Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Tak Ada Bung Tomo di Pertempuran 10 November

Muhidin M. Dahlan oleh Muhidin M. Dahlan
11 November 2015
A A
Tak Ada Bung Tomo di Pertempuran 10 November

Tak Ada Bung Tomo di Pertempuran 10 November

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Pertempuran 10 November yang kemudian bertiwikrama menjadi “hari pah-la-wan” adalah salah satu pertempuran paling mematikan dalam sejarah perang di Indonesia. Arek-arek Suroboyo bertempur habis-habisan untuk melawan sebuah ultimatum pendudukan setelah 84 hari kemerdekaan diproklamasikan secara hikmat di JakartaPusat.

Dan, Allahu Akbar, lahirlah sosok tokoh yang luar biasa jasanya dalam pertempuran paling mematikan itu. Namanya Sutomo. Dipanggil Bung Tomo, mungkin agar manusia pilihan jago nyangkem di mikrofon tidak melulu dimonopoli Bung-Yang-Satu-Itu; Bung yang ditegur Si Bung dari Surabaya ini pada akhir tahun 50-an karena mempraktikkan poligami di Istana Negara.

Mengherankan sebetulnya bagaimana nama Bung Tomo ini ujug-ujug jadi ikon utama pertempuran 10 November. Dalam prosesi penentuan 10 November dijadikan Hari Pahlawan, beberapa pemimpin inti laskar pemuda di depan Sukarno di Jakarta justru menihilkan siapa pahlawan utama dalam peristiwa yang menewaskan ratusan ribu orang dan melantakkan seluruh infrastruktur kota. Siapa gerangan si utama yang baik atau su-tomo itu, ya arek-arek Suroboyo secara keseluruhan.

Saya menuduh terkereknya nama Mas Tom sebagai ikon 10 November justru bertujuan tunggal menenggelamkan kominis yang turut bermain dalam “kota jancuk” yang, satu dekade setelah perang, pemilu-nya dimenangkan PKI. Mas Tom dinaikkan agar gembong-gembong kominis tak dapat tempat apa pun dalam historiografi kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam palagan 10 November. Sekaligus menyucikan Jihad Akbar 10 November dari ujaran kata-kata “nista” seperti jancuk dan sekeluarganya.

Ada beberapa hipotesis yang mendukung tuduhan saya itu.

Pertama, Mas Tom itu dalam struktur organisasi Pemuda Republik Indonesia (PRI), adalah divisi media. Komandan utama PRI ini adalah Soemarsono, yang kelak membawa laskar PRI ke dalam barisan baru bernama Pesindo dan terlibat dalam Peristiwa Madiun 1948 (MDN48). Kalau Mas Tom dekat dengan radio, ya wajarlah. Namanya saja bagian media, gak mungkin dong pegang duit. Karena mainannya radio buku propaganda, ya prosedurnya memang memproduksi propaganda lewat suara. Asal tahu saja, PRI adalah satu dari sedikit kelompok laskar dengan pengikut terbesar. Mereka berhasil merekrut dan meradikalkan ribuan arek keras hati dari belasan kampung.

Merasa Mas Tom ini sudah gagah betul dengan modal cangkem, dia memutuskan keluar dari PRI dan bikin laskar baru yang namanya sungguh gagah: Barisan Pemberontak Republik Indonesia. Laskar PBRI ini punya radio, namanya Radio Pemberontak. Sangar. Tapi ini pun wajar tanpa perkecualian, kan skill Mas Tom adalah penyiar dengan kemampuan nyangkem di mikrofon yang baik. Namanya saja penjual cangkem, rekaman suaranya itulah yang menjadi brand termahalnya sepanjang hidup di NKRI ini; bahkan Soemarsono, mantan komandannya, nggak pernah membayangkan sejarah bisa berjalan seperti ini.

Kedua, Mas Tom di hari “H” Pertempuran Surabaya yang maha dahsyat itu rupa-rupanya tak ada di palagan. Astaga, kelakuan pahlawan kita dengan radio buku pemberontak ini. Terus Mas Tom ke mana? Menurut pengakuan K’tut Tantri, Mas Tom nglencer ke Malang. Alasannya, tulis K’tut dalam bukunya Revolusi di Nusa Damai (1965: 260-1), Mas Tom nglencer karena k’pala Mas Tom sudah jadi target sekutu dan antek-anteknya. Sekutu kok pikirannya kayak kutu. Kalau mau, ya semua pimpinan utama laskar arek-arek itu sudah ditarget semua kepalanya untuk dibedil. Tapi mereka semua ada di tempat; di hari ketika arek-arek berkalang tanah mempertahankan setiap jengkal kotanya dari pendudukan. Kumendan-kumendan itu bersama arek-arek Suroboyo lainnya ngangkat bedil rampasan, kelewang, tombak untuk bertempur habis-habisan di semua sudut kampung. Juga sambil ngumpat jancuk tentu saja di sepanjang jalan kota dan gang.

Ketiga, naiknya pamor Mas Tom ini di atas porak-porandanya Kota Surabaya justru massif dilakukan setelah MDN48 meletus dan kian kuat genderangnya setelah PKI menjadi terdakwa di G30SPKI65. Narasi siapa terjago di palagan Surabaya sebelum MDN48 berjalan wajar tanpa perkecualian (istilah BPK). Rekaman suaranya yang menggelegar itu dijaga supaya tidak rusak atau hilang.

Tak cukup bermodal suara itu saja. Foto pun mesti ditampilkan supaya sang jagoan makin kinclong. Di sinilah soalnya, foto Mas Tom yang ditampilkan adalah foto yang salah tempat, beda tahun peristiwa. Mana si doi gondrong, lagi. Mana ada pemimpin laskar di tahun 1945 gondrong. Kan habis digunduli Jepang, kata Soemarsono. Sembarangan betul!

Foto salah tempat, salah caption, dan tampaknya dihadirkan tergesa-gesa seperti ini juga terjadi pada foto-foto “utama” MDN48 di buku-buku sejarah. Para sopir pembelok sejarah ini lupa bahwa makin ke sini, generasi yang mendiami NKRI ini makin baik rewelnya.

Keempat, menjadikan Mas Tom sebagai pusat dalam Pertempuran 10 November sekaligus membersihkan grafiti kota dan lidah-lidah kotor arek-arek yang sambil berlari nenteng bedil terus menebar pisuhan jancuk, jamput, dan keluarga batihnya. Ungkapan-ungkapan bermuatan lokal (mulok) Suroboyoan yang jenuin habis dilahap teriakan Allahu Akbar (3 kali) dengan pelbagai variasinya yang diucapkan berulang-ulang setiap pukul 6 sore. Arek-arek santri NU dan Muhammadiyah yang berada dalam barisan pasti senang dengan khotbah Mas Tom yang menggetarkan, tapi arek-arek yang berasal dari gali, preman kampung, ya semaput dan makin jorok nasibnya dalam sejarah.

“Jamput! Ujok muruki aku. Ayo siap-siap nggepuk Inggris!” teriak Komandan PTKR Hasanuddin dalam barisan pengepungan di sebuah gedung sebagaimana diceritakan ulang Hario Kecik di hari pertempuran mahabesar 10 November itu. Jamput itu yang hilang dalam perbendaharaan kata di kamus 10 November.

Kelima, karena memang niat dasarnya menenggelamkan kominis dari cerita Pertempuran 10 November, maka dalam skenario pengerekan bendera ikonik ini, Mas Tom tak menuntut banyak, tak berharap banyak. Kalau di zaman Sukarno mungkin gak dapat karena Mas Tom masih nom, hidup pulak. Tapi di masa Soeharto mestinya dapet. Kok kelihatan pelit benar Soeharto itu ya, jagoan 10 November kok gak diangkat jadi Pahlawan Nasional. Sekelas pertempuran gigantik seperti itu, kan negara gak rugi, dan bahkan sewajarnya tanpa perkecualian menganugerahi Mas Tom Pahlawan Nasional atas jasa-besar-cangkem-nya di 10 November.

Iklan

Justru yang terjadi sebaliknya, Soeharto dengan enteng/anteng memenjarakan pejuang kita yang par excellence ini. Soal beginian Soeharto memang master. Bukan hanya kominis ditumpas hingga ke cindil-cindilnya, “bintang 10 November yang gondrong” ini pun ringan saja digasaknya. Bahkan setelah Mas Tom wafat di Padang Arafah, Makkah, pada 7 Oktober 1981, Mas Tom juga gak dapat apa-apa.

Sampai suatu tahun tatkala Indonesia berada di sebuah fase gebyar-gebyar memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional di tahun 2008, semua orang seperti diinsyafi oleh situasi yang kritis bahwa Mas Tom si pahlawan kita yang tak hadir di hari/tanggal 10 November itu belum juga dapet-dapet tuh julukan Pahlawan Nasional. Duh! Tapi untunglah ada Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) yang “mensponsori” agar Mas Tom dapatlah jatah antrian. Dan memang Mas Tom dapat juga Keputusan Presiden Nomor 041/TK/TH 2008.

Sementara di sudut lain, nasib kominis makin runyam dan gelap!

Terakhir diperbarui pada 12 Juni 2017 oleh

Tags: 10 NovemberBung TomoSutomoTerbaikMojok2015
Muhidin M. Dahlan

Muhidin M. Dahlan

Penulis dan kerani partikelir IBOEKOE dan Radio Buku.

Artikel Terkait

Alasan Soeharto tak layak dapat gelar pahlawan, referensi dari buku Mereka Hilang Tak Kembali. MOJOK.CO
Aktual

Buku “Mereka Hilang Tak Kembali”, Menyegarkan Ingatan bahwa Soeharto Tak Pantas Dapat Gelar Pahlawan, tapi Harus Diadili Mantan Menantunya

1 November 2025
Fakta-Fakta Unik Bung Tomo di Pertempuran Surabaya yang Jarang Diketahui Orang
Video

Fakta-Fakta Unik Bung Tomo di Pertempuran Surabaya yang Jarang Diketahui Orang

20 November 2023
Bung Tomo Sibuk Memburu Loker di BUMN dan Ditolak MOJOK.CO
Esai

Di Tengah Api Revolusi, Bung Tomo Sibuk Memburu Loker di BUMN dan Ditolak

10 November 2022
Pojokan

Jika Ada Hari Santri, Kenapa Tidak Ada Hari Kiai?

21 Oktober 2018
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Relawan di Sumatera Utara. MOJOK.CO

Cerita Relawan WVI Kesulitan Menembus Jalanan Sumatera Utara demi Beri Bantuan kepada Anak-anak yang Terdampak Banjir dan Longsor

3 Desember 2025
waspada cuaca ekstrem cara menghadapi cuaca ekstrem bencana iklim indonesia banjir longsor BMKG mojok.co

Alam Rusak Ulah Pemerintah, Masyarakat yang Diberi Beban Melindunginya

1 Desember 2025
'Aku Suka Thrifting': Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism.MOJOK.CO

‘Aku Suka Thrifting’: Dari Lapak Murah hingga Jejak Ketimpangan Dunia dan Waste Colonialism

1 Desember 2025
Guru sulit mengajar Matematika. MOJOK.CO

Susahnya Guru Gen Z Mengajar Matematika ke “Anak Zaman Now”, Sudah SMP tapi Belum Bisa Calistung

2 Desember 2025
jogjarockarta.MOJOK.CO

Mataram Is Rock, Persaudaraan Jogja-Solo di Panggung Musik Keras

3 Desember 2025
S3 di Bandung, Istri PNS Makassar- Derita Jungkir Balik Rumah Tangga MOJOK.CO

Jungkir Balik Kehidupan: Bapak S3 di Bandung, Istri PNS di Makassar, Sambil Merawat Bayi 18 Bulan Memaksa Kami Hidup dalam Mode Bertahan, Bukan Berkembang

1 Desember 2025
Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.