Ada banyak penyebab orang gagal menikah. Sebutlah, misal keluarga tidak merestui, ajal memisahkan, calon pasangan lari dengan mantan, atau salah satu merasa tidak cukup layak dan memilih menghilangkan diri (yang terakhir ini hanya mampu dilakukan oleh orang-orang yang maqam-nya tinggi dalam dunia percintaan, coy), dst. … you name it.
Semua alasan itu bukan apa-apa di hadapan adat Batak. Sepele semua.
Soalnya, kita sudah biasa kan mendengar orang batal nikah karena alasan-alasan kayak di atas tadi. Nah, coba dengar ini. Beberapa waktu lalu saya lihat ada viral di media sosial curhatan seseorang perempuan yang pernikahannya gagal karena emasnya cuma setipis daun sangge-sangge alias daun serai. Luar biasa, Ketua!
Adalah eda ini yang curhat di fesbuk dengan mengunggah screenshot percakapannya dengan calon mertuanya, eh mantan calon lebih tepatnya, diikuti dengan caption bahwa tidak lama lagi dia akan menikah, namun memilih membatalkan karena tidak tahan dengan sikap materialistis calon ibu mertuanya (nggak semua orang Batak begitu kok).
Dengan semangat militan terus saja saya baca dengan saksama dan penuh penghayatan tiap screenshot yang ada di postingan itu, yang sudah meraih ribuan tanda suka dan komentar netizen Indonesia. Mayoritas komentar semua mendukung dan mendoakan eda ini, dan tentu diiringi cacian betapa zalim dan tidak bersyukur sang calon ibu mertua dan, aduhai, betapa anaknya juga nggak ganteng-ganteng amat.
Semua perempuan dalam riuh komentar di postingan tersebut bersepakat, kalau misalnya anak lelaki calon ibu mertua yang matre itu melamar mereka dengan sinamot seratus juta pun, mereka tak akan sudi. Kahkah. Malang kali nasib abang itu.
Baiklah. Fokus kita kembalikan pada isi perbincangan antara mantan calon mertua dan calon menantu yang orang Batak tersebut. Setelah saya analisis dengan memperhatikan susunan kata, membaca berulang beberapa bagian, maka saya tarik kesimpulan bahwa calon ibu mertua eda itu memang matre. Huh!
Ngana bayangkan, adakah patut seorang calon ibu mertua membandingkan kalung emas yang dipakai calon menantunya saat acara adat Martumpol (perjanjian pernikahan di gereja sebelum pemberkatan pernikahan) dengan tipisnya daun sangge-sangge? Rusak betul! Itu belum beliau mengungkit model pakaian calon menantu yang ketinggalan zaman, diikuti rentetan tuduhan ingin merebut rumah dan harta warisan, dan diakhiri dengan penjelasan bahwa anaknya dan si calon menantu tidak sepadan. Udah macam nonton sinetron pulak awak rasa ah. Padahal sebelum acara adat Martumpol tersebut, keluarga kedua calon mempelai sudah bertemu dalam beberapa tahapan adat yang lain.
Berbicara tentang adat pernikahan dalam suku Batak memang rumit. Pernikahan yang sempurna menurut adat Batak harus mengikuti seluruh tahapan adat mulai dari: marhusip, marhori-hori dinding, marhata sinamot, martumpol, martonggo raja, manjalo pasu-pasu, pesta unjuk, paulak une, dan maningkir tangga. Kesemua acara itu, Bung, memerlukan biaya yang sangat, sangat, sangat besar sekali. Apabila ada tahapan yang dilewatkan atau tidak dilaksanakan, bersiaplah menghadapi bisik-bisik tetangga. Hiks
Selain tata cara prosesi adat Batak yang panjang dan melelahkan, ada juga beberapa pakem kuno yang akan dihadapi oleh para calon pengantin dari suku Batak. Antara lain, semakin besar uang sinamot (mahar dari pihak laki-laki ke pihak perempuan), artinya semakin tinggi nilai perempuan itu di mata keluarga lelaki. Bahkan ada juga sinamot yang disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Makin tinggi pendidikan, makin tinggi nilai sinamotnya. Nggak, Lae, saya nggak lagi bercanda ini. Sebab itu, tak jarang banyak pasangan kekasih suku Batak yang harus memendam hasrat menikah selama bertahun untuk mengumpulkan dana demi memenuhi tuntutan adat.
Sebagai anak Batak yang juga bangga dan menjunjung tinggi adat istiadat, bagi saya tidak ada yang salah dengan kewajiban memenuhi keseluruhan tahapan adat tadi. Namun, kita juga perlu mengubah pola pikir dan pakem negatif yang sudah mengakar di masyarakat adat suku Batak. Bahwa bolehlah hal-hal yang hanya sebagai pelengkap dalam prosesi adat dikurangi, misalnya perhiasan mewah, baju-baju mahal, make-up yang berlebihan, atau sewa gedung/wisma besar-besar untuk dipakai sehari saja. Toh, banyak juga pasangan muda yang berani berpikir dan bertindak di luar kebiasaan.
Seorang sahabat karib saya yang baru saja melangsungkan pernikahan misalnya, meski dia dan calon suami sudah mempersiapkan dana untuk pesta pernikahan sebelumnya, tapi ya selow aja dia pakai sendal monza harga 50 ribu saat Martumpol, mengenakan kebaya dan kain songket berbahan biasa, hingga memasang sendiri payet kebaya pengantinnya. Coba Eda bayangkan! Dan hasil penghematan itu bisa mereka gunakan untuk menutupi biaya acara adat yang lain. Tak perlu menyusahkan diri sendiri dan keluarga dengan beban biaya berlebihan, sebab esensi adat itu sendiri adalah mengeratkan kekeluargaan dan memupuk semangat gotong-royong antartetangga dan antarmarga dalam keluarga Batak.
Maka alangkah baiknya kalau kita yang muda-muda ini berani keluar dari prinsip-prinsip yang berbau materi dalam urusan adat. Itu semua gadis-gadis Batak, coba klen ngomong baik-baik sama mamak dan bapak klen tentang keadaan calon suami klen, rencana hidup klen, dan bilang sinamot mahal-mahal itu nggak menjamin kebahagiaan sebenarnya. Klen kan perempuan terhormat yang layak dihargai dengan kasih sayang sepenuhnya, bukan bandrolan harga semata, betul nggak?
Begitu juga anak lajang, sebelum datang ke rumah perempuan untuk merisik, pandai-pandailah klen menjelaskan tentang keadaan keluarga gadis pujaan hati klen sama keluarga. Biar nggak jatuh menghina saat nggak sesuai harapan, biar jangan sampai keluar omongan emas hanya setipis daun sangge-sangge. Sakit kali itu rasanya, Bung.
Kalau apa, ya klen ingatkan mereka bait lagu legendaris ini, yang bisa jadi dulu juga jadi andalan mereka saat menghadap calon mertua masing-masing: hartaaa hanyalah hiasan hidup semataaa/kejujuran, keikhlasan itu yang utamaaa.
Tentang eda yang nggak jadi nikah tadi, setelah postingan fesbuknya viral, tahu-tahu sudah muncul lagu Batak yang didedikasikan kepadanya, berjudul “Satipis Bulung Sangge Sangge (Kalung Mas I)”. Siapa pun yang punya curhatan, lagu bahasa daerah tetap yang jadi juaranya.