MOJOK.CO – Dari Bagelen untuk Indonesia, sejarah kita pada akhirnya (sebagian besar) menarasikan “berandal” dengan segala sisi meliknya.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon gagal memberi kado Republik pada HUT ke-80 dengan buku sejarah ber-tone positif. Ini bukti bahwa perjalanan meneroka masa lalu bukan lempeng-lempeng saja, tapi penuh kelok, naik, turun, dan terkadang lubang.
Berbeda segalanya dengan program Menteri Zon yang bisa ulur target terbit. Kami, Kavaleri Selatan Radio Buku bertekad, apa pun yang terjadi, tim ekspedisi tur Perang Jawa harus berangkat pada 18 Agustus 2025.
Pada 200 tahun silam, Pangeran Diponegoro atau Erutjokro berangkat gerilya salah satunya karena tanah milik nenek moyang dikapling Belanda. Di masa kini, perjalanan kami tergugah, salah satunya karena rencana pengkaplingan ingatan leluhur oleh Kemenbud.
Maka, perjalanan menafakuri perlawanan Diponegoro bertitik mula di kompleks Keraton Yogyakarta. Dalam lingkungan yang serba adiluhung inilah Pangeran berasal, sebelum teguh berdiri bersama petani sebagai Erutjokro. Kami sengaja ambil garis awal persis dari titik anak Hamengkubuwana III bertolak. Syukur-syukur Kavaleri Selatan terilhami.
Etape pertama perjalanan berakhir di Bagelen, Purworejo. Kami berhenti usai dipersilakan rehat di Rumah Budaya Tjokrodipo. Ba’da Magrib, Kavaleri Selatan sampai di pasamunan yang terletak di pojok Dusun Kalikepuh. Kediaman itu milik leluhur Angko Setiyarso Widodo, seorang pensiunan politisi lokal yang akrab dengan pemuda sekitar.
Bagelen kota kenthol
Setelah beristirahat secukupnya, pagi hari kami buka dengan melakukan tur Bagelen ditemani sejarawan dan arkeolog muda lulusan kampus Bulaksumur. Keduanya adalah Bagas Pratyaksa Nuraga dan Lengkong Sanggar Ginaris.
Dengan sungguh-sungguh saya berterima kasih kepada Bagas dan Lengkong. Kedua pemuda itu tak hanya memandu dan bertukar tutur, tapi sekaligus memantik saya menulis esai ini.
Di lokasi tur pertama, di depan kompleks pemakaman Cokronegoro I, kira-kira Bagas bilang begini, “Kenthol boleh dibilang menjadi warisan mentalitas sebagian rakyat Bagelen. Bukan hal aneh bila kenthol, atau lenggaong, atau ‘jago’, inheren dengan identitas rakyat daerah berjuluk “Kota Pejuang” ini.
Saya teringat sebutan “berandal” milik George Quinn yang kemudian saya pergunakan untuk meneroka kembali subjek dengan narasi yang tidak dominan dan suci melulu.
Dari masa Diponegoro hingga rezim Soeharto, para “berandal” yang berangasan ini telah menciptakan banjar raksasa serdadu dari Bagelen. Barisan terdepan banjar itu ada Cokronegoro I, disusul Oerip Soemohardjo di era revolusi, dan Ahmad Yani maupun Sarwo Edhie Wibowo di masa demokrasi terpimpin.
Baca halaman selanjutnya: Berandal yang mengisi sejarah Indonesia.















