Mengurus SKCK di kampung halaman
Dengan hoodie dan celana pendek serta ransel di punggung, saya berangkat menerjang jalanan yang lebih dari setengahnya tidak beraspal. Musim hujan yang mengguyur Kalimantan saat itu memperparah kondisi jalan yang sebelumnya sudah jelek jadi makin jelek. Jalanan licin dan berlubang penuh lumpur. Estimasi perjalanan yang tadinya paling lama hanya 4 sampai 5 jam, meleset jadi 6 jam.
Saya sampai di kantor polisi kurang lebih pukul 13:00 siang. Meski sedikit kesiangan, seharusnya masih ada cukup waktu.
Sesampainya di halaman parkir kantor polisi, saya langsung menuju pos penjagaan yang lokasinya tepat di samping gerbang masuk. Saya hendak bertanya di mana ruangan untuk mengurus SKCK.
Namun, belum sempat saya bicara, seorang petugas paruh baya yang berjaga memarahi saya ‘’Kau balik dulu ganti celana. Masak ke kantor polisi pakai celana pendek, emangnya menurutmu sopan kayak gitu?’’
Saat itu jujur saya kesal dan bingung kenapa ada aturan semacam itu. Saya ke sana memakai baju dan celana lengkap, tidak bertelanjang dada. Celana juga meskipun pendek sudah menutup lutut. Maksudnya, sejelek apa bentuk kaki saya sampai semua bagiannya harus ditutup. Toh saya ke sini cuma mau buat SKCK, bukan upacara.
Setelah dimarahi begitu, saya menjelaskan kalau saya dari desa, jalannya berlumpur karena itu saya pakai celana pendek. Saya bilang akan mengganti celana dulu lalu kembali lagi ke sini.
Si petugas mengiyakan dan kemudian menjelaskan beberapa detail persyaratan yang harus dilengkapi dan lokasi pelayanan. “Kalau dokumennya sudah lengkap nanti urus di sebelah sana (sambil menunjuk sebuah koridor) dan ambil antrean.”
Untung saja saya bawa celana panjang di ransel. Jika tidak betapa mengesalkannya gagal buat SKCK hanya karena perkara fashion.
Dibuat semakin kesal
Saya kemudian pergi ke sebuah warung makan yang tidak jauh dari kantor polisi untuk menumpang ke kamar mandi dan ganti celana. Setelah selesai ganti celana saya langsung bergegas kembali ke kantor polisi.
Karena sudah mengetahui lokasi pelayanan SKCK, saya berniat langsung ke sana. Namun, ketika melewati pos penjagaan, saya diteriaki oleh petugas.
‘’Hehh! Mau ke mana? Kalau mau masuk lapor dulu di sini, jangan asal masuk aja. Tolong hargai petugas.’’
Di situ saya kembali bingung karena saya cukup yakin dia ingat wajah saya. Dia juga seharusnya masih ingat keperluan saya karena saya muncul tidak sampai 5 menit dari pertama kali dia memarahi saya.
Saya kurang yakin dalam 5 menit itu ada orang lain yang dia marahi selain saya. Tapi saya coba berpikir positif mungkin saja hari ini banyak orang kurang ajar yang datang ke kantor polisi.
Dengan sedikit gondok saya jelaskan ulang keperluan saya, dan dengan kalimat yang sama dia ulang penjelasan dia sebelumnya. Sungguh percakapan yang tidak efisien.
Semakin kesal saja hanya demi SKCK
Di lokasi pelayanan SKCK, saya terlebih dahulu diharuskan mengisi data diri di website. Sepertinya ini website yang dibuat khusus untuk keperluan pelayanan publik.
Ini adalah website dengan user interface yang jeleknya sulit dijelaskan dengan kata-kata. Bagian menunya berkelap-kelip seperti lampu strobo. Website yang berkali-kali error, dan kode verifikasi yang tidak muncul ketika sudah submit data. Mungkin kalau ada kompetisi website paling jelek, website ini bakal jadi juara di semua kategori.
Setelah bersusah payah mengisi data diri di website dan menunggu antrean, saya kemudian dipanggil untuk verifikasi data. Namun, ketika proses verifikasi ternyata ada salah ketik pada data diri dan mengharuskan saya mengisi ulang dan kembali antre. Sialnya, karena antrean masih banyak dan jam layanan ternyata selesai pukul 15:30 sore, saya disuruh kembali esok hari.
Karena sudah lelah dan kesal, saya tidak banyak berkomentar. Esoknya saya mempersiapkan diri lebih matang demi SKCK.
Saya satang dengan celana panjang, mendatangi lagi petugas di pos jaga, dan melakukan kembali percakapan tidak efisien seperti sebelumnya. Melengkapi data diri di website jelek itu lagi dan mengecek berkali-kali kesesuaian data.
Lagi-lagi, semakin kesal saja
Tapi, kesabaran saya masih diuji lagi. Pelayanan dimulai satu jam lebih lama dari seharusnya. Pintu ruang pelayanan SKCK masih tertutup rapat tanpa ada manusia di dalamnya. Kondisi perut yang sebenarnya sudah lapar, saya paksa berkompromi dibanding harus keluar mencari makan dan kembali lagi dengan melapor ke pos jaga.
Setelah menunggu sekian lama, akhirnya pelayanan dibuka. Proses verifikasi aman tanpa ada salah ketik lagi. Berlanjut melakukan pembayaran dan kemudian menerima dokumen SKCK.
Setelah dokumen di tangan, saya langsung pulang ke desa. Melewati jalan yang masih sama jeleknya. Sesampainya di rumah, saya memandangi SKCK ini dengan banyak pertanyaan di kepala.
Kenapa saya perlu bersusah-susah, dua kali dimarahi polisi, dan menghabiskan dua hari hanya untuk dokumen lamaran pekerjaan yang sebetulnya tidak memiliki pengaruh apapun terhadap peluang saya diterima kerja?
Sementara di luar sana, mantan terpidana korupsi bisa mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Sebuah pekerjaan yang mereka sering anggap sebagai pekerjaan terhormat. Kenapa untuk pekerjaan yang kadang gajinya mepet UMR pun tidak, kita perlu label ‘’orang baik’’ lewat SKCK agar paling tidak bisa memenuhi kualifikasi? Bikin kesal saja.
Penulis: Reno Ismadi
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA SKCK Harusnya Tidak Lagi Jadi Syarat Melamar Kerja, kalaupun Wajib Ada, Sebaiknya Dipermudah Saat Menerbitkannya dan pengalaman menyebalkan lainnya di rubrik ESAI.












