Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Cara Ikan Pindang Melawan Ikan Kelas Kakap

Abdul Gaffar Karim oleh Abdul Gaffar Karim
22 Maret 2021
A A
Cara Ikan Pindang Melawan Ikan Kelas Kakap

Cara Ikan Pindang Melawan Ikan Kelas Kakap

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

MOJOK.CO – Istilah “ikan kelas kakap” untuk politikus besar bisa jadi merupakan cara tersembunyi masyarakat “kelas pindang” melawan selama ini.

Kelompok yang punya daya kuasa terbatas, konon punya banyak cara untuk mengekspresikan perlawanan pada yang lebih berkuasa. Mau melawan langsung, mereka tidak berani. Kalau berani pun, mereka tak punya daya.

Tapi perlawanan harus dilakukan, biar jiwa tetap merdeka. Bagaimana caranya?

Salah satu cara perlawanan orang-orang yang terkuasai itu oleh ilmuwan politik James Scott disebut sebagai hidden transcript (sudah, nggak usah dibahasa-Indonesia-kan, nanti malah hilang rasa bahasanya).

Dua dekade lalu, Scott menulis bahwa orang-orang yang terkuasai kerap menggunakan strategi resistensi yang sengaja dibuat tidak tampak oleh para penguasa. Di permukaan, mereka mematuhi rancangan peran yang harus dijalani: patuh pada penguasa; mengiyakan semua perintahnya. Itu kata Scott adalah public transcript.

Tapi terpendam dari pandangan orang, tersembunyi dari penglihatan, tak kentara di bawah mentari, ada perkataan dan perbuatan yang menyimpan perlawanan di balik pujian. Dilihat dengan mata telanjang, perkataan dan perbuatan itu tampak baik-baik saja. Tapi dilihat dengan mata batin (ahahay…) terlihatlah perlawanan yang sengit.

Banyak lho, hal-hal dalam hidup kita sehari-hari adalah hidden transcript yang bakal kita sadari jika sempat memperhatikan dengan seksama. Itu saya pahami ketika ada sebuah hal kecil yang mengusik kesadaran saya tanpa sengaja.

Begini ceritanya….

Kapan hari saya pergi belanja bersama istri, di sebuah supermarket di kawasan Kentungan, Yogyakarta. Di sana saya melihat kepala ikan berukuran cukup besar, berwarna perak kemerahan.

“Itu kepala apa ya?” saya bertanya pada istri.

“Ikan.”

“Iya tahu, kepala ikan. Maksudku ikan apa?”

“Oh, itu kakap. Kakap merah.”

“Enaknya dibuat apa? Sup ikan?”

Iklan

“Bisa. Lebih enak lagi digule.”

“Beli ya.”

“Ya…,” ini adalah contoh SNI (sudah nanya istri) dan ISO (istri sudah oke) yang sempat viral itu.

Sampai di rumah, kepala ikan itu menginap dulu sehari semalam di kulkas. Baru esoknya kami sempat mengolahnya.

Setelah melalui proses yang agak rumit (yang bagi penggemar mie instan seperti saya terasa seperti buang-buang waktu) jadilah gule ikan di kuali besar. Kuahnya yang kekuningan tampak laras dengan kulit ikan yang kemerahan. Aneh kalau ada orang yang tak tergoda.

Abaikan diet non-karbo. Gule seperti ini adalah hasil perkembangan berabad-abad yang sejalan dengan revolusi agrikultur. Di dalam revolusi itulah kita mengenal nasi yang ditanak pulen, menemani rasa rempah di setiap rancangan kuliner yang adiluhung. (Ini adalah contoh cara dengan berlagak ilmiah untuk memberi alasan: gule kakap merah itu harus dimakan dengan nasi.)

Saya eksekusi kepala kakap itu pelan-pelan. Kata para ahli kuliner, bagian terbaik ikan besar adalah pipinya. Bagian terbaik kedua adalah bibirnya. Beda toh, dari ayam: yang terbaik adalah pahanya.

Jadi saya cubit daging di pipi kepala kakap itu. Potongan yang terbawa tangan saya sungguh terasa lembut di mulut. Suapan daging pipi itu segera saya susuli dengan suapan kuah gule. Rasa daging yang agak manis itu segera dibanjiri oleh nuansa gurih dan pedas.

Sekepal kecil nasi menyempurnakannya: rasa manis ringan di nasi menyeimbangkan segala yang dibawa oleh daging kakap pipi kakap dan kuah gule itu.

Bibir kakap yang menyusul saya jamah itu seperti lapisan kolagen yang konon bisa membuat orang awet muda. Daging di rahangnya pun berkarakter sama.

Saat membongkar rahangnya itu lah, si Nida anak perempuan saya bertanya, “Where is the fish’ brain?”

“Ini lho, Nduk.” Saya menunjuk pada bagian atas kepala kakap. “Mau lihat?”

Dia mengangguk. Saya lalu pelan-pelan bongkar tempurung kepala di atas rahang, untuk menunjukkan lokasi otak si kakap.

Dan tahukah sampeyan, saat itu saya terperanjat bukan main. Setengah terpekik saya tanya ke istri, “Eh, ini kakap kok nggak ada otaknya ya?”

“Ya nggak mungkin lah. Pasti ada.”

“Mana?”

“Itu.” Dia menunjuk ke sebuah bulatan kecil tepat di atas rahang.

“Sekecil ini? Keras banget lagi tulangnya.”

“Ya mau segeda apa, namanya otak ikan.”

“Gedean otaknya ikan yang biasa dipindang ya?”

“Mana mungkin. Jelas gedean otaknya kakap,” dia menjawab sambil menatap heran ke saya.

“Nggak, maksudku dari segi proporsinya itu lho.”

“Proporsi gimana?”

“Otak dibanding ukuran tubuh. Prosentase volume otaknya jelas lebih kecil dari prosentase volume otak ikan pindang. Pindang 15 cm otaknya 1 cm; sementara kakap dengan kepala segede ini badannya kan bisa semeter. Masak otaknya cuma 3 cm.”

“Mungkin memang nggak butuh otak besar untuk jadi kakap,” dia menimpali.

“Lha terus kenapa tokoh-tokoh besar disebut ‘kelas kakap’ coba? Kenapa ada orang yang disebut ‘politisi kelas kakap’ atau ‘pengusaha kelas kakap’ oleh kita?”

Dia tak menjawab topik absurd ini.

Tapi saya jadi merenung. Jangan-jangan sebutan kelas kakap itu adalah hidden transcript? Jangan-jangan yang dimaksud adalah orang yang nampak hebat tapi sebenarnya volume otaknya kecil? Iya kan? Bisa jadi kan? Siapa sih yang pertama kali mengenalkan istilah itu? Coba kita riset.

Dan jangan-jangan, banyak hal dalam keseharian kita sebenarnya berisi hidden transcript? Mungkin kita sengaja membuatnya. Mungkin pula itu cuma hasil kerja alam bawah sadar. Makanya sampeyan-sampeyan jangan geer. Belum tentu kalimat-kalimat bernuansa pujian di sekitar kita itu benar-benar pujian.

Misal, jika sampeyan mendengar kalimat bernuansa pujian seperti “Jokowi adalah kita”. Hati-hati. Cek lagi. Siapa tahu itu adalah hidden transcript.

Siapa tahuu….

BACA JUGA Pemancing Biasa Mencari Ikan, Pemancing Sejati Mencari Kesabaran dan tulisan Abdul Gaffar Karim lainnya.

Terakhir diperbarui pada 22 Maret 2021 oleh

Tags: ikan kakapikan pindangjokowipolitisiYogyakarta
Abdul Gaffar Karim

Abdul Gaffar Karim

Dosen FISIPOL UGM

Artikel Terkait

Starcross Membuktikan bahwa Nilai Kreativitas dan Komunitas Lebih Kuat dari Tren yang Datang dan Pergi
Video

Starcross Membuktikan bahwa Nilai Kreativitas dan Komunitas Lebih Kuat dari Tren yang Datang dan Pergi

8 November 2025
Kenangan mahasiswa di Jogja dengan pensiun dokter. MOJOK.CO
Sosok

Kebaikan Seorang Pensiunan Dokter yang Dikenang Mahasiswa Jogja, Berikan Tempat Inap Gratis hingga Dianggap Seperti Keluarga

25 Oktober 2025
Peserta kegiatan Main Bareng Lareplay di Taman Bakung, Baciro, Kota Yogyakarta MOJOK.CO
Kilas

Main Bareng Lareplay: Ajak Anak-anak Kota Yogyakarta Peduli Lingkungan dengan Cara-cara Unik

23 Oktober 2025
Bumiku Lestari: Inovasi Bank Sampah yang Bisa Ditukar dengan Bahan Makanan Sehat
Video

Bumiku Lestari: Inovasi Bank Sampah yang Bisa Ditukar dengan Bahan Makanan Sehat

23 Oktober 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

banjir sumatra.mojok.co

Kelumpuhan Pendidikan di Tiga Provinsi, Sudah Saatnya Penetapan Bencana Nasional?

4 Desember 2025
Menanti kabar dari keluarga, korban bencana banjir dan longsor di Sumatera. MOJOK.CO

‘Kami Sedih dan Waswas, Mereka seperti Tinggal di Kota Mati’ – Kata Keluarga Korban Bencana di Sumatera

1 Desember 2025
Bioskop NSC Rembang, bangunan kecil di tanah tandus yang jadi hiburan banyak orang MOJOK.CO

Bioskop NSC Rembang Jadi Olok-olokan Orang Sok Kota, Tapi Beri Kebahagiaan Sederhana

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
Dari Jogja ke Solo naik KRL pakai layanan Gotransit dari Gojek yang terintegrasi dengan GoCar. MOJOK.CO

Sulitnya Tugas Seorang Influencer di Jogja Jika Harus “Ngonten” ke Solo, Terselamatkan karena Layanan Ojol

1 Desember 2025
Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

Udin Amstrong: Menertawakan Hidup dengan Cara Paling Jujur

2 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.