MOJOK.CO – Abah Lala, salah satu sosok kreatif di dunia dangdut koplo Indonesia, adalah legenda di kampungnya. Sosok yang sangat menginspirasi.
17 Agustus 2022 menjadi peristiwa yang takkan pernah dilupakan Farel Prayoga. Dia didaulat Presiden Joko Widodo untuk menghibur para pejabat dan amtenar negara, yang turut membuat pemirsa di seantero negeri bersenandung dan tertawa bersama lagu dangdut koplo. Saking ramainya, dia diminta menyanyikan “Ojo Dibandingke” sampai dua kali.
Di dalam mobil, nun jauh dari istana, seorang pria bertubuh subur khusyuk menonton aksi Farel. Lalu dia menitikkan air mata, terharu, sekaligus bangga atas karyanya yang berkelana ke mana-mana. Lagu dangdut koplo ciptaannya ternyata bisa membuat Menhan Prabowo Subianto dan menteri-menteri lain berjoget di hadapan Jokowi. Dia lalu mengucap syukur atas rezeki yang telah diraihnya.
Nama pria 36 tahun itu: Agus Purwanto. Kita semua mengenalnya sebagai Abah Lala. Konon, julukan itu berasal dari nama olok-olok dari seorang kawan berkat perawakannya yang mirip tokoh Lala Teletubbies. Dia lahir dan besar di sebuah dusun di lereng Merapi, masuk wilayah Boyolali. Cerita tentangnya banyak dipenuhi kosakata “konon” dan “katanya”.
Legenda Abah Lala
Salah satunya saya dapat dari Rangga Eshayoga alias Egha, disjoki dan produser musik yang pernah bekerja bareng Abah Lala. Sambil terkekeh tak henti-henti, Egha bercerita bahwa Abah begitu mencintai kampungnya, tepatnya Dukuh Bendo Legi, yang masuk wilayah Kecamatan Musuk, Boyolali, Jawa Tengah.
Dia, antara lain, memasang puluhan kamera CCTV di seantero dukuh. Demi keamanan? Tentu saja. Terlebih dukuhnya kerap tawuran dengan dukuh tetangga.
Tapi kok banyak amat? Begini, saat mentas, Abah Lala kerap memboyong para pemuda kampung yang tak hanya berkontribusi di departemen musik dangdut koplo, tapi juga tetek bengek lain seperti transportasi dan rigging panggung. Jumlahnya bisa sampai 30 orang. CCTV, yang kini bisa diakses melalui hape, menjamin rasa aman bagi Abah Lala dan sekondannya saat jauh dari rumah.
Abah Lala juga membelikan puluhan handy talkie yang dibagikan masing-masing satu biji ke rumah-rumah. Sinyal telepon di sana amburadul, hambatan komunikasi adalah hal biasa. Alat ini dapat mengatasi hal krusial di sana seperti kewajiban meronda. Tak melihat pengumuman di WhatsApp karena kendala sinyal atau tidak punya kuota tidak bisa dijadikan alasan bagi mereka yang bolos ronda.
Abah Lala dan Didi Kempot
Kita rewind kasetnya sebentar. Mungkin pembaca Mojok ada yang belum tahu.
Abah Lala punya andil besar saat demam Didi Kempot meledak tiga tahun silam. Pasalnya, senggakan “Cendol Dawet”, yang menyempal di beberapa lagu Didi Kempot, yang kita kumandangkan dengan gegap gempita itu, adalah ciptaannya.
“Cendol Dawet” yang membius penonton untuk berpartisipasi itu adalah secuil dari beberapa senggakan lain yang lahir dari kreativitasnya di khazanah dangdut koplo. Yang tak kalah populer adalah senggakan “ra nduwe duit ra nduwe yank” dan “soto seger mbok giyem”.
Senggakan sebagai bagian krusial dangdut koplo
Kini memang ada Denny Caknan dan Ndarboy, tapi akuilah: kita masih kehilangan Didi Kempot. Sosok yang rasanya kok terlalu cepat meninggalkan kita. Terlalu cepat menuai jerih payah yang dia tanam puluhan tahun sebelumnya.
Musik tradisional tidak pernah semasif ini dirayakan. Lagu-lagu campursari didendangkan dan dijogeti ribuan orang yang bahkan tak memahami bahasa yang dipakai di lagu tersebut. Terakhir, yang sanggup melakukannya mungkin hanya sang maestro Benyamin Sueb.
Campursari, sebagaimana dangdut, banyak dioplos gaya dangdut koplo. Senggakan, dalam kultur musik tradisi Indonesia, tak sekonyong-konyong datang. Senggakan sudah lama menjadi elemen penting dalam berbagai musik tradisi lain. Senggakan ada pada karawitan, jathilan, hingga lengger Banyumasan.
Abah Lala, yang sebelumnya berkiprah bersama Orkes MG 86, menciptakan banyak senggakan. Begitu “Cendol Dawet” populer, dia jadi jadi rajin meracik lagu, tak hanya senggakan.
Baca Halaman Selanjutnya….