MOJOK.CO – Apa yang terjadi jika Muhammadiyah tidak pernah ada? Pendidikan kita akan tertinggal, pergerakan nasional kurang berwarna, dan koneksi kita dengan Islam global lebih lambat.
Sejarah selalu menyimpan banyak persimpangan. Ada momen-momen yang jika diputar ulang dengan hasil berbeda, bisa mengubah wajah bangsa secara keseluruhan.
Pertanyaan imajiner ini kerap dipopulerkan oleh Marvel lewat serial What If…? Sebuah eksperimen cerita tentang apa yang terjadi jika jalannya sejarah berubah sedikit saja.
Mari kita mencoba melakukan eksperimen serupa pada sejarah Indonesia. Bagaimana jika KH Ahmad Dahlan tidak pernah ada dan Muhammadiyah tidak pernah berdiri?
Tanpa Muhammadiyah, pendidikan Islam tertinggal
Ketika mendirikan Muhammadiyah pada 1912, KH Ahmad Dahlan membawa terobosan besar. Beliau memadukan pendidikan agama dengan ilmu umum dalam satu sistem sekolah modern.
Inovasi ini sangat berani untuk masanya. Saat itu, sekolah-sekolah Islam lebih banyak mengajarkan ilmu agama secara tradisional. Di sisi lain, sekolah kolonial Belanda mendominasi pendidikan modern.
Sekarang bayangkan jika Muhammadiyah tidak pernah berdiri. Bisa jadi pendidikan Islam akan tertinggal jauh lebih lama.
Generasi Muslim Indonesia mungkin akan tetap terbagi. Mereka yang masuk sekolah Belanda menjadi terdidik, tapi tercerabut dari akar keislaman. Sementara itu, mereka yang tetap di pesantren, sulit beradaptasi dengan ilmu pengetahuan modern.
Integrasi yang kemudian menjadi salah satu kekuatan bangsa mungkin tertunda puluhan tahun. Dampaknya, umat Islam Indonesia bisa kehilangan kesempatan emas untuk melahirkan kader-kader yang cakap di ranah agama, sekaligus sains dan teknologi sejak awal abad ke-20.
Hilangnya basis filantropi Islam
Salah satu warisan paling nyata dari Muhammadiyah adalah jaringan amal usahanya. Selain itu, ada juga rumah sakit, panti asuhan, dan layanan sosial yang tersebar hingga ke pelosok negeri.
Tanpa Muhammadiyah, mungkin umat Islam Indonesia akan lebih lama bergantung pada lembaga sosial kolonial atau misi zending Kristen. Bukan berarti itu buruk, tetapi posisi umat Islam akan lebih lemah secara kemandirian.
Bayangkan sebuah Indonesia alternatif tanpa ratusan rumah sakit Muhammadiyah, sekolah-sekolah yang bisa diakses rakyat kecil, dan panti asuhan yang dikelola dengan nilai keislaman. Filantropi Islam akan kehilangan fondasi awal yang kokoh, dan pembangunan sosial umat bisa jauh lebih lambat.
Tanpa Muhammadiyah, peta ormas Islam berbeda
Ketiadaan Muhammadiyah juga akan mengubah peta organisasi Islam di Indonesia. Nahdlatul Ulama kemungkinan besar menjadi satu-satunya ormas besar tanpa penyeimbang dari kalangan modernis.
Perdebatan intelektual dan dinamika keagamaan antara tradisionalis dan modernis mungkin tidak akan muncul. Khususnya dengan intensitas seperti yang kita kenal sekarang.
Padahal, perbedaan itu justru membentuk wajah Islam Indonesia yang kaya perspektif. Muhammadiyah dengan semangat modernisasinya, NU dengan kekuatan tradisi pesantrennya. Tanpa Muhammadiyah, wajah Islam Indonesia bisa lebih homogen, tetapi mungkin juga lebih miskin dalam hal dinamika pemikiran.
Gerakan nasionalisme yang pincang
Kita tidak bisa memungkiri, banyak tokoh nasional lahir dari rahim Muhammadiyah. Mereka menjadi penggerak kemerdekaan dengan basis intelektual Islam yang kokoh. Jika Muhammadiyah tidak pernah berdiri, gerakan nasional bisa jadi lebih didominasi oleh kelompok sekuler atau tradisionalis.
Ini berarti perjuangan bangsa akan kehilangan salah satu warna penting, nasionalisme yang lahir dari Islam modernis. Semangat perjuangan bisa jadi tetap ada, tetapi basis ideologisnya akan berbeda. Mungkin Indonesia tetap merdeka, tetapi narasi kebangsaannya tidak akan sekuat sekarang dalam merangkul keragaman cara pandang umat Islam.
Islam global yang terhambat
Satu lagi warisan penting Muhammadiyah adalah keterhubungannya dengan dunia Islam modern, khususnya dari Timur Tengah. Gagasan-gagasan pembaharuan dari Mesir, Turki, dan kawasan lain masuk ke Indonesia lewat Ahmad Dahlan. Jika itu tidak pernah terjadi, umat Islam Indonesia bisa lebih lama terisolasi dari wacana modernisasi global.
Akibatnya, posisi umat Islam Indonesia dalam peta dunia Islam mungkin lebih marginal. Kita tidak akan dikenal sebagai bangsa dengan ormas Islam modernis yang besar dan berpengaruh.
Menutup dengan refleksi
Eksperimen what if ini tentu hanya imajinasi. Sejarah nyata membuktikan bahwa KH Ahmad Dahlan lahir, mendirikan Muhammadiyah, dan mengubah wajah pendidikan serta sosial-keagamaan di Indonesia. Tetapi dengan bertanya “bagaimana jika tidak?”, kita jadi lebih menghargai arti penting sebuah organisasi dan seorang tokoh.
Marvel, lewat What If…? selalu menutup kisahnya dengan peringatan dari “The Watcher”. Bunyinya:
“Setiap keputusan, sekecil apapun, bisa mengubah jalannya dunia.”
Demikian pula dengan sejarah bangsa ini. Kehadiran KH Ahmad Dahlan bukan hanya persoalan personal, melainkan titik balik yang membentuk masa depan Indonesia.
Maka, ketika kita bertanya: “What if, pendiri Muhammadiyah tidak pernah ada?”, jawabannya sederhana: mungkin Indonesia tidak akan seperti sekarang. Pendidikan kita akan tertinggal, kemandirian sosial umat melemah, pergerakan nasional kurang berwarna, dan koneksi kita dengan Islam global lebih lambat.
Karena itu, alih-alih sekadar berandai-andai, lebih bijak jika kita melanjutkan estafet perjuangan Ahmad Dahlan. Sejarah sudah membuktikan kontribusinya. Kini tinggal bagaimana generasi penerus menjaga agar semangat pencerahan itu tidak padam di tengah tantangan zaman baru.
Penulis: Marjoko
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Alasan Saya Tetap Mau Jadi Dosen Muhammadiyah walau Tahu Hidupnya Bakal Susah dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.












