.
“Lalu kenapa kamu terdiam saat dimandikan tadi?”
“Lah, aku kedinginan banget. Daripada embernya diisi air lagi, aku ya pura-pura diam.”
Pulang dari rumah teman itu, seorang teman yang lain berkata, “Kita memang tidak cocok di angkatan udara. Kita adalah angkatan laut sejati.”
Angkatan udara dan angkatan laut adalah bahasa kode kami. Angkatan udara adalah sebutan untuk pencandu ganja, heroin, obat-obatan dan sebagainya; sementara angkatan laut adalah sebutan untuk pecandu minuman keras seperti kami. Angkatan darat adalah sebutan bagi peminum tapi kemudian muntah.
Bagi kami memang tak ada yang lebih membuat teler selain menenggak minuman beralkohol. Jenis yang beredar di kota kami, saat itu pun sangat terbatas hanya wiski atau vodka merek Drum atau Mansion.
Dua merek itu, seingat saya, resmi diproduksi oleh sebuah pabrik di Cimanggis, Jalan Raya Bogor, Depok. Sesekali kami membeli gin merek Cap Kuntul, yang banyak orang sering menyebutnya jenewer (genévrier).
Bila sedang punya banyak uang, kami bisa membeli 6 botol Drum atau Mansion. Bila sedang cekak, kami hanya membeli sebotol. Itu pun patungan dari hasil menjual telur atau beras yang kami curi dari rumah kami masing-masing.
Lalu minuman yang hanya sebotol, kami minum bergiliran dan perlahan lewat sendok kuningan. Sendok per sendok, persis seperti balita meminum obat batuk.
Kami percaya saat itu, meminum minuman beralkohol melalui sendok kuningan sendok per sendok, akan mempercepat kami mabuk. Kadang kami mencampurnya dengan susu kental. Kami menyebutnya suma alias susu macan. Dan bila kami sudah banyak minum dan mabuk, reaksi kami bisa tidak terduga.
Suatu malam, di tempat pelacuran di kota kami, kami ribut dengan beberapa tentara yang juga mabuk. Kami tentu saja kalah, tapi teman yang pernah dimandikan dengan air tujuh ember yang kebetulan berbadan paling besar, melawan sampai titik darah penghabisan. Dia tersungkur. Para tentara menginjak-injak mukanya. Hidungnya sempat bengkok.
Sore keesokannya, kami kembali minum dan saat kami sudah mabuk, malamnya kami kembali mendatangi tempat pelacuran, mencari para tentara itu. Satu tentara diincar oleh teman saya yang hidungnya sempat bengkok. Duel kembali terjadi.
Hasilnya: kami tetap kalah tapi hidung teman saya tidak bengkok. Kami berhamburan lintang-pungkang sebelum diselamatkan oleh seorang germo.
Ketika membaca berita Fariz ditangkap karena ketahuan mengisap ganja di rumahnya di Bintaro, (polisi kok bisa tahu ya, ada ganja di rumah Fariz?) saya sungguh teringat lima teman saya di kampung.
Kecuali saya, mereka semua masih tinggal di kota kami. Ada yang menjadi karyawan perusahaan ekspedisi, ada yang membuka bengkel mobil dan sepeda motor, ada yang membuka usaha sablon, dan satu teman jadi calo jual-beli mobil.
Saya, dan saya yakin juga mereka, niscaya merasa beruntung, sebab zaman itu, setiap hari kami mabuk hanya dengan menenggak minuman keras asli yang diproduksi oleh pabrik dan legal, bukan oplosan. Tidak terbayang nasib kami seandainya saat itu sudah beredar minuman keras palsu atau oplosan yang belakangan ini telah merenggut nyawa banyak orang.
Waktu membaca atau mendengar berita tentang orang-orang yang mati karena minuman keras palsu, saya sering membatin: kenapa pembuat dan pengedar minuman keras palsu atau oplosan tidak ditangkap sejak awal dan dipidanakan oleh polisi?
Kenapa polisi lebih mengincar pengisap ganja (dan pengisap ganja yang punya nama seperti Fariz), meskipun menurut sejumlah penelitian, dampak ganja jauh tidak lebih berbahaya dibandingkan minuman keras apalagi yang oplosan dan palsu—yang sudah memakan korban nyawa banyak orang itu?
Ah, polisi.
BACA JUGA Solusi Brilian Legalisasi Ganja di Aceh Sebagai Penenang Warga dari Kemiskinan dan tulisan Rusdi Mathari lainnya.