MOJOK.CO – Ajakan pasangan saya untuk menikah bikin saya membayangkan sebuah dunia yang ideal untuk orang LGBTQ, khususnya lesbian kayak saya.
Beberapa minggu lalu, pasangan saya selama lima tahun terakhir mengungkapkan sesuatu yang tidak pernah benar-benar saya pikirkan.
“Nanti, mungkin lima tahun lagi, let’s get married.”
Jujur saya terkaget-kaget karena ajakan itu. Sebagai lesbian tulen, saya nggak pernah kepikiran buat menikah secara resmi. Jangankan muluk-muluk memikirkan pernikahan, saya sudah sangat sadar, untuk orang LGBTQ di Indonesia, punya hak hidup saja sudah sebuah privilese.
Ajakan pasangan saya itu membuat saya mencoba membayangkan sebuah dunia yang ideal untuk kami, orang LGBTQ.
Dalam dunia ideal itu, negara-negara akan menghargai, melindungi, dan tidak lagi mengurusi privasi warganya. Termasuk soal orientasi seksual. Bayangan seperti ini jika sampai terwujud, akan jadi indah sekali buat saya.
Kami, misalnya, jadi tidak perlu mikir untuk bekerja mengumpulkan uang sampai lima tahun ke depan. Cukup kerja dua tahun rasanya sudah cukup sekadar bikin pesta kecil yang dihadiri keluarga dan kerabat dekat.
Tapi, karena sekarang kenyataannya kami tinggal di Indonesia, kami wajib mengumpulkan dana untuk setidaknya pergi ke negara lain hanya demi menikah. Negara yang paling dekat ada Thailand, Australia, atau Taiwan. Jika punya uang belerbih, bisa juga ke Kanada.
Tapi, untuk apa sih kami menikah secara resmi?
Ini yang kadang bikin saya iri. Buat pasangan heteroseksual di Indonesia, mereka bisa mendapatkan kertas-kertas yang sepenuhnya berfungsi. Bukan cuma lembaran kertas, tapi ada gunanya semisal ketika cerai, terus ada pembagian harta bersama.
Sementara saya, ketika saya menulis nama pewaris di asuransi misalnya, saya masih harus mikir, boleh nggak ya saya masukin nama partner? Nanti kalau ditanya apa hubungannya, saya jawab apa dong? Masak cuma teman. Kalau disebut pacar atau partner, keluarga saya yang akan bingung. Terus nanti, jangan-jangan pasangan saya dikatai sebagai “perusak” saya.
Dengan nada ironi, dengan gaya Indonesia yang suka mengambil hikmah dari setiap kesulitan, saya masih sempat-sempatnya menganggap rasa takut dipergoki sebagai LGBTQ ini kadang ada gunanya.
Suatu kali saya berlibur di luar negeri. Dalam kondisi kurang fit, saya dan pasangan jalan-jalan ke museum. Tadinya saya sempat hampir tertidur di lantai museum yang sedang ramai dikunjungi, tapi setengah mati saya terus pertahankan kesadaran. Setidaknya supaya kuat jalan sampai mobil biar nggak ditangkep polisi.
Soalnya saya khawatir sekali, jika ditangkap polisi, lalu wartawan meliput, nama saya akan masuk media Indonesia. Terus kami ketahuan sebagai pasangan lesbian yang lagi liburan sama temannya yang juga lesbian, terus yang diekspose bagian lesbiannya, seolah-olah itu semua nyambung.
Dalam dunia ideal yang saya bayangkan, saya juga nggak akan perlu mengumumkan diri sebagai seorang lesbian. Duh, idaman banget kalau seorang LGBTQ nggak perlu come out (of the closet) atau melela.
Soalnya, melela itu repot. Buat kamu yang pernah nonton serial atau film yang ada tokoh LGBTQ-nya, kayak Atypical, Sex Education, Pretty Little Liars, atau Glee (aduh, ketahuan kalau angkatan tua), mungkin pernah menyaksikan gimana (((kontroversi hati))) si karakter untuk yakin bahwa dia emang tertarik pada orang sesama jenis. Terus hasil dari pengakuan itu jelas bikin deg-degan: ada yang diterima keluarga dan lingkungannya, ada juga yang dibuang.
Pembaca yang straight, heteroseksual, mungkin sulit membayangkan bagaimana perkara sealamiah jatuh cinta bisa bikin saya dan teman-teman LGBTQ lain kebingungan.
Gimana nggak kebingungan? Sejak kecil yang saya tahu hanya ada satu jenis hubungan, yakni hubungan heteroseksual. Kan saya jadi heran, kenapa ya saya dari kecil nggak tertarik untuk ngobrol sama cowok ganteng?
Eh, kok kalau ngobrol sama temen cewek yang cakep, pinter, rasanya deg-degan? Kenapa pas dapet chat dari dia atau ketika candaan saya bisa bikin dia ketawa, rasanya kayak duar-duar, gitu? Kenapa saya sebagai cewek nggak ada deg-degannya sedikit pun sama cowok?
Sama kayak melela. Orang heteroksual mana perlu melela ke keluarganya bahwa dia hetero. Pasti siapa pun udah langsung mengasumsikan pacar kalian pasti lawan jenis, kelak kalian akan menikah, dan orang tua tinggal nanya kapan punya anak.
Beda dengan homoseksual kayak saya yang harus me-manage ekspektasi orang tua saya: bahwa saya tuh nggak suka banget dikenal-kenalkan dengan anak teman mereka, bahwa kemungkinan besar orang tua saya nggak akan punya cucu dari saya, dan seterusnya.
Saya sendiri sudah melela kepada keluarga. Walau tidak sampai diusir, prosesnya tidak semulus yang saya inginkan. Yang membuat saya sedih, pengakuan saya membuat orang tua merasa gagal sebagai orang tua. Makin sedih karena anggapan itu mereka yakini bukan karena saya jadi pembunuh, tapi hanya karena saya menyayangi sesama perempuan.
Meski merepotkan, melela bisa memenuhi kebutuhan paling dasar sebagian orang, yakni kebutuhan untuk diakui dan tetap dicintai, terlepas dari orientasi seksual. Kadang, motifnya juga untuk mengedukasi, seperti yang saya lakukan kepada teman-teman saya. Habis, menyebalkan lho mendengar omongan-omongan jahat orang atas sesuatu hanya karena menganggap hal itu jauh dari mereka.
Dengan teman-teman saya tahu bahwa saya lesbian, mereka jadi sadar LGBTQ itu ada di sekitar mereka. Plus, saya jadi bisa sekalian menyaring, siapa yang memang teman, dan siapa yang lebih baik dijauhi (metode ini berhasil!). Saat ini saya bersyukur bahwa teman-teman bisa menerima saya.
Balik lagi ke ajakan nikah tadi. Akhirnya saya mengiyakan ajakan partner saya soalnya… seru aja. Hahaha. Jika dia baca ini, Hi Babe! Please, aku mau cincin dari bahan meteorite atau tulang dinosaurus.
Oh iya, di dunia ideal yang saya idamkan, saya juga nggak perlu mikir seribu kali buat menulis pakai nama asli hanya karena banyak orang di luar sana yang membenci kami.
BACA JUGA Bisakah Seorang Muslim Bersahabat dengan LGBT? atau tulisan soal LGBT lainnya.