Mojok
KIRIM ARTIKEL
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
    • Bidikan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
Logo Mojok
Kirim Artikel
Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal
Beranda Esai

Berandal-Berandal Bagelen

Putro Wasista Hadi oleh Putro Wasista Hadi
22 Agustus 2025
A A
Berandal-Berandal Bagelen MOJOK.CO

Ilustrasi Berandal-Berandal Bagelen. (Mojok.co/Ega Fansuri)

Bagikan ke WhatsAppBagikan ke TwitterBagikan ke Facebook

Cokronegoro I: Bersama kompeni memburu Sang Pangeran 

Kita tidak bisa mengelak pada fakta, jika nama-nama “berandal” dari Bagelen mengomandoi sejarah Indonesia. Bahkan yang paling tua saja masih terikat langsung dengan kehidupan masa kini. Tidak percaya? Silakan cek bagaimana peran KRT Tjakradjaja alias Raden Adipati Aryo Cokronegoro meluruskan hari jadi Kabupaten Purworejo pada 2019 silam. 

Akan tetapi, watak berangasan yang sudah berurat akar pada identitas sebagai “berandal”, mau tak mau tetap mencantol. Bagelen kala itu adalah daerah tangsi. Harapannya serdadu-serdadu dari sini dapat padamkan perlawanan Diponegoro. Peran Cokronegoro I memimpin pasukan pembantu tentara Belanda di wilayah itu begitu sentral. 

Begini tutur Peter Carey, sejarawan linuwih penulis riwayat Pangeran saat Perang Jawa hampir usai dalam Kuasa Ramalan II:

“De Kock … bertekad untuk mengurung tentara sang Pangeran di wilayah pegunungan sempit antara Kali Progo dan Kali Bogowonto di kabupaten-kabupaten Kulon Progo, Kedu selatan, dan Bagelen timur, sehingga terkucil dan dapat dikalahkan. Hal ini akan menciptakan apa yang dalam istilah militer dewasa ini disebut suatu “killing area” (tempat pembantaian)” (hlm. 762–763).

Kendati Cokronegoro I tidak berhasil memadamkan api Perang Jawa, namun saat De Kock berhasil menipu Pangeran, ia tak sungkan tunjukkan perasaan bungah pada Kolonel J. B. Cleerens. 

Dalam Kuasa Ramalan II, perwira Belanda itu berkesaksian bahwa Cokronegoro I berucap begini, “Ini [kabar] baik, sekarang perang telah usai, sungguh telah usai” (hlm. 822). Tidak butuh waktu setahun Cokronegoro I dikukuhkan sebagai Bupati Purworejo pada 27 Februari 1831.

Usai Perang Jawa, Purworejo pun lahir dengan wajah baru dan pemimpin baru boneka Belanda: Cokronegoro I.

Oerip Soemohardjo: Bangsawan Bagelen bersulih ksatria

Di Jogja, patung Oerip Soemohardjo berdiri berdampingan dengan Panglima Besar Jenderal Soedirman di halaman Museum TNI AD Dharma Wiratama. Sementara, pusaranya berada di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta.

Di luar itu, Oerip tetaplah manusia Bagelen. Anak bangsawan yang bertukar jalan. Jiwa berangasan Oerip Soemohardjo sudah tampak sejak muda. 

Berdasar cerita Bagas, suatu ketika di Bagelen pernah ada tawuran pemuda antarkampung. Pemuda asal Sindurjan yang ngeluruk hingga kompleks Afrikan salah satunya adalah Oerip muda. Kampung Afrikan sendiri yang dikenal di era Perang Jawa sebagai perkampungan tentara pembantu KNIL melawan Pangeran Diponegoro. 

Walau berwatak berangasan, kedua orang tuanya tetap menginginkan Oerip menjadi bupati seperti ayahnya. Makanya, diaia dikirim ke Magelang untuk menempuh studi di Osvia, Sekolah Pendidikan Pegawai Pribumi. Jiwa berangasannya meronta, dia lebih memilih hengkang setelah dua tahun. 

Lalu, Oerip memutuskan menyambung pendidikan di Akademi Militer di Meester Cornelis atau Jatinegara pada 1910. Empat tahun kemudian karier ketentaraannya dalam instansi Belanda bermula. Selama 25 tahun Oerip berdinas kenakan baju khaki tentara kolonial.

Riwayat panjang mengabdi kepada Wilhelmina ini membuat Oerip yang berpangkat letnan jenderal kalah saing dengan Soedirman yang saat itu, di hari-hari pertama Republik, masih berpangkat kolonel. Seorang pengamat politik tentara, Ulf Sundhaussen, membabar bahwa terpilihnya Sudirman karena memiliki basis dukungan dari kantong-kantong tentara di Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Di kedua wilayah itu, mayoritas serdadu berisi bekas tentara PETA dan laskar-laskar pejuang yang lebih radikal. Sangat berkebalikan dengan basis dukungan Oerip yang umumnya bekas KNIL atau elite pemerintah pusat.

Iklan

Kavaleri Selatan Radio Buku menyempatkan berfoto di depan rumah masa kecil Oerip. Semula kami ingin melanjutkan melawat ke rumah “berandal” Bagelen selanjutnya, Ahmad Yani. 

Tetapi, arkeolog muda yang menjadi pemandu kami, Lengkong, menyahut, “Kalau rumah Yani jauh di Kecamatan Gebang sana, itu pun berlawanan dengan arah yang kalian tuju.” Maka, kami memutuskan untuk banting setir ke kanan.

Kasman Singodimedjo: Berandal Bagelen yang dibui karena menghina presiden

Bagelen juga melahirkan “berandal” lain bernama Kasman Singodimedjo. Komandan PETA ini tumbuh di desa Clapar yang berjarak lebih dari 10 kilometer dari alun-alun Kota Purworejo. 

Singodimedjo adalah muslim taat, setidaknya itu tercermin dari riwayatnya: dari Muhammadiyah, laskar PETA di Jakarta, anggota Masyumi, anggota Komite Nasional Indonesia Pusat, Konstituante, hingga menjadi rektor pertama Universitas Islam Indonesia.

Sebelum Rezim Soeharto menyetankan PKI dengan alasan tidak beragama. Singodimedjo dari fraksi Masyumi sudah melakukannya dalam sidang Konstituante pada 1958. Saya kutipkan secara verbatim penolakan Kasman atas tafsiran PKI perihal dasar negara. Begini:

“PKI sesungguhnja tidak menghendaki rumusan: Ke-Tuhanan Jang Maha Esa, dan dengan begitu seolah-olah Tuhan Jang Maha Esa oleh Partai Komunis Indonesia (P.K.I.) telah diusir dari Indonesia. Pun pula, saudara Ketua, dengan tafsiranja itu Partai Komunis Indonesia (P.K.I.) njata-njata telah mengartikan ‘kebebasan beragama’ itu sama dengan ‘kebebasan tidak beragama’ atau ‘kebebasan anti-Tuhan’ atau ‘kebebasan anti agama’, karena ‘atheisme’ telah disisipkan diantaranja dan disama-ratakan dengan ‘monotheisme’ dan ‘polytheisme’ didalam hubungannja dengan tafsirannja mengenai ‘kebebasan beragama’.

Usai Konstituante dibubarkan dan Presiden Sukarno membubarkan Masyumi, temaram pula nasib politik Singodimedjo. Dia harus mendekam di balik jeruji besi selama 2 tahun 6 bulan. 

Rezim kala itu menganggap Singodimedjo telah turut dalam persekongkolan jahat yang tidak selaras dengan Undang-Undang. Selanjutnya, yang paling gawat adalah tuduhan mengenai niatnya ingin membunuh Soekarno dan menyelewengkan Pancasila. 

Orator andal dari Bagelen ini pun, sebagaimana nama belakangnya, Singodimedjo, akhirnya turun meja (podium) sebelum naik lagi perlahan-lahan seturut pergantian rezim.

Ahmad Yani: Penghalang naiknya Soeharto

PRRI di Sumatra dan Permesta di Sulawesi angkat senjata kepada pemerintah pusat. Penumpas pemberontakan ini dipimpin “berandal” dari Bagelen bernama Ahmad Yani. 

Yani sendiri yang kemudian menjadi perwira yang dielu-elukan Sukarno pada Demokrasi Terpimpin mengawali karier ketentaraan pada 1940. Sebelum Ahmad Yani sempat merampungkan studi untuk menjadi perwira ahli topografi KNIL, bala tentara Jepang kadung masuk ke Indonesia pada 1942.

Saat masa revolusi, teman satu lichting Soeharto ini menjadi Komandan Batalion Divisi V Magelang dengan pangkat mayor. Karier militer Yani lebih mentereng dari Soeharto. Tidak seperti temannya itu, Yani secara berkala menempuh studi-studi ketentaraan. 

Pada 1955, dia berangkat belajar ke Command General Staff College di Amerika selama setahun. Sempat pula dia belajar pada Warfare Course di Inggris. Akan tetapi, segala pencapaiannya terhenti karena Yani harus meregang nyawa di Menteng, 1 Oktober 1965. Harian Kedaulatan Rakjat edisi 9 Oktober 1965 memuat kabar penganugerahan gelar Pahlawan Revolusi ke-1 kepada Letjen Ahmad Yani, lengkap dengan segala macam bintang dan medali.

Penggagas rubrik “Current Data on the Indonesian Military Elite” pada Jurnal Indonesia, Benedict Anderson menerangkan hubungan ganjil antara Yani dan Soeharto. Dalam wawancara tabloid DeTAK, 5 Oktober 1998, Ben bilang begini: 

“Yani dan Seoharto sebenarnya setaraf dari segi senioritas. Yani itu orangnya memang brilian. Wajahnya juga cakep. Dan di atas semua itu, dia merupakan otak dari pembinaan Angkatan Darat pada waktu itu. Nah, di sinilah misterinya. Mengapa Soeharto tidak pernah dilatih Amerika… Yang jelas, selama Yani masih ada, Soeharto tidak mungkin naik ke atas.”

Sarwo Edhie Wibowo: Berandal Bagelen penumpas 3 juta manusia kiri

Contoh paling muda bukti “berandal” Bagelen yang berangasan lagi dapat kita lacak dari riwayat Sarwo Edhie Wibowo. Dia salah satu perwira moncer Divisi Diponegoro dari Bagelen. 

Dalam edisi khusus majalah Tempo yang terbit pada 7 November 2011 menerangkan karier ketentaraan Sarwo Edhie bermula saat masa Pendudukan Jepang. Kala itu, usia Sarwo Edhi 15 tahun, lebih muda dua tahun dibanding saat Sentot pertama gabung ke dalam laskar Pangeran Diponegoro.

Jenjang keperwiraan ayah mertua SBY baru bermula pada 1959. Itu pun tidak lepas dari pengaruh Ahmad Yani, juga berasal dari Bagelen, yang merekomendasikan Sarwo menjadi Komandan Sekolah Para Komando Angkatan Darat (SPKAD). 

Selepas geger ‘65, Sarwo Edhie yang sudah menjadi Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) bertugas menumpas PKI dan kaum kiri lainnya.  

Dialah yang membeberkan ke publik bagaimana teknis penumpasan PKI di Jawa dan Bali. Hanya perlu waktu dua sampai tiga hari saja tentara seperti Sarwo Edhie mendiklat warga sipil agar berani menumpas komunis hingga ke akar. Hasilnya, keluar angka tiga juta jiwa korban penumpasan, seperti yang dia beberkan di hadapan parlemen pada 1989. 

Di luar pagar kuburan operator jagal 65 ini, Kavaleri Selatan berbaris, kami berfoto.

Korban operasi pembantaian

Demikikianlah, pada pagelaran Borobudur Writer Cultural Festival 2014 bertajuk “Ratu Adil: Kuasa dan Pemberontakan di Nusantara”, Peter Carey yang sebelumnya menjadi pembicara di sesi yang lain perihal Pangeran Diponegoro menyempatkan diri menjadi “peserta” untuk sesi “PKI” yang salah satunya menampilkan pengajar dari UGM, Budiawan. 

Saat sesi tanya jawab dibuka, Peter mengacungkan tangan. Dia tak bertanya, tetapi memberi komentar. Dan, parafrase dari komentarnya: “Di tahun 1965, mereka yang mendaku diri sebagai ‘pengikut’ Diponegoro juga menjadi korban dalam operasi pembantaian.”

Dari Bagelen untuk Indonesia, sejarah kita pada akhirnya (sebagian besar) menarasikan “berandal” dengan segala sisi meliknya.

Penulis: Putro Wasista Hadi

Editor: Yamadipati Seno

BACA JUGA Napak Tilas 200 Tahun Perang Jawa: Menelusuri Jejak Pangeran Diponegoro di Titik Bara Perang Jawa dan catatan menarik lainnya di rubrik ESAI.

Halaman 2 dari 2
Prev12

Terakhir diperbarui pada 22 Agustus 2025 oleh

Tags: 200 tahun perang jawaahmad yanibagelenCokronegoro IdiponegoroKasman SingodimedjoPerang JawaPurworejoSarwo Edhie Wibowo
Putro Wasista Hadi

Putro Wasista Hadi

Alumni sejarah UGM. Aktif berkomunitas di Radio Buku dan tinggal di Klaten.

Artikel Terkait

Sisi Kelam di Balik Wajah Purworejo yang Tenang dan Damai MOJOK.CO
Esai

Sisi Kelam di Balik Wajah Purworejo yang Tenang dan Damai

25 November 2025
November 2025, Bandara Ahmad Yani Buka Rute Menuju Singapura
Kilas

November 2025, Bandara Ahmad Yani Buka Rute Menuju Singapura

6 September 2025
Daendels Pesek Masih Menyiksa Rakyat Kecil Sampai Sekarang MOJOK.CO
Esai

Kita Masih Melihat “Daendels Pesek” Menyiksa Rakyat Kecil dalam Perayaan 200 Tahun Perang Jawa

24 Agustus 2025
200 Tahun Perang Jawa- yang Tersisa dari Perang Besar MOJOK.CO
Esai

200 Tahun Perang Jawa: Menyusuri yang Tersisa di Selarong, Bagelen, dan Wates

23 Agustus 2025
Muat Lebih Banyak
Tinggalkan Komentar

Terpopuler Sepekan

Gedung Sarekat Islam, saksi sejarah dan merwah Semarang sebagai Kota Pergerakan MOJOK.CO

Upaya Merawat Gedung Sarekat Islam Semarang: Saksi Sejarah & Simbol Marwah yang bakal Jadi Ruang Publik

20 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025
Bagian terberat orang tua baru saat hadapi anak pertama (new born) bukan bergadang, tapi perasaan tak tega MOJOK.CO

Katanya Bagian Terberat bagi Bapak Baru saat Hadapi New Born adalah Jam Tidur Tak Teratur. Ternyata Sepele, Yang Berat Itu Rasa Tak Tega

18 Desember 2025
borobudur.MOJOK.CO

Borobudur Moon Hadirkan Indonesia Keroncong Festival 2025, Rayakan Serenade Nusantara di Candi Borobudur

15 Desember 2025
Pasar Petamburan di Jakarta Barat jadi siksu perjuangan gen Z lulusan SMA. MOJOK.CO

Pasar Petamburan Jadi Saksi Bisu Perjuangan Saya Jualan Sejak Usia 8 Tahun demi Bertahan Hidup di Jakarta usai Orang Tua Berpisah

19 Desember 2025
Pontang-panting Membangun Klub Panahan di Raja Ampat. Banyak Kendala, tapi Temukan Bibit-bibit Emas dari Timur Mojok.co

Pontang-panting Membangun Klub Panahan di Raja Ampat. Banyak Kendala, tapi Temukan Bibit-bibit Emas dari Timur

17 Desember 2025

Video Terbaru

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

SD Negeri 3 Imogiri Bantul: Belajar Bergerak dan Bertumbuh lewat Sepak Bola Putri

18 Desember 2025
Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

Ketakutan pada Ular yang Lebih Dulu Hadir daripada Pengetahuan

17 Desember 2025
Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

Undang-Undang Tanjung Tanah dan Jejak Keadilan di Sumatera Kuno pada Abad Peralihan

14 Desember 2025

Konten Promosi



Summer Sale Banner
Google News
Ikuti mojok.co di Google News
WhatsApp
Ikuti WA Channel Mojok.co
WhatsApp
Ikuti Youtube Channel Mojokdotco
Instagram Twitter TikTok Facebook LinkedIn
Trust Worthy News Mojok  DMCA.com Protection Status

Tentang
Kru
Kirim Artikel
Kontak

Kerjasama
Pedoman Media Siber
Kebijakan Privasi
Laporan Transparansi

PT NARASI AKAL JENAKA
Perum Sukoharjo Indah A8,
Desa Sukoharjo, Ngaglik,
Sleman, D.I. Yogyakarta 55581

[email protected]
+62-851-6282-0147

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.

Tidak Ada Hasil
Lihat Semua Hasil
  • Esai
  • Liputan
    • Jogja Bawah Tanah
    • Aktual
    • Kampus
    • Sosok
    • Kuliner
    • Mendalam
    • Ragam
    • Catatan
  • Kilas
  • Pojokan
  • Otomojok
  • Konter
  • Malam Jumat
  • Video
  • Terminal Mojok
  • Mau Kirim Artikel?

© 2025 PT Narasi Akal Jenaka. All Rights Reserved.